Rabu, 10 Desember 2014

Biografi Wanita Sholihah Sepanjang Zaman


1.    Asiyah Istri Fir’aun
Asiyah binti Muzahim merupakan salah satu diantara wanita-wanita pilihan yang pernah terukir dalam bingkai sejarah. Dia istri Fir’aun, seorang raja Mesir di zaman Nabi Musa. Saat bersama Fir’aun, Asiyah tidak dikaruniai seorang anak pun. Fir’aun sangat mencintainya karena kecantikan dan kematangan akhlaknya. Telah berapa banyak cobaan dan tantangan yang harus dihadapinya dengan penuh kesabaran. Bahkan, berbagai kesulitan mampu dirubah menjadi kemudahan, sehingga Asiyah dikenal sebagai rahmat, bagi masyarakat di zaman Fir’aun yang penuh dengan kelicikan dan lalim.
Pada masa yang seperti itulah muncul peristiwa yang akan menentukan sejarah hidup Nabi Musa selanjutnya. Disebutkan dalam sejarah kenabian, ketika Asiyah duduk-duduk di taman yang indah nan luas, dihiasi dengan aliran sungai mempesona. Dia melihat sebuah peti mengambang. Perlahan-lahan peti itu semakin mendekat sehingga Asiyah menyuruh para pembantunya untuk mengambil dan mengeluarkan isi peti tersebut. Ketika dibuka, ternyata di dalamnya terdapat seorang bayi mungil, elok dan rupawan. Maka, muncullah perasaan kasih sayang dalam diri Asiyah. Allah mengaruniakan cinta dan kasih sayang terhadap bayi tersebut melalui Asiyah. Tak pelak lagi, Asiyah memerintahkan agar bayi itu dibawa ke istana dengan bertekad memelihara dan mangasuhnya.
Ketika mendengar berita tersebut, Fir’aun hendak membunuhnya, karena dia melihat mimpi yang selama ini menghantuinya tentang seorang anak yang kelak menghancurkannya. Para dukun dan ahli nujum dihadirkan dari seluruh pelosok negara. Mimpinya pun diceritakan kepada mereka, sehingga ia diperingatkan agar hati-hati dengan kelahiran seorang bayi yang akan menjadi penyebab kehancuran kerajaannya. Akhirnya, semua bayi laki-laki Bani Israel yang lahir diperintahkan agar dibunuh, kecuali bayi yang diasuh Asiyah. Fir’aun pun luluh dengan bujukan Asiyah ketika ia berkata: “Kita tidak mempunyai keturunan anak laki-laki, maka jangan bunuh anak ini. Semoga ada manfaatnya untuk kita atau kita jadikan dia sebagai anak kandung kita”. Fir’aun menyetujui dan menyarankan agar anak itu dididik sedemikian rupa. Asiyah memberi nama Musa terhadap anak tersebut dan mendidiknya hingga dewasa dalam istana Fir’aun. Dan kisah tentang ini tidak asing lagi bagi kita.
Kelak, Asiyah merupakan salah seorang yang mempercayai Musa. Ketika Fir’aun mengetahui hal tersebut, tiba-tiba rasa cintanya berubah menjadi kemarahan dan permusuhan. Asiyah tidak mengindahkannya karena dirinya tahu bahwa kebenaran bersamanya. Dan dia pun tahu bahwa Musa as adalah utusan Allah yang kebenarannya tidak dapat dihalangi oleh tantangan dan ancaman yang datangnnya dari siapa saja. Hingga meninggal dunia, hari-hari akhirnya Asiyah hanya dipenuhi dengan dzikir kepada Allah seraya mengucapkan:
{"Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir`aun dan perbuatannya"}
Allah telah mengabulkan do’anya, bahkan dalam sebuah hadis Nabi saw disebutkan bahwa Asiyah termasuk diantara wanita-wanita yang mulia, diriwayatkan: [“Sebaik-baik wanita penghuni surga adalah Khadijah, Fatimah, Maryam puteri Imron dan Asiyah istri Fir’aun”].

1.    Khadijah Binti Khuwailid (Ummul Mu’ninin)
Khadijah dilahirkan pada tahun 68 sebelum Hijriyah di sebuah keluarga yang mulia dan terhormat. Dia tumbuh dalam suasana yang dipenuhi dengan perilaku terpuji. Ulet, cerdas dan penyayang merupakan karakter khusus kepribadiannya. Sehingga masyarakat di zaman Jahiliyah menjulukinya sebagai al-thahirah (seorang wanita yang suci). Selain itu, Khadijah juga berprofesi sebagai pedagang yang mempunyai modal sehingga bisa mengupah orang untuk menjalankan usahanya. Kemudian Khadijah akan membagi keuntungan dari perolehan usaha tersebut. Rombongan dagang miliknya juga seperti umumnya rombongan dagang kaum Quraisy lainnya.
Lalu, suatu saat dia mendengar tentang Rasulullah Saw, sesuatu yang menarik perhatian khadijah tentang kejujuran, amanah, dan kemuliaan akhlak Rasulullah saw.
Pada saat itu, Abu Thalib berkata pada keponakannya, Muhammad saw, “Aku adalah orang yang tidak mempunyai harta sedangkan kebutuhan zaman semakin hari semakin mendesak. Umur telah kita lalui dengan sia-sia tanpa ada harta dan perniagaan. Lihatlah Khadijah, dia mampu mengutus beberapa orang untuk menjalankan niaganya, sehingga mereka mendapatkan hasil dari barang yang diniagakan. Andai engkau datang kepadanya (untuk menjalankan niaganya) dengan keutamaanmu dibandingkan yang lainnya, tentu tidak akan ada yang menyaingimu, terutama sekali dengan kesucianmu.”
Kemudian Khadijah memberikan pekerjaan kepada Rasulullah agar menjalankan barang dagangannya ke negeri Syam dengan ditemani anak bernama Maisarah. Beliau diberi modal yang cukup besar dibandingkan lainnya. Rasulullah menerima pekerjaan tersebut dan disertai Maisarah menuju kota Syam. Sesampainya di negeri tersebut beliau mulai menjual barang dagangannya, dan kemudian hasil dari penjualan tersebut beliau belikan barang lagi untuk dijual di Makkah. Setelah misi dagangnya selesai, beliau bergabung dengan kafilah kembali ke Makkah bersama Maisarah. Keuntungan yang didapatkan beliau sungguh berlipat ganda, sehingga Khadijah menambahkan bonus untuk Rasulullah saw dari hasil penjualan tersebut.
Sesampainya di Makkah, Maisarah menceritakan perilaku baik Rasulullah yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Khadijah merasa tertarik dengan cerita tersebut dan segera mengutus Maisarah untuk datang pada Rasulullah saw. Dan menyempaikan pesannya bagi Rasulullah: “Wahai anak paman! Aku senang kepadamu karena kekerabatan, kekuasaan terhadap kaummu, amanahmu, kepribadianmu yang baik, dan kejujuran perkataanmu”. Kemudian Khadijah menawarkan dirinya kepada Rasulullah.
Rasulullah saw menceritakan perihal ini kepada para pamannya. Tidak lama kemudian Hamzah bin Abdul Muthallib bersama Rasulullah datang pada Khuwailid bin Asad bermaksud meminang puterinya itu untuk Rasulullah. Kemudian Khuwailid berkata (dalam keadaan setengah mabuk): “Dia itu kuda yang tidak dicocok hidungnya[1]”. (maksudnya: seorang yang mulia). Dalam sebuah riwayat lain disebutkan bahwa ketika Rasulullah meminang Khadijah binti Khuwailid, dia menceritakannya pada Waraqah bin Naufal, kemudian berkata: “Muhammad bin Abdullah meminang Khadijah binti Khuwailid, dia seorang lelaki yang mulia.” Rasulullah kemudian menikahi Khadijah dan memberinya dua puluh onta muda. Saat itu Khadijah berumur 40 tahun dan Rasulullah saw berumur 25 tahun.
Dialah perempuan pertama yang dinikahi Rasulullah saw dan beliau tidak menikah dengan siapa pun kecuali setelah Khadijah meninggal dunia. Dari Khadijah lahirlah Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.
Saat menerima risalah kenabian, Khadijah merupakan orang pertama yang percaya kepada Allah dan rasul beserta ajaran-ajaran-Nya. Nabi Muhammad pun tidak menghiraukan berbagai ancaman dan propaganda yang datangnya dari kaum musyrikin. Karena disampingnya terdapat sang kekasih pilihan Allah yang dengan setia mendampingi dan memperkuat aktifitas dakwahnya, sehingga terasa ringan beban yang diemban dan ringan pula menghadapi cobaan apa pun yang dilakukan oleh kaumnya.
Siti ‘Aisyah meriwayatkan bahwa wahyu pertama yang diterima oleh rasulullah berupa mimpi baik (al-ru’ya al-shalihah) yang datang dalam tidur. Mimpi itu datang kepadanya seperti fajar menyingsing. Kemudian beliau merasa senang berdiam diri di gua hira’ untuk mendekatkan diri pada sang Pencipta atau tahannuts. Yaitu, ibadah yang beliau lakukan pada malam hari selama beberapa malam sebelum bergabung dengan keluarganya. Dan setelah itu dia kembali bersiap-siap dengan bekal untuk melakukan tahannuts, kemudian kembali lagi ke Khadijah dan bersiap lagi untuk melakukan tahannuts.
Hal tersebut dilakukan beliau secara berulang-ulang hingga datang kebenaran Allah di saat malaikat datang kepada beliau dengan berkata: “Bacalah (iqra’)!” beliau berkata: “aku tidak bisa membaca”, beliau kembali berkata: “Malaikat itu memelukku erat-erat kemudian berkata, ‘bacalah!’, akupun kembali menjawab bahwa aku tidak bisa membaca, kemudian aku dipeluk lagi dan malaikat itu berkata seperti yang pertama, aku pun menjawab dengan sama seperti yang pertama. Kali ketiga aku dipeluk malaikat itu berkata; {“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Mulia.”}
Beliau kembali ke rumah dengan perasaan takut seraya berkata kepada Khadijah binti Khuwailid: selimuti aku! Selimuti aku! Maka diselimutilah beliau hingga hilang perasaan takutnya itu. Beliau menceritakan semua yang telah terjadi sebelumnya. Seraya mengeluh beliau berucap: “aku khawatir pada diriku”. Kemudian, Khadijah menjawab, “Tidak perlu khawatir, Allah tidak akan pernah menghinakanmu, sesungguhnya engkau orang yang menjaga tali silaturrahmi, senantiasa mengemban amanat, berusaha memperoleh sesuatu yang tiada, selalu menghormati tamu dan membantu orang-orang yang berhak untuk dibantu”.
Khadijah mengajak beliau untuk menmui Waraqah bin Nufail bin Asad bin Abdul ‘Uzay, sepupu Khadijah yang memeluk agama Nasrani di zaman jahiliyah dan menulis buku Injil dengan bahasa Ibrani. Masya Allah, dia menulis, padahal telah buta. Khadijah berkata kepadanya: “Dengarkan sepupu, kata-kata dari keponakanmu ini!”. Waraqah berkata: “Wahai keponakanku, apa yang engkau lihat?” Lalu, Rasulullah menceritakan tentang apa yangtelah dilihatnya. Kemudian, Waraqah berkata: “Ini adalah Malaikat yang telah Allah turunkan kepada nabi Musa. Andai aku dapat bertahan, aku berharap masih hidup ketika kaummu mengusirmu”. Rasulullah bertanya-tanya; “Kenapa mereka mengusirku?”. Waraqah menjawab, “Tidak seorang pun yang datang dengan sesuatu sebagaimana yang kau emban ini kecuali dimusuhi oleh kaumnya. Jika aku masih hidup sampai pada harimu, tentu aku akan menolongmu dengan sungguh-sungguh.” Waraqah tidak sempat terlibat dalam aktifitas dakwah Nabi, karena keburu meninggal dunia dan tidak sempat mendengarkan ajaran wahyu yang diturunkan pada Muhammad saw.
Rasulullah saw dan Khadijah tetap berdiam di Makkah dan melakukan shalat secara rahasia dengan kehendak Allah. Afif Al-Kindiy meriwayatkan: “Di zaman Jahiliah, aku datang ke Makkah untuk membelikan keluargaku beberapa baju dan wewangian. Lalu aku menemui Abbas bin Abdul Muthallib. Dia melanjutkan ceritanya, “Lalu, saat bersamanya, aku melihat ke arah Ka’bah di saat matahari sedang terik. Saat itulah kulihat seorang pemuda sedang mendekat ka’bah, sesekali ia menatap langit dan menghadap Ka’bah sambil berdiri. Selang beberapa lama, datang seorang anak kecil berdiri di sampingnya. Kemudian disusul oleh perempuan di belakangnya. Sang pemuda itu melakukan ruku’, si anak juga ikut ruku’, begitu pula dengan si perempuan. Lalu, si pemuda mengangkat kepalanya, si anak juga mengangkat kepalanya, begitu pula si perempuan mengikutinya. Kemudia pemuda yang berada di depan bersujud, si anak ikut bersujud, begitu pula perempuan di belakangnya. 
Dia melanjutkan ceritanya: aku bertanya “Wahai Abbas! Aku melihat sesuatu yang sangat mengagumkan”. Abbas berkata, “Mengagumkan? Kamu tahu siapa pemuda itu?” Aku berkata; “Tidak, aku tidak tahu”. Lalu Abbas memberitahu, “Pemuda tersebut adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib, keponakanku.” Abbas bertanya lagi, “Tahukah kamu siapakah wanita itu?” aku menjawab; “Tidak, aku tidak tahu”. Abbas menjawab sendiri pertanyaannya; “Wanita itu adalah Khadijah binti Khuwailid, istri keponakanku itu.”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Nah, keponakanku yang kau lihat tadi itu, memberitahu kita bahwa Tuhannya merupakan pencipta langit dan bumi, telah memerintahkannya untuk mengajarkan agama ini seperti apa yang dilakukannya tadi. Sungguh aku tidak tahu di seluruh muka bumi ada agama semacam ini, selain pada diri mereka bertiga. Afif berkata: “Maka, aku berangan-angan untuk menjadi orang keempat dari mereka yang menyebarkan agama ini”.
Khadijah memang sangat dicintai dan dihormati oleh Rasulullah. Beliau juga tidak pernah berselisih dengan apa yang dikatakan Khadijah pada beliau, terutama pada saat sebelum wahyu turun[2]. Bahkan, meski telah tiada istri kesayangannya itu selalu disebut-sebut dalam setiap kesempatan, dan tidak bosan-bosan memujinya. Sehingga ‘Aisyah, ummul mu’minin merasa cemburu. Sampai suatu saat, ‘Aisyah berkata pada Rasulullah saw, “Allah telah mengganti wanita tua itu”. Tentu saja Rasulullah marah dengan ucapan ‘Aisyah ini, hingga ‘Aisyah merasa terkelupas kulitnya, karena kemarahan Rasul pada dirinya. Aisyah berkata pada dirinya; “Ya Allah, hilangkanlah perasaan marah Rasulullah terhadapku dan aku berjanji untuk tidak lagi menjelek-jelekkan Khajidah”.
Aisyah pernah berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-isrti Rasulullah kecuali pada Khadijah. Walaupun aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Rasulullah sering menyebutnya di setiap saat. Ketika beliau memotong Kambing, tak lupa beliau sisihkan dari sebagian daging tersebut untuk kerabat-kerabat Khadijah. Ketika aku katakan, seakan-akan tidak ada wanita di dunia ini selain Khadijah, beliau berkata, sesungguhnya dia telah tiada dan dari rahimnya aku dapat keturunan[3]”.
‘Aisyah berkata: “Dulu Rasulullah saw. setiap keluar rumah, hampir selalu menyebut Khadijah dan memujinya. Pernah suatu hari beliau menyebutnya sehingga aku merasa cemburu. Aku berkata, Apakah tiada orang lagi selain wanita tua itu. Bukankah Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik? Lalu, Rasulullah saw marah hingga bergetar rambut depannya karena amarah dan berkata, “Tidak, demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik darinya. Dia percaya padaku di saat semua orang ingkar, dan membenarkanku di kala orang-orang mendustakanku, menghiburku dengan hartanya ketika manusia telah mengharamkan harta untukku, dan Allah telah mengaruniaiku dari rahimnya beberapa anak di saat istri-istriku tidak membuahkan keturunan”. Kemudian ‘Aisyah berkata, “Aku bergumam dalam diriku bahwa aku tidak akan menjelek-jelekannya lagi selamanya[4]”.
Khadijah ummul Mukminin, seorang tangan kanan Rasulullah yang senantiasa membantu beliau dalam menjalankan dakwah dan menyebarkan ajaran-ajarannya, telah meninggal pada tahun ketiga sebelum Hijriyah di kota Makkah[5] pada usia enam puluh lima tahun[6]. Di saat ajal menjemputnya, Rasulullah menghampiri Khadijah sembari berkata, “Engkau pasti tidak menyukai apa yang aku lihat saat ini, sedangkan Allah telah menjadikan dalam sesuatu yang tidak engkau kehendaki itu sebagai kebaikan[7]”. Saat pemakamannya Rasulullah turun ke dalam lubang kubur dan dengan tangannya sendiri memasukkannya ke liang kuburan di daerah Hujun[8]. Kematiannya merupakan musibah besar, dimana setelahnya diikuti berbagai musibah dan peristiwa yang datangnya secara beruntun. Beliau memikul beban dengan penuh ketabahan dan kesabaran demi mencapai ridla Allah ‘azza wa jalla.

2.    Hafshah binti Umar bin Khattab (Ummul Mukminin)
Hafshah dilahirkan saat kaum Quraisy merenovasi Ka’bah di saat 5 Tahun sebelum Nabi Muhammad saw diutus sebagai Rasul oleh Allah. Kemudian dinikahi oleh Khunais bin Jadzafah. Hafshah menyertai suaminya hijrah ke Madinah. Lalu, suaminya itu meninggal dunia saat mengikuti perang Badar bersama Rasulullah saw.
Setelah Hafshah menjadi janda, Umar bin Khattab menemui Utsman bin Affan untuk menawarkan Hafshah menjadi istrinya. Kemudian Utsman berkata: “Aku tidak membutuhkan seorang wanita.” Kemudian Umar menemui Abu Bakar, lalu menawarkan Hafshah padanya untuk dijadikan istri. Akan tetapi Abu Bakar terdiam membisu, hingga membuat Umar marah pada Abu Bakar.
Kemudian Umar mengadukan hal itu pada Rasulullah saw, “Tidakkah mengherankan, aku telah menawarkan Hafshah pada Utsman tapi dia malah menolak tawaranku itu.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Allah telah memilihkan pasangan bagi Utsman seorang perempuan yang lebih baik dari anakmu, dan pasangan bagi anakmu lebih baik dari Ustman.” Kemudian Rasulullah saw menikahi Hafshah pada tahun ketiga Hijriyah, dengan memberinya mahar 400 Dirham, dan pada saat itu umurnya baru 20 tahun.
Dia meriwayatkan sekitar 60 hadits dari Rasulullah saw dan Umar bin Khattab. Sekelompok sahabat dan Tabi’in meriwayatkan hadits dari dirinya, seperti saudara laki-laki Hafshah, Abdullah, anaknya Hamzah, dan istrinya Shafiah binti Abu Ubaid, dan Haritsah bin Wahab, Muthallib bin Abu Wada’ah, Umm Mubasyir al-Anshariyah, Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, Abdullah bin Shafwan bin Umayyah, al-Musib bin Rafi’, dan Suwar bin al-Khiza’i.
Hafshah juga seorang penulis yang mempunyai kefasehan dan ketinggian bahasa. Dia berkata di saat bapaknya, Umar sakit: Wahai ayahku, janganlah kedatanganmu menghadap Tuhan yang Maha Pengasih membuatmu bersedih, meski tiada seorang pun yang mengikutimu di sisimu. Aku punya kabar gembira buatmu. Dan aku tidak akan menyebutkan rahasia ini dua kali. Nikmat kesembuhan bagimu adalah keadilan, sedang tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah ‘azza wa jalla dalam kekerasan hidup yang kau lalui, ketahanan dirimu melawan gairah duniawi, dan keberanianmu menghadapi orang musyrik dan para perusak di dunia ini.
Kemudian Hashah mengarang puisi:
Tekanan haus yang tercampur dalam hati
Dan hanya al-Quran menjadi pelipur lara
Tidaklah kematianmu membuat kaget bagi cinta
Sungguh janji bagi orang yang melihat kefanaan
Dan Hafshah meninggal dunia di Madinah pada tahun 45 Hijriyah.
3.    ‘Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq (Ummul Mukminin)
Seorang perempuan periwayat hadits terbesar pada masanya. Dia juga terkenal sebagai seorang yang cerdas, fasih, dan mempunyai ilmu bahasa yang tinggi. Dia merupakan salah seorang terpenting yang mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran ajaran-ajaran Rasulullah saw. Dia dilahirkan di Makkah kira-kira pada tahun kedelapan sebelum Hijriyah. Ketika Khadijah meninggal dunia Rasulullah saw merasa amat sedih hingga dirinya merasa khawatir. Kemudian, saat tekanan kesedihan mereda beliau berusaha mengalihkan perhatian dengan mengunjungi rumah Abu Bakar as-Shiddiq dan berkata: “Wahai Ummu Ruman, jagalah Aisyah anak perempuanmu itu dengan baik, dan peliharalah dia.”
Oleh karena ucapan Rasulullah ini ‘Aisyah mempunyai kedudukan istimewa di keluarganya. Sejak Abu Bakar masuk Islam hingga masa hijrah, Rasulullah tak pernah lupa mengunjungi rumah Abu Bakar dan keluarganya. Lalu, ketika di suatu hari mengunjungi mereka, Rasulullah menemukan ‘Aisyah bersembunyi di balik pintu rumah Abu Bakar sambil terisak menangis karena merasa sedih. Kemudian Rasul bertanya padanya, kemudian Ibunya mengadu pada Rasulullah. Sesaat mata Rasulullah berlinang air mata, kemudian masuk ke dalam rumah Ummu Ruman dan berkata: Wahai Ummu Ruman, bukankah telah kuminta padamu untuk merawat ‘Aisyah dengan baik? Kemudian dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kau telah menyampaikan sesuatu tentang diriku pada as-Shiddiq dan memarahinya sehingga dia memarahi kami?” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Bagaimana jika aku telah melakukannya?” Dia berkata, “Tentu aku tidak akan berbuat buruk pada ‘Aisyah lagi.”
Khaulah binti Hakim, istri Utsman bin Mathgun, mendatangi Rasulullah saw, lalu berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah engkau berkeinginan untuk menikah? Beliau berkata: dengan siapa? Dia berkata: apakah anda ingin yang perawan atau yang janda? Kemudian Rasulullah berkata: Siapakah yang perawan dan siapa pula yang janda? Dia berkata: “Adapun yang perawan adalah seorang anak yang kau senangi, ‘Aisyah binti Abu Bakar. Sedang yang janda adalah Saudah binti Zam’ah yang telah beriman pada Tuhanmu dan menjadi pengikutmu. Kemudian Rasulullah saw berkata: Lamarlah dirinya buatku.
Kemudian Khaulah datang pada Ummu Ruman dan berkata: Wahai Ummu Ruman, bagaimana menurutmu bila Allah memberikan anugerah terbaik buat keluargamu? Kemudian dengan terheran-heran Ummu Ruman berkata: Apa itu? Lalu Khaulah berkata: Rasulullah melamar ‘Aisyah. Ummu Ruman berkata: Tunggulah sebentar, Abu Bakar datang. Ketika Abu Bakar tiba, Ummu Ruman menceritakan hal itu padanya. Lalu Abu Bakar berkata: Bukankah itu baik bagi beliau, karena dia (‘Aisyah) adalah anak perempuan saudaranya? Kemudian kabar tersebut disampaikan pada Rasulullah saw kemudian berkata, dia (Abu Bakar) adalah saudaraku seagama, dan anaknya baik bagiku. Lalu, Rasulullah datang pada Abu Bakar untuk meminang anaknya.
Setibanya di rumah ‘Aisyah, Rasulullah melakukan ‘akad nikah dan memberinya 400 dirham. Hal tersebut terjadi di Makkah pada bulan Syawal tiga tahun sebelum Hijrah. Pada saat itu ‘Aisyah masih berumur 7 tahun. Namun, Rasulullah baru membangun bahtera rumah tangga dengan ‘Aisyah ketika dia sudah berumur 9 tahun di Madinah, pada bulan Syawal pada tahun pertama Hijrah.
Ketika ‘Aisyah mulai beranjak matang, saat itu dia sudah berumur 9 tahun, ibunya datang menurunkannya dari kuda tunggangan lalu berjalan mengiringinya hingga berakhir di sebuah pintu. Kemudian sang Ibu mengusap wajahnya dengan sesuatu dari air dan mulai melepaskan dirinya untuk hidup bersama Rasulullah. Kemudian sang Ibu masuk bersama ‘Aisyah ke rumah Rasulullah, sedang para wanita dari kalangan Anshar berada dalam rumah Rasul, kemudian mereka berseru dengan berbagai ucapan selamat dan kebaikan. Dan sang Ibu menyerahkan ‘Aisyah pada mereka, kemudian mereka yang mendandani ‘Aisyah. Setelah itu, Rasulullah membina rumah tangga bersamanya dalam satu rumah yang kemudian akan menjadi tempat bagi akhir hidup Rasulullah. ‘Aisyah adalah seorang wanita yang paling beruntung yang dipunyainya dan paling dicintainya diantara istri-istri Rasul yang lain.
‘Amru bin ‘Ash bercerita bahwa dirinya pernah berkunjung pada Nabi saw, kemudian berkata: Siapakah orang yang paling kau cintai wahai Rasulullah? Beliau berkata: ‘Aisyah. Dia bertanya: Lalu siapa dari kalangan laki-laki? Beliau menjawab: Ayahnya. Dia bertanya: kemudian siapa lagi? Beliau berkata: Umar. Dan dari diwayat Anas diceritakan bahwa Nabi saw ditanya tentang seseorang yang paling dicintainya. Beliau menjawab ‘Aisyah. Kemudian dikatakan: bukan itu wahai Rasul, maksud kami diantara keluargamu. Beliau menjawab Abu Bakar.
Bahkan saking cintanya Rasulullah saw pada ‘Aisyah, beliau mendoakannya dengan do’a: Ya Allah, ampunilah ‘Aisyah dari dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, yang tersembunyi dan yang terlihat. Hal tersebut membuat ‘Aisyah tertawa hingga kepalanya terangguk-angguk saking gembira. Lalu Rasulullah saw berkata padanya: apakah kau senang dengan doaku? ‘Aisyah berkata: Apa yang membuatku tidak senang dengan doamu? Kemudian Nabi saw berkata: Sesungguhnya doa itu aku ucapkan bagi diriku dan bagi umatku di setiap sholat.
Dan diantara kecintaan Rasulullah saw pada ‘Aisyah, pada suatu saat antara Rasul dan ‘Aisyah terlibat suatu pembicaraan. Lalu Rasul berkata padanya: Siapakah orang yang kau relakan menjadi penengah diantara kita, apakah dia Umar? ‘Aisyah berkata, tidak, Umar orangnya kasar. Lalu Rasul berkata lagi: apakah kau rela bila ayahmu menjadi penengah kita berdua? Dia berkata: Ya, baiklah. Kemudian Rasul mengutus seseorang padanya, kemudian setelah Abu Bakar tiba di antara mereka berdua, Rasulullah berkata: sesungguhnya seperti inilah duduk perkaranya. Lalu, ‘Aisyah menyela ucapan Rasulullah dengan berkata: bertakwalah pada Allah dan jangan bicara selain kebenaran. Lalu spontan Abu Bakar mengangkat tangannya kemudian menampar hidungnya, lalu ‘Aisyah berpaling dan berlari dari Abu Bakar dan berlindung di punggung Rasulullah saw. sehingga Nabi Saw berkata pada Abu Bakar, apakah kau mau bersumpah tidak melakukan hal ini bila nanti keluar dari rumah ini, karena kami tidak mengundangmu untuk melakukan hal semacam ini.
Ummu Salamah pernah mendengar seseorang membentak ‘Aisyah, kemudian dia mengirim tetangganya untuk melihat apa yang terjadi. Kemudian orang yang disuruhnya tiba, lalu berkata: Kejadiannya telah usai. Lalu Ummu Salamah berkata: Demi Dzat yang memiliki jiwaku, sungguh orang yang dicintai Rasulullah, diantara semuanya, adalah ayahnya (‘Aisyah).
Ada seseorang yang menghardik ‘Aisyah di saat ada Amar bin Yasir. Lalu Amar bin Yasir berkata padanya: Sungguh mengherankan bersikap kasar dan membentak, apakah kau ingin menyakiti orang yang paling dicintai (kekasih) Rasulullah?
Ketika Binti Zam’ah semakin tua, jatah satu hari dan malamnya dari Rasulullah diberikan pada ‘Aisyah. Kemudian dia berkata: Wahai Rasulullah, aku berikan jatah satu hariku bersamamu pada ‘Aisyah. Kemudian Rasulullah menjanjikan jatah dua hari bagi ‘Aisyah dan satu hari bagi Saudah.
Demikian pula Shofiah Ummul Mukminin memberikan jatah satu harinya bersama Rasulullah pada ‘Aisyah dengan persetujuan Rasulullah saw. Kemudian ‘Aisyah menerima jatah satu hari tersebut, kemudian mengambil keledai yang dipunyainya dan menyiraminya dengan wewangian, kemudian memercikkannya dengan air agar wanginya terasa segar. Kemudian ‘Aisyah memakai pakaiannya kemudian pergi menuju Rasulullah saw, sesampainya di sana ‘Aisyah mengangkat ujung tenda Rasulullah. Kemudian Nabi saw berkata: Ada apa denganmu wahai ‘Aisyah, sesungguhnya ini bukanlah (jatah) harimu. ‘Aisyah berkata: Itulah anugerah Allah diberikan pada orang yang dikehendaki-Nya. Kemudian beliau menanggapi: ya, karunia Allah selalu diberikan pada orang yang berhak mendapatkannya. (Al-Hadits)
‘Aisyah amat mencintai Rasulullah saw. Pada suatu ketika Nabi saw datang padanya dan berkata: aku akan menawarkan padamu suatu perkara, kau tidak perlu terburu-buru untuk memutuskannya hingga kau berdiskusi dengan kedua orang tuamu. ‘Aisyah berkata: tentang apa ini yang Rasulullah? Kemudian Nabi saw membacakan: (Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu:"Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.) (QS. 33:28-29)
Kemudian ‘Aisyah berkata: lalu untuk apa kau menyuruhku untuk berunding dengan kedua orang tuaku, padahal aku telah tahu. Demi Allah, kedua orang tuaku tidak akan menyuruhku untuk berpisah darimu, bahkan aku telah memutuskan untuk memilih Allah, Rasul-Nya dan akhirat. Kemudian Nabi merasa gembira dengan ucapan ‘Aisyah itu dan merasa takjub, kemudian bersabda: Aku akan tunjukkan pada teman-temanmu apa yang telah aku tawarkan padamu tadi. Lalu Nabi saw benar-benar mengatakan pada para wanita sebagaimana yang dikatakan pada ‘Aisyah, kemudian beliau berkata: sungguh ‘Aisyah telah memilih Allah, Rasul-Nya dan kehidupan akhirat.
‘Aisyah dan Peristiwa Hadits Ifk
Masih terekam dalam ingatan, kecintaan besar yang dinikmati ‘Aisyah tentu saja merupakan faktor pemicu pada sebagian orang untuk merasa iri dan cemburu. Sehingga mereka melemparkan tuduhan pada wanita suci ini, kemudian Allah membebaskan dirinya dari segala tuduhan tersebut, dan kisah itu termaktub dalam Al-Quran. Setelah kejadian itu, kedudukan ‘Aisyah semakin bertambah mulia dan Rasulullah saw semakin bertambah cinta padanya.
Pada saat itu, rumor tentang hal buruk yang dituduhkan pada ‘Aisyah menjadi buah bibir masyarakat sehingga membuat Rasulullah bersedih tidak tahu harus berbuat apa. Terlebih lagi, kabar mengenai rumor itu masih belum jelas terdengar langsung dari ‘Aisyah selama berhari-hari. Hingga pada suatu hari seorang muslimat memberitahu Rasul tentang kejadiannya, lalu saat itulah ‘Aisyah berkata:
Demi Allah, aku telah tahu bahwa engkau pasti mendengar apa yang menjadi buah bibir masyarakat di luar sana. Rumor itu tertanam dalam dirimu dan engkau mempercayai perkataan mereka. Dan jika aku katakan bahwa diriku benar-benar tidak melakukan hal itu, tentu kau tidak akan mempercayai diriku. Dan jika aku mengakui berbuat hal itu padamu, sedangkan Allah Mahatahu bahwa sesungguhnya aku tidak bersalah, tentu kau akan percaya pengakuan salahku itu. Demi Allah, aku tidak mendapatkan suatu pembelaan yang kupunyai ataupun yang kau punya sebagai suatu teladan, kecuali melakukan apa yang dilakukan oleh ayah Yusuf as, ketika berkata: Maka bersabarlah yang baik, karena Allah satu-satunya Penolong terhadap apa yang mereka sangkakan. Kemudian ‘Aisyah beranjak pergi ke tempat tidurnya dan memohon agar Allah melepaskan dirinya dari tuduhan yang ditimpakan padanya, agar Allah menurunkan wahyu dalam masalah ini. Namun, dia merasa buat apa al-Quran berbicara masalah ini, sehingga dia merasa rendah diri dan tidak dapat berharap banyak. ‘Aisyah hanya berharap agar Rasulullah dapat melihat dalam mimpinya agar Allah menjelaskan dan melepaskan dirinya dari segala yang dituduhkan orang. Akan tetapi Rasulullah saw masih saja tetap pada pendiriannya, dan tidak ada seorang pun dari ahlul bait (keluarga Rasul) yang keluar untuk membela ‘Aisyah.
Hingga pada suatu saat Jibril turun untuk meredakan kebingungan yang dialami Rasulullah. Berita yang dibawa Jibril ini untuk membuat Rasul gembira dan terlepas dari kebisuannya selama ini seperti keluarnya mutiara dari kerangnya pada hari gerimis datang. Ketika kabar gembira itu datang pada Rasulullah saw, beliau tertawa senang. Kata-kata pertama yang dikatakan Rasul yang diucapkan di hadapan ‘Aisyah adalah: Wahai ‘Aisyah, pujilah Allah, sungguh Allah telah melepaskan dirimu dari tuduhan. Kemudian Ibunya berkata pada ‘Aisyah: Datangilah Rasulullah. Kemudian ‘Aisyah berkata: Tidak, aku tidak akan datang padanya, dan ucapan terima kasihku (puji-pujian) hanyalah bagi Allah.
Allah telah membebaskan ‘Aisyah dari segala tuduhan itu dengan firman-Nya: (Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.)
Kemudian Rasulullah saw keluar pada masyarakat untuk membacakan ayat yang menjelaskan tentang bebasnya ‘Aisyah dari tuduhan yang selama ini beredar di masyarakat. Kemudian diperintahkan agar Musthah bin Atsatsah, Husan bin Tsabit, Hamnah binti Jahsy dan beberapa orang lainnya yang tidak disebut namanya, untuk mendapat hukuman sesuai syari’at, karena mereka telah menyebarkan berita bohong dari orang-orang yang sebenarnya baik dan menuduhnya telah berbuat hina.
Namun demikian, ‘Aisyah tidak senang bila ada seseorang yang menghina Hassan bin Tsabit sampai didengar telinganya. Ada seseorang yang datang padanya, kemudian menghina Hassan. ‘Aisyah berkata: Janganlah kau menghinanya, dia itu dulu pernah membela Rasulullah saw. Dan dia dulu berkata pada ‘Aisyah dalam suatu bait puisi seperti di bawah ini:
Seorang yang terjaga tiada pernah diragukan
Menjadi mulia dari keturunan para bangsawan
Lebih cerdik dari Lua’y bin Ghalib
Terhormat senantiasa tiada binasa
Penuh pengertian, sungguh Allah menyucikan karakternya
Menyucikannya dari para pendengki dan penghasud

‘Atho bin Abu Rabah pernah berkata: Kalaupun ‘Aisyah tidak mempunyai keutamaan, dengan peristiwa ifk ini saja sudah cukup untuk menunjukkan keutamaan dirinya dan ketinggian derajatnya. Bahkan, masalah dirinya diabadikan dalam al-Quran yang akan dibaca sepanjang zaman. Bila Masruq berkata menyangkut ‘Aisyah, dia berkata: ceritakanlah padaku tentang wanita jujur (shadiqah) anak perempuan dari seorang yang shiddiq.
Saat Utsman bin Affan terbunuh dan Ali bin Abu Thalib dibai’at pada tanggal 5 bulan Dzul Hijjah tahun 36 H. Bani Umayyah melarikan diri dan pejabat-pejabat Bani Umayah turun sehingga mereka menuju kota Makkah. Pada saat itu, ‘Aisyah sedang berada di Makkah ingin melaksanakan Umrah di bulan Muharram. Ketika Bani Umayyah mengetahui hal itu mereka beranjak menemui ‘Aisyah, kemudian ‘Aisyah menanyakan kabar mereka. Lalu, mereka memberikan kabar padanya bahwa Utsman telah dibunuh, dan mereka tidak rela dengan pemerintahan yang dibentuk pasca Utsman. Kemudian Zubair dan Talhah dan beberapa orang dari Banu Umayyah bergabung dengan ‘Aisyah untuk mengingat bahwa urusan kematian Utsman belum selesai. Lalu Zubair dan Talhah berkata pada ‘Aisyah:
Bila kau mengikuti kami untuk menuntut darah Utsman. Kemudian ‘Aisyah berkata pada mereka berdua: Kepada siapakah kalian menuntut darah Utsman? Mereka berdua berkata: Sesungguhnya mereka adalah kaum yang terkenal dan mereka adalah para pengikut Ali dan para pembesar sahabat-sahabatnya. Maka keluarlah engkau bersama kami hingga datang ke Bashrah, dan orang-orang dari penduduk Hijaz mengikuti kita. Dan sesungguhnya penduduk Bashrah bila melihat dirimu tentu mereka semua akan berada di bawah satu komandomu.
Banyak orang yang terpanggil dengan ajakan ‘Aisyah ummul mukminin, mengikutinya untuk menuntut darah Utsman dan menjatuhkan hukuman yang setimpal bagi pembunuh Utsman.
Dulunya mereka berfikir ‘Aisyah akan menuju ke Madinah, lalu ketika fikirannya berubah menuju penduduk Bashrah, mereka membiarkan dirinya dan mencukupkan diri untuk menemaninya. Adapun Hafshah, dia ingin keluar bersama ‘Aisyah. Tapi kemudian saudaranya Abdullah bin Umar memintanya untuk diam saja, sehingga dia tidak keluar bersama ‘Aisyah dan duduk di rumahnya. Tapi, Hafshah sempat mengirimkan utusan pada ‘Aisyah untuk menjelaskan bahwa Abdullah mencegah diriku untuk keluar. Kemudian ‘Aisyah berkata: semoga Allah mengampuni Abdullah.
Adapun Ummu Salamah ketika melihat apa yang diperbuat Aisyah, dia tetap menunjukkan loyalitasnya pada Ali bin Abu Thalib dan mendukungnya, dan menulis surat pada Aisyah:
Amma ba’du, sesungguhnya engkau mempunyai posisi yang menjadi perantara di antara Rasulullah saw dan umatnya. Dan hijabmu dibuat atas kemuliaannya. Sungguh al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf, maka janganlah kau korbankan al-Quran dan tidak perlu meninggalkan rumahmu untuk melakukan hal ini. Karena Allah selalu mendukung Umat ini.
Kemudian ‘Aisyah menulis pada Ummu Salamah: Betapa nasehatmu masuk dalam hatiku dan menambah pengetahuanku. Tujuanku bukanlah sebagaimana yang kau sangka. Sungguh sebaik-baiknya sesuatu yang memancar akan selalu memancar. Aku hanya ingin memisah dua kelompok yang saling bertikai, bila aku mampu melakukan agar tiada yang terluka dan hanya kedamaian yang ada.
Dan ketika kabar semacam itu sampai pada penduduk Basrah, Ustman bin Hanif mengundang Imran bin Hashin dan al-Aswad ad-Duali. Kemudian dia berkata pada mereka berdua: pergilah kalian pada wanita ini, kemudian pelajarilah ilmunya dan ilmu orang yang bersamanya. Kemudian mereka berdua keluar dan bertemu dengan Aisyah dan orang yang besertanya. Mereka sedang berada di Hafir. Kemudian dua orang itu meminta izin untuk bertemu dengan Aisyah, dan Aisyah memberikan izin. Keduanya memberi salam dan berkata: Sesungguhnya amir (pangeran) mengirim kami berdua untuk menanyakan padamu tentang tujuanmu, apakah kau berkenan memberitahukannya pada kami?
Aisyah berkata: Demi Allah, tidak ada orang yang seperti diriku menghadapi masalah yang masih belum terungkap ini dengan mudah dan tidak pula seorang pun yang mampu menutupi kabar ini pada anaknya. Sesungguhnya sekelompok orang dari penduduk negeri dan perselisihan diantara para kabilah, mereka berperang di tempat yang dimuliakan Rasulullah. Mereka menciptakan beberapa peristiwa di sana, mereka berlindung pada orang yang menyebabkan peristiwa ini, mereka merasa berhak di dalamnya. Sungguh Allah melaknatnya dan laknat Rasulullah baginya, bersama orang-orang yang menyebabkan terbunuhnya imam kaum Muslimin tanpa kejelasan dan penghianatan. Lalu mereka menghalalkan darah yang haram kemudian mereka mengucurkan darah itu dan merampas harta haram, mereka menghalalkan negara yang haram dan bulan haram, dan merobek kehormatan dan kulit persatuan.
Kemudian Abu Aswad dan Imran keluar dari tempat Aisyah, kemudian keduanya mendatangi Talhah. Lalu mereka berdua berkata: Apa yang menjadi tujuanmu? Dia berkata: menuntut terbunuhnya Utsman. Bukankah kau telah membai’at Ali? Dia berkata: benar, dan juga menyatakan sumpah setia. Dan aku tidak akan menggulingkan kepemimpinan Ali, hanya saja dia belum menuntaskan kasus terbunuhnya Utsman.
Kemudian mereka berdua kembali ke tempat Ummul Mukminin kemudian mengucapkan selamat tinggal pada ‘Aisyah. Dan dia berkata: Wahai Abu Aswad, hati-hatilah dirimu agar tidak terbawa nafsu yang menyebabkanmu terlempar ke dalam neraka. Jadilah kalian orang-orang yang tegak di jalan Allah dan syahid membela keadilan. Lalu Aisyah juga berseru: janganlah kalian membunuh kecuali pada orang yang akan membunuhmu. kemudian mereka berseru, Siapapun yang masih belum jelas tentang pelaku pembunuhan Utsman bin Affan, maka kendalikanlah kemarahan kami, sesungguhnya kami tidak ingin kecuali menemukan pembunuh Utsman dan kami tidak memulai membunuh seorang pun.
Para pendukung ‘Aisyah kemudian memobilisasi untuk terlibat dalam perang dan jumlah dari pasukannya diperkirakan mencapai tiga puluh ribu. Panglima perang itu diserahkan pada Zubair, Talhah memimpin pasukan berkuda, Abdullah bin Zubair memimpin infantri, Muhammad bin Talhah berada di tengah-tengah pasukan, dan Marwan memimpin pasukan di barisan terdepan, Maimanah Abdurrahman bin ‘Ubadah di sayap kanan dan Hilal bin Waki’ ada di sayap kiri.
Ali juga memobilisasi para pendukungnya untuk menghadapi pertempuran itu, hingga mencapai dua puluh ribu orang. Kemudian dia menggunakan Abdullah bin Abbas untuk memimpin pasukan pada barisan terdepan, Hind al-Muradi memimpin pasukan kavaleri, dan Ammar bin Yasir memimpin pasukan berkuda, Muhammad bin Abu Bakar memimpin pasukan infantri. Kemudian Ali menulis sebuah surat untuk Zubair dan Talhah. Dan Ali juga menulis surat untuk ‘Aisyah:
Amma ba’du, sesungguhnya kau keluar dengan keadaan marah karena Allah dan Rasul-Nya, menuntut atas terbunuhnya Utsman. Dan seumur hidupku aku hanya tahu kau marah terhadap orang yang menghadirkan bala bencana terhadapmu, dan orang yang menuduhmu melakukan maksiat, kau menganggapnya hal itu lebih dosa dari pada kasus terbunuhnya Utsman. Dan betapa engkau menjadi marah dan betapa kau merasa terbakar dengan kasus ini. Bertakwalah pada Allah dan kembalilah ke rumahmu.
Lalu, terjadilah pertempuran dan Talhah terbunuh, kemudian orang-orang menerima serangan yang dilancarkan mereka itu. Mereka hanya menginginkan kehidupan yang tenang di Basrah, ketika mereka melihat Unta berkeliling di arena pertempuran, mereka kembali pada keadaan seperti saat semula bertemu, dan mereka kembali pada suasana baru. Dan tiada lagi banyak orang yang tersisa di sekeliling Unta dan berada di tengah medan pertempuran kecuali terkena celaka.
Kemudian Ali berseru pada para sahabatnya agar tidak mengikuti provokasi pemimpin, jangan menyerang orang yang terluka, jangan merampas harta. Dan barang siapa yang melempar senjatanya ke tanah maka ia dijamin dalam keadaan aman, dan siapa saja yang mengunci pintu rumahnya maka ia dijamin aman. Lalu mereka mengumpulkan emas dan perak di markas dan beberapa barang berharga lainnya. Maka tidak satu pun di antara mereka yang diperbolehkan untuk mengambil harta tersebut, kecuali senjata orang yang dibunuhnya dan tunggangannya yang digunakan pada waktu berperang.
Lalu beberapa orang sahabat berkata pada Ali: Wahai amirul mukminin, bagaimana kita dihalalkan membunuh mereka sedang kami tidak dihalalkan mengambil harta mereka? Ali berkata: Bagi mereka yang telah bersatu tidak ada tawanan dan tidak ada pula mengambil harta mereka, kecuali sesuatu yang dimiliki oleh orang yang telah terbunuh dalam peperangan itu. Maka tinggalkanlah harta, kalian tahu itu. Dan kalian diharap untuk komit dengan apa yang telah diperintahkan pada kalian.
Setelah itu, Ali memerintahkan Muhammad bin Abu Bakar untuk mengantar ‘Aisyah. Dia mengantar ‘Aisyah ke rumah Abdullah bin Khalaf al-Khuza’i, salah seorang yang gugur dalam pertempuran hari itu. ‘Aisyah diantar pada istri Abdullah yang telah gugur itu, yaitu Shofiah binti Harits bin Talhah bin Abu Talhah.
Ali bin Abu Thalib tetap berada di tendanya selama tiga hari tidak memasuki kota Basrah. Orang-orang banyak yang bersimpati terhadap korban yang tewas, mereka keluar dari rumah untuk menguburkan para sahabat yang gugur dalam peperangan tersebut.
Ali bin Abu Thalib tetap berada di tendanya selama tiga hari tidak memasuki kota Basrah. Orang-orang banyak yang bersimpati terhadap korban yang tewas, mereka keluar dari rumah untuk menguburkan para sahabat yang gugur dalam peperangan tersebut.
Jumlah sahabat yang gugur pada peristiwa yang dikenal dengan “perang jamal” tersebut mencapai 10 ribu orang. Setengah dari para pendukung Ali dan setengahnya dari pendukung ‘Aisyah. Kemudian Ali beranjak mengunjungi ‘Aisyah, bersama Hasan dan Husein serta beberapa anak dari saudaranya, juga dua orang keluarganya yang berasal dari Bani Hasyim, dan selain itu beberapa orang pendukungnya turut serta. Ketika sampai di rumah Abdullah bin Khalaf, yang merupakan sebuah rumah terbesar di Basrah, Ali melihat beberapa wanita yang terisak menangisi Abdullah dan Utsman keduanya anak Khalaf. Diantara mereka terdapat ‘Aisyah dan Shofiah binti Harits yang sempoyongan karena menangis.
Ketika melihat Ali, dia langsung berkata: Wahai Ali, wahai yang bertempur melawan kekasih rasulullah, semoga Allah meyatimkan anakmu, sebagaimana engkau menjadikan anak Abdullah menjadi yatim. Ali tidak membalas ucapan tersebut, dan tetap terdiam di tempatnya semula, tidak bergeming. Hingga kemudian masuk menuju ‘Aisyah dan memberi salam padanya, dan duduk di sampingnya, lalu berkata: Di hadapan kita ada Shofiah, adapun diriku belum melihatnya sejak dia menjadi budak perempuan hingga hari ini.
Kemudian Ali menyiapkan segala sesuatu, berupa tunggangan, perbekalan, dan makanan untuk ‘Aisyah. Beberapa orang yang selamat dari pertempuran itu keluar bersama ‘Aisyah untuk turut serta, kecuali beberapa orang yang senang untuk tetap tinggal di tempat ini. Selain itu, dipilihkan empat puluh wanita yang terkenal dari penduduk Basrah untuk menyertainya. Lalu, Ali berkata pada Abdullah bin Abu Bakar, saudara lelakinya: Persiapkanlah segalanya dan sampaikan padanya untuk bersiap-siap. Pada hari ‘Aisyah hendak meninggalkan kota Basrah, Ali datang padanya dan berdiri di sampingya. Banyak pula orang yang datang, lalu ‘Aisyah keluar menemui mereka untuk mengucapkan salam perpisahan terhadap mereka, begitu pula mereka melepas kepergian ‘Aisyah. Lalu ‘Aisyah berkata:
Wahai anak-anakku, kita saling menegur satu sama lain dengan santun dan sopan untuk mencari kebenaran, maka janganlah kalian saling bermusuhan satu sama lainnya yang dapat menimbulkan perpecahan. Sungguh demi Allah, apa yang terjadi antara diriku dan Ali di masa lalu merupakan sesuatu yang terjadi antara perempuan dan kawan karibnya. Sesungguhnya bagi diriku merupakan teguran dari orang-orang yang terpilih.
Lalu Ali berkata: Wahai manusia, benar ucapan ‘Aisyah, demi Allah apa yang disampaikan merupakan kebenaran yang sesungguhnya. Apa yang telah terjadi antara diriku dan dirinya sebagaimana yang telah diucapkannya. Sesungguhnya dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan akhirat.
‘Aisyah keluar pada hari Sabtu menuju Garrah, bulan Rajab tahun 36 Hijriyah, Ali menemaninya hingga jarak bermil-mil dan melepas anaknya untuk tetap menemani ‘Aisyah.
Kelompok Khawarij menganggap bahwa Talhah, Zubair dan ‘Aisyah serta para pengikutnya telah kafir, karena pada peristiwa “perang jamal” itu, mereka telah memerangi Ali. Dan Ali pada saat itu berada pada posisi yang benar, bertempur melawan para pengunggang Unta.
Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah, mereka berkata: tetap menyatakan keislaman dua kelompok yang berperang dalam pertempuran jamal itu. ‘Aisyah pada waktu itu bermaksud untuk mencarikan solusi bagi dua kelompok yang berselisih. Hanya saja Banu Dhabah dan Azad mendominasi dan keluar dari ide yang hendak ditawarkan ‘Aisyah, sehingga akhrinya mereka bertempur melawan Ali tanpa memperoleh izin ‘Aisyah, sehingga terjadilah sesuatu yang memang harus terjadi.
Diantara bukti yang menunjukkan kesucian hati ‘Aisyah ummul mukminin dan sikapnya menghargai Amirul mukminin, Ali bin Abu Thalib, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abdu Rabbih, dia berkata:
Ketika Amirul mukminin Ali bin Abu Thalib terbunuh, berita duka tersebut sampai ke Madinah. Kultsum Ibnu Amr, pada saat datangnya berita itu, menyaksikan kesedihan melanda kota Madinah, persis saat kesedihan mereka menghadapi wafatnya Rasulullah saw. Banyak para lelaki dan perempuan yang menangis dan meratap. Hingga tatkala linangan air mata tangis mulai mereda, beberapa sahabat Rasulullah saw berkata: marilah kita pergi menuju rumah ‘Aisyah istri Nabi saw, kita lihat kesedihannya terhadap kematian keponakan Rasulullah saw. Lalu orang berdiri dan beranjak menuju rumah ‘Aisyah. Mereka minta izin untuk bertemu dengan dirinya. Kemudian mereka mengetahui bahwa kabar kematian Ali telah didengarnya, pada saat itu dia terlihat teramat sedih dan berlinangan air mata, bukan tangisan yang dibuat-buat. Kesedihan ‘Aisyah berlangsung lama sejak dia mendengar berita duka tersebut. Ketika orang melihat dirinya dalam keadaan sedih, mereka beranjak pergi.
Keesokan harinya, dikatakan dia pergi menuju makam Rasulullah saw, tidak seorang pun dari kaum muhajirin yang berada di Masjid kecuali menjumpai ‘Aisyah dan memberi salam padanya, namun dia tidak dapat menjawab salam, dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata, dikarenakan isak tangisnya dan linangan air matanya, sehingga membuat dirinya tercekik karena menahan tangisnya sambil mengusap linangan air mata dengan pakaiannya. Sedang orang-orang ada di belakangnya hingga dia datang ke sebuah ruangan, lalu memegang dua sisi pintu, dan berkata:
Assalamu’alaika wahai Nabi, Assalamu’alaik wahai Abu Qasim, Assalamu’alaik wahai Rasulullah, dan juga para sahabatmu wahai rasul. Aku datang membawa berita duka padamu, orang yang paling kau sayangi, orang yang selalu kau ingat sepanjang hidupmu, orang yang paling mulia di sisimu telah terbunuh. Demi Allah, kekasihmu yang kau sayangi telah terbunuh. Demi Allah, orang yang mempunyai istri terbaik diantara para wanita itu telah terbunuh. Demi Allah, orang yang beriman dan memegang teguh amanah telah wafat. Sungguh diriku merasa sedih dan banyak orang yang menangis karena kepergiannya.
Aisyah Dalam Keilmuan dan Adab
‘Aisyah juga dikenal sebagai pembawa bendera dalam bidang keilmuan dan pengetahuan di masanya. Seakan-akan dia lampu terang yang menyinari para ahli ilmu dan penuntut ilmu. Bahkan, sahabat Nabi saw datang padanya untuk menanyakan tentang ilmu yang masih sulit dimengerti dan beberapa masalah keilmuan, dia memberikan jawaban yang memuaskan dengan tenang dan teliti. Suatu jawaban yang tidak mudah diberikan kecuali oleh orang yang sudah mencapai tahap keilmuan yang tinggi.
Abu Burdah bin Abu Musa menceritakan sesuatu dari ayahnya: Bila kami, sahabat Nabi Muhammad, menemukan kesulitan dalam suatu hal, tentu kami akan datang pada ‘Aisyah untuk menanyakannya, dan kami mendapatkan darinya suatu pengetahuan baru. Masruq juga berkata: Aku melihat beberapa sahabat senior Nabi Muhammad sedang bertanya pada ‘Aisyah tentang faraidh (ilmu waris).
‘Aisyah juga terhitung salah seorang yang keilmuannya melampaui banyak orang lainnya dalam hal al-Quran, Hadits, fiqh, Syair, cerita-cerita Arab, hari-hari mereka dan nasab mereka. Urwah bin Zubair berkata: Saya tidak melihat seorang pun yang lebih tahu dari ‘Aisyah tentang al-Quran, tentang ilmu faraidh, tentang halal dan haram, tentang syair, sejarah Arab, dan tentang ilmu nasab. Abu Umar bin Abdul Bar juga berkata: ‘Aisyah merupakan orang satu-satunya pada zaman itu yang menguasai tiga keilmuan, ilmu fiqh, ilmu kedokteran dan ilmu syair.
Urwah pernah berkata pada ‘Aisyah: Wahai Ibunda, aku tidak terkejut dengan kepandaianmu dalam bidang fiqh, karena kau adalah istri Rasulullah saw, dan anak perempuan Abu Bakar. Aku juga tidak merasa kaget dengan pengetahuanmu dalam bidang syair dan sejarah kemanusiaan, karena kau adalah anak perempuan Abu Bakar, salah seorang yang paling pandai diantara manusia lainnya, tapi, aku sangat takjub dengan pengetahuanmu dalam bidang kedokteran, bagaimana itu bisa terjadi, dan dari mana kau dapatkan? Dia melanjutkan ceritanya: lalu ‘Aisyah menepuk pundaknya dan berkata: Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah saw dulu pada akhir umurnya menderita suatu penyakit, kemudian didatangkan beberapa utusan dari segala penjuru Arab untuk mendiagnosa penyakit beliau. Lalu, aku mengobatinya. Dari itulah aku tahu ilmu kedokteran.
Menurut perhitungan, diantara orang-orang yang menghafal fatwa dari para sahabat lebih dari seratus tiga puluh orang, lelaki dan perempuan, dan orang yang paling banyak hafalannya diantara mereka ada tujuh orang, Umar bin Khattab, Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Mas’ud, ‘Aisyah ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
Dia meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Fatimah Zahra, Sa’ad bin Abu Waqash, Hamzah bin Amr al-Aslami, Judzamah binti Wahab, sekitar 2210 hadits. Oleh karena itu, kita dapat memasukkan ‘Aisyah termasuk salah seorang periwayat hadits yang paling banyak. Peringkatnya di bawah prestasi Abu Hurairah yang meriwayatkan 5394 hadits, dan tepat di bawah Abdullah bin Umar bin Khattab yang meriwayatkan 2638 hadits. ‘Aisyah berada di atas prestasi Ibnu Abbas yang meriwayatkan 1660 hadits, setelah itu Jabir bin Abdullah al-Anshari yang meriwayatkan 1540 hadits dan dia berada di atas Abu Sa’id yang meriwayatkan 1170 hadits.
Beberapa sahabat juga meriwayatkan hadits darinya, di antara mereka; Umar bin Khattab, Amru bin ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Zaid bin Khalid al-Juhni, Abu Zahrah, Abdullah bin Abbas, Rabi’ah bin Amru al-Jarsyi, as-Saib bin Yazid, al-Harits bin Abdullah bin Naufal dan beberapa orang selain mereka.
Beberapa pembesar Tabi’in juga meriwayatkan hadits darinya, diantara mereka; Sa’id bin al-Musib, Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, Shofiah binti Syaibah, ‘Alqamah bin Qais, Amru bin Maimun, Mathraf bin Abdullah dan beberapa orang lainnya.
‘Aisyah berkata: Carilah ilmu di tempat-tempat tersembunyi yang ada di bumi. Suatu hari ‘Aisyah melihat seorang laki-laki berpura-pura mati, lalu dia berkata: Apa ini? Mereka berkata: dia adalah orang yang zuhud. Kemudian ‘Aisyah berkata: Umar bin Khattab juga adalah seorang yang zuhud, dan bila dia berbicara lebih didengar, bila berjalan lebih cepat, bila ada seseorang yang mengutak-atik Dzat Allah dia merasa lebih tersakiti. Kemudian ‘Aisyah memberikan sejumlah uang yang banyak padanya, kemudian memerintahkan agar pakaiannya ditambal.
Ketika Abdurahman bin Abu Bakar meninggal dunia di Habsyi, ‘Aisyah berdiri di samping kuburnya dan berkata:
Kita dahulu seperti dua orang karib Judzaimah
Seakan tiada masa yang dapat mengukurnya
Hingga dikatakan tidak akan pernah terpisah
Ketika kita telah terpisah
Seakan aku dan orang yang memiliki
Sepanjang dalam kebersamaan
Belumlah bermukim dalam satu malam bersama
Nabi Muhammad saw mendengar perkataan ‘Aisyah yang sedang bersenandung syair Zuhair bin Hibab:
Angkatlah kelemahanmu
Jangan kau biarkan dirimu dalam kelemahannya
Pada hari kau mencapainya suatu akhir yang diperoleh
Dia akan membayarnya atau memujimu
Sungguh orang yang memujimu terhadap
Apa yang telah kau lakukan seperti orang yang diberi
Kemudian Nabi saw membenarkan ucapan ‘Aisyah dengan bersabda tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak mengucapkan terima kasih pada manusia.
Dari dulu ‘Aisyah dikenal sebagai orang yang banyak beribadah, tahajud, dan berpuasa.
‘Aisyah juga dikenal sebagai orang yang pemalu. Ketika dia masuk ke dalam rumah yang di dalamnya kuburan Rasulullah saw dan Abu Bakar dia tidak perlu memakai hijab, karena dua orang tersebut adalah suaminya dan ayahnya. Namun ketika Umar bin Khattab dikubur di sebelah keduanya, dia tidak lagi membuka hijabnya karena malu kepada Umar bin Khattab.
‘Aisyah juga dikenal sebagai orang yang sangat jujur dan tidak pernah berdusta. Ibnu Zubair bila berkata tentang kepribadian ‘Aisyah dia berkata: Demi Allah, dia tidak pernah berdusta pada Rasulullah saw.
Abdullah bin Zubair mengirim dua sak harta yang bernilai 100.000 kepada ‘Aisyah. Kemudian ‘Aisyah membiarkan harta tersebut di letakkan begitu saja, pada saat itu dia sedang berpuasa, sehingga dia membagi-bagikan harta tersebut pada orang lain. Ketika hari beranjak sore, ‘Aisyah berkata: Wahai bibi, berilah makanan buka puasa untukku. Kemudian Ummu Dzurah berkata: Wahai Ummul Mukminin, apakah kau tidak mampu membeli daging seharga satu dirham dengan uang yang telah kau infakkan tadi untuk makanan buka puasa? Kemudian dia berkata: Janganlah kau bersikap kurang sopan terhadapku, kalau kau mengingatkanku tentu aku sudah melakukannya.
Mu’awiyah juga pernah mengirim sepiring penuh emas yang di dalamnya juga terdapat permata yang bernilai sekitar 100.000, kemudian dia membagi-bagikannya pada istri-istri nabi saw. lalu Urwah berkata: Aku melihat ‘Aisyah memberikan shadaqah senilai 70.000 dan dia sedang menjahit bagian pinggir mantelnya. Kemudian dia ditanyakan mengapa melakukan hal itu. Kemudian ‘Aisyah berkata: Tidak ada yang baru bagi orang yang tidak dapat membuatnya. Dan Urwah juga berkata: ‘Aisyah itu juga seorang yang tidak memegang sesuatu yang diberikan padanya, berupa rizki dari Allah, kecuali dia memberi shadaqah dari rizki tersebut.
‘Aisyah pernah meminta izin pada Nabi saw untuk turut serta dalam jihad, kemudian Nabi saw berkata: Jihad kalian adalah dengan berhaji. Pada pertempuran Uhud banyak orang yang melindungi Rasulullah dari serangan, kemudian Anas melihat ‘Aisyah dan Ummu Salim, mereka berdua menyingsingkan lengan sehingga terlihat mereka berdua melayani pasukan Muslim. Keduanya sedang mengangkut tempat air kemudian dituangkan di mulut para pasukan yang kehausan. Lalu, mereka kembali mengisi tempat air itu hingga penuh, dan kembali menuangkan pada mulut pasukan yang kehausan.
Tatkala Umar sudah merasa ajal mendekatinya, dia berkata pada anaknya, Abdullah: Pergilah kau ke ‘Aisyah dan sampaikan salam dariku, serta jangan lupa minta izin padanya agar diriku dapat dikuburkan di dalam rumahnya bersama Rasulullah dan Abu Bakar. Kemudian Abdullah datang padanya, dan memberitahu pesan Umar tadi. Kemudian ‘Aisyah berkata: ya baiklah dan sungguh mulia. Kemudian dia berkata: Wahai anakku, sampaikan salamku pada Umar, dan katakan padanya agar jangan meninggalkan umat muhammad ini tanpa pemimpin yang menggantikan dirinya dan jangan biarkan mereka terombang-ambing sepeninggalmu, aku khawatir akan terjadi fitnah. Kemudian Abdullah datang pada Umar dan memberitahukan pesan ‘Aisyah  padanya.
Kemudian Umar berkata: Dan siapakah yang dapat kuberikan kepercayaan untuk menjadi khalifah? Bila aku memberikan pada Abu Ubaidah bin Jarrah yang masih tersisa hidup, lalu aku memintanya untuk menjadi khalifah dan memberinya kepercayaan, lalu ketika aku datang di hadapan Tuhan, Dia akan bertanya: Siapakah orang yang kau percaya untuk memimpin umat Muhammad? Aku berkata: Wahai Tuhan aku mendengar hamba-Mu dan Nabi-Mu berkata: Bagi setiap umat ada seorang yang dapat dipercaya dan orang yang dipercaya oleh umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.
Jika aku mempercayakan pada Mu’adz bin Jabal untuk menggantikan diriku, kemudian bila diriku berada di hadapan Tuhan yang bertanya padaku: Siapakah yang kau percayai untuk memimpin umat Muhammad? Aku berkata: Wahai Tuhan, aku mendengar hamba-Mu dan Nabi-Mu berkata: Sesungguhnya Mu’adz bin Jabal akan datang di hadapan para ulama pada hari Kiamat. Kalau aku memilih Khalid bin Walid untuk menggantikan diriku. Lalu ketika aku menghadap Tuhan dan ditanya, Siapakah orang yang kau percayai untuk memimpin Umat Muhammad? Aku berkata: Wahai Tuhan, aku mendengar hamba-Mu sekaligus Nabi-Mu berkata: Khalid bin Walid adalah pedang Allah yang menebas kaum musyrikin.
Tapi, aku akan memilih beberapa orang yang diridhoi Rasulullah saw untuk menggantikan diriku diantara mereka, Ali Bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Talhah bin Abdullah, Zubair bin ‘Awwam, Sa’ad bin Abu Waqash, Abdurrahman bin ‘Auf.
‘Aisyah juga dikenal sebagai orang yang menjadi imam sholat bagi para wanita. ‘Aisyah ummul mukminin wafat pada 17 Ramadhan tahun 57 H. (dikatakan 58 H.) di Madinah Munawarah. Pada saat itu dia berumur 66 tahun. Dia menginginkan agar dikuburkan pada malam harinya, dan orang-orang Anshar berkumpul, mereka hadir dan tiada satu malam yang pernah mereka saksikan sebelumnya dengan lautan manusia yang mengiringi jenazah ‘Aisyah pada malam itu. Dia dikuburkan di Baqi’ dan disholatkan oleh Abu Hurairah yang menjadi imam sholat. Ada lima orang yang turun ke dalam liang kuburnya, Abdullah dan Urwah (keduanya anak Zubair), Qasim dan Abdullah (keduanya anak Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq), dan Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakar as-Siddiq.


4.    Shofiah binti Hay bin Akhthab (Ummul Mukminin)
Dia seorang yang utama, cerdas dan amat lembut yang mempunyai kecantikan luar biasa, dimuliakan dan mempunyai derajat nasab yang tinggi. Bahkan, garis keturunannya sampai pada Nabi Harun a.s. Sebelumnya dia menikah dengan Salam bin Musykam al-Qarzhi kemudian dipisah. Lalu, dia menikah dengan Kinanah bin Rabi’ bin Abu al-Haqiq al-Nadlri, kemudian suaminya itu terbunuh pada peristiwa Khaibar.
Ketika Rasulullah mendapatkan kemenangan dan masuk ke dalam Qamus, Hushni bin Abu al-Haqiq mendatangi Rasulullah saw dengan membawa Sofiah binti Hay. Selain itu, ada orang yang menemaninya. Kemudian Bilal melintas di hadapan kedua orang itu. Bilal merupakan orang yang pernah dilihat keduanya atas kejadian orang Yahudi yang terbunuh. Ketika orang yang bersama Shofiah melihat rombongan Bilal tiba-tiba ia terpekik, mukanya pucat dan kepalanya bergetar. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau berkata:
“Jauhkanlah perempuan syetan ini dariku” Dan beliau memerintahkan pada Shofiah untuk melangkah di belakang Rasulullah. Kemudian beliau melemparkan selendangnya pada Shofiah. Kaum muslim mengerti bahwa itu pertanda bahwa Rasulullah saw telah memilih Shofiah untuk dirinya.
Dalam sebuah riwayat yang lain disebutkan bahwa Rasulullah saw ketika mengumpulkan tawanan perang Khaibar, Dahyah datang pada Rasul, kemudian berkata: berilah padaku seorang budak perempuan dari para tawanan. Kemudian beliau berkata: pergilah dan ambillah seorang budak perempuan. Kemudian dia mengambil Shofiah binti Hay. Kemudian dikatakan: Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya dia seorang sayyidah (wanita terhormat) dari bani Quraizhah dan Bani Nadhir yang cocok buatmu. Kemudian Rasulullah saw berkata padanya: ambillah seorang budak perempuan selain dirinya.
Ketika Shofiah mengunjungi Rasulullah saw, beliau berkata padanya: Ayahmu masih saja seorang Yahudi yang keras kepala dan sangat memusuhi diriku, sehingga Allah mencabut nyawanya. Kemudian dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman dalam kitabnya: (dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.) Kemudian Rasulullah saw berkata padanya: Pilihlah menurut kemauan dirimu, bila kau memilih Islam, aku akan menjamin dirimu dengan diriku, apabila kau memilih menjadi seorang Yahudi, semoga aku melepaskan dirimu dan mengembalikanmu bergabung dengan kaummu. Kemudian Shofiah berkata: Wahai Rasulullah, aku telah mencintai Islam, dan aku percaya padamu sebelum kau menyerukan hal tersebut padaku, aku telah menjadi orang yang bergabung dengan dirimu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di kaum Yahudi, aku tidak mempunyai ayah ataupun saudara. Sedangkan anda memberikan pilihan antara kafir dan Islam. Tentu saja Allah dan Rasul-Nya lebih aku cintai dari pada dilepaskan dalam keadaan kafir. Maka Rasulullah memperistri Shofiah.
Ketika Rasulullah saw datang dari pertempuran Khaibar dan turut serta membawa Shofiah bersama beliau. Shofiah dititipkan di salah satu rumah Haritsah bin Nu’man. Kemudian beberapa wanita kalangan Anshar mendengar berita tersebut, mereka mendengar tentang kecantikan Shofiah, sehingga banyak orang yang datang pada dirinya. ‘Aisyah ummul mukminin juga datang mengunjunginya dengan mengenakan cadar. ‘Aisyah masuk ke dalam dan berkenalan dengannya, ketika ‘Aisyah keluar, Rasulullah saw juga keluar dan berkata pada ‘Aisyah: bagaimana menurutmu wahai ‘Aisyah? Kemudian dia berkata: Aku melihat seorang perempuan Yahudi. Rasulullah saw berkata: Janganlah kau mengatakan hal semacam itu wahai ‘Aisyah, sesungguhnya dia telah masuk Islam dan baik pula keadaan Islamnya.
Suatu ketika Shofiah terisak menangis karena mendengar perkataan Hafshah ummul mukminin yang berkomentar tentang dirinya: dia seorang peranakan Yahudi. Ketika Rasulullah saw mengunjungi Shofiah dan melihatnya terisak menangis, beliau bertanya: mengapa engkau menangis? Dia berkata: Hafshah binti Umar berkata padaku bahwa aku adalah peranakan Yahudi. Kemudian Nabi saw berkata: sesungguhnya kau adalah keturunan Nabi, dan pamanmu juga berasal dari keturunan Nabi, sungguh dirimu berada di garis keturunan nabi, lalu apa yang kau bangga-banggakan? Kemudian Nabi berkata: bertakwalah pada Allah wahai Hafshah.
Pada saat Nabi saw menderita sakit, para istrinya berkumpul di tempat ‘Aisyah, rumah dimana Nabi meninggal dunia, kemudian Shofiah berkata: Demi Allah, Wahai Nabi Allah, sungguh aku senang sekali menemani dirimu dan selalu mendampingimu. Kemudian terdengar istri-istri Nabi mengejeknya. Dan Nabi sa memberikan pada mereka penjelasan, lalu bersabda : Kalian ini bergumam. Mereka berkata: karena apa wahai Nabi? Nabi berkata: karena ejekan kalian terhadap sahabat kalian tadi, demi Allah, dia benar-benar tulus dan jujur.
Sejumlah orang berkumpul di dalam kamar Shofiah, kemudian mereka melakukan dzikir kepada Allah dan membaca Al-Quran dan bersujud, kemudian dia memanggil mereka dan datang seorang budak perempuan Umar bin Khattab pada Shofiah, kemudian berkata: Sesungguhnya Shofiah menyukai hari Sabtu dan masih menyambung tali silaturrahmi dengan Yahudi. Kemudian Umar mengutus budak perempuan itu untuk menanyakannya tentang hal itu? Kemudian Shofiah menjawab: adapun hari Sabtu sungguh aku tidak menyukainya sejak Allah telah menggantikan buat diriku hari Jum’at sedangkan mengenai Yahudi sesungguhnya aku sempat berada di tengah-tengah mereka dengan penuh kasih sayang, maka aku menyambung tali silaturrahmi dengan mereka. Kemudian dia berkata pada budak perempuan tadi, apa yang membuat kamu melakukan hal itu? Dia berkata: Syetan. Lalu Shofiah berkata: pergilah, kau telah bebas.
Shofiah juga pernah mendatangi Utsman bin Affan ketika beliau diblokade di dalam rumahnya dengan menaiki Bighal (peranakan kuda dan keledai), untuk mendukung pemerintahannya. Kemudian ada seorang al-Asytar menemuinya kemudian memukul wajah Bighal yang ditumpanginya. Lalu, Sofiah berkata: lawanlah aku, jangan membuat aku malu. Tapi, kemudian dia ditempatkan secara baik-baik di antara rumahnya dan rumah Utsman, dia juga membawa makanan dan minuman buat Utsman.
Shofiah meriwayatkan sekitar sepuluh hadits dari Rasulullah saw, dan beberapa orang meriwayatkan darinya diantara mereka, keponakannya, tuannya Kinanah, Yazid bin Mu’tab, Ishaq bin Abdullah bin Harits, dan Muslim bin Shofwan. Dia meninggal dunia pada zaman kekhalifahan Mu’awiyah tahun 50, atau diriyawat lain di tahun 52, dan ada pula yang meriwayatkan dia meninggal pada tahun 36.


5.    Saudah Binti Zam’ah bin Qais bin Abdu Syams  (Ummul Mukminin)
Dia juga termasuk salah seorang wanita utama pada zamannya. Sebelum menikah dengan Rasulullah saw oleh sepupunya yang dikenal dengan: Sakran bin’Amr. Ketika masuk Islam dan membai’at Nabi saw, suaminya juga turut serta masuk Islam bersamanya, dan berhijrah bersama-sama menuju bumi Habsyi.
Ketika sang suami meninggal, Khaulah binti Hakim datang pada Rasulullah saw, kemudian berkata: Wahai Rasulullah, maukah kau menikah? Kemudian beliau berkata: Dengan siapa? Dia berkata: dengan Saudah binti Zam’ah, karena dia telah beriman padamu dan mengikutimu. Kemudian Rasulullah saw berkata: baiklah, pinanglah dirinya buatku. Kemudian dia segera beranjak menuju Saudah dan ayahnya yang sudah tua, dan sedang duduk-duduk santai, kemudian Khaulah memberinya salam dalam tradisi Jahiliyah, lalu si ayah berkata padanya: apakah kau datang melamar pagi-pagi, siapakah dirimu? Kemudian dia berkata: saya Khaulah binti Hakim. Lalu ayah Saudah menyambutnya. Kemudian Khaulah berkata padanya: Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib meminang anak perempuan Zam’ah. Kemudian dijasawb: Muhammad adalah seorang yang mulia. Lalu apa yang dikatakan oleh sahabatmu? Dia berkata: dia menyukai hal itu. Kemudian ayah Saudah berkata padanya: Sampaikan padanya (Muhammad) agar datang ke sini. Kemudian Rasulullah saw datang padanya dan menikahi Saudah.
Dari Ibnu Abbas diceritakan bahwa Nabi saw meminang Saudah yang sudah mempunyai lima anak atau enam anak yang masih kecil-kecil. Kemudian Saudah berkata: demi Allah, tidak ada hal yang dapat menghalangi diriku untuk menerima dirimu, sedang kau adalah sebaik-baik orang yang paling aku cintai. Tapi, aku sangat memuliakanmu agar dapat menempatkan mereka, anak-anakku yang masih kecil, berada di sampingmu pagi dan malam. Kemudian Rasulullah saw berkata padanya: Semoga Allah menyayangi kau, sesungguhnya sebaik-baik wanita adalah mereka yang menunggangi di atas pantat Unta, sebaik-baik wanita Quraisy adalah bersikap lembut terhadap anak di waktu kecilnya dan merawatnya untuk pasangannya dengan tangannya sendiri.
Pernikahan Nabi saw dengan Saudah dilaksanakan pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh dari kenabian dan setelah kematian Khadijah di Makkah. Dikatakan dalam riwayat lain tahun ke delapan Hijrah dengan mahar sekitar 400 dirham. Dan mengajaknya berhijrah ke Madinah.
Setelah Saudah semakin tua dan dia mengetahui kedudukan ‘Aisyah di mata Rasulullah saw, dia berkata: wahai Rasulullah, aku memberikan jatah satu hari untukku pada ‘Aisyah, agar engaku dapat bersamanya dalam satu hari itu. Sebelumnya, Nabi saw pernah berjanji pada ‘Aisyah untuk memberinya jatah dua hari dan sehari bagi Saudah. Dia tetap berada dalam lindungan Nabi saw hingga akhirnya ditinggal wafat oleh Nabi saw.
Ketika bersama Saudah, Nabi menerima ayat tentang hijab dan hal itu dikarenakan istri-istri Nabi saw mereka keluar pada malam hari menuju ke datarang tinggi di bukit-bukit. Kemudian Umar bin Khattab berkata pada Nabi saw, wahai nabi, berilah perintah agar istri-istrimu berhijab. Namun, tidak jua Nabi melakukan apa yang disarankan Umar. Kemudian ketiksa Saudah keluar pada malam hari untuk menunaikan makan malam, dan dia adalah seorang wanita yang cukup tinggi, kemudian Umar memanggilnya dan berkata, wahai Saudah sekarang kami tahu itu engkau untuk memberi motivasi agar memanjangkan hijab yang kau kenakan. Kemudian Allah menurunkan ayat hijab.
Saudah dikenal sebagai orang yang suka bersedekah. Umar bin Khattab pernah mengirim sekantung penuh dengan dirham padanya. Kemudian Saudah bertanya: Apa ini? Mereka berkata: Dirham yang banyak. Lalu dia berkata: dalam kantung seperti setandang kurma, wahai jariyah, yakinkan diriku, kemudian dia membagi-bagikan dirham tadi.
Saudah juga memiliki akhlak yang terpuji. ‘Aisyah ummul mukminin pernah berkata: Tiada seorang pun yang lebih aku kagumi tentang perilakunya selain Saudah binti Zam’ah yang sungguh hebat.
Saudah meriwayatkan sekitar lima hadits dari Rasulullah saw. Dan beberapa sahabat turut meriwayatkan darinya, seperti, Abdullah bin Abbas, Yahya bin Abdullah bin Abdurrahman bin Sa’ad bin Zarah al-Anshari. Dan Abu Daud dan Nasa’i juga menggunakan periwayatan darinya. Saudah wafat di Madinah pada bulan Syawal tahun 54, pada masa kekhalifahan Mu’awiyah. Ketika mendengar Saudah meninggal dunia Ibnu Abbas bersujud. Kemudian berkata: Rasulullah saw berkata: bila kau melihat suatu ayat, maka bersujudlah kalian, dan ayat yang paling agung dari pada emas adalah para istri Nabi saw.
6.    Zainab binti Jahsy bin Rabab al-Asadiyah (Ummul Mukminin)
Dia telah masuk Islam sejak dulu dan ikut hijrah bersama Rasulullah saw ke Madinah, kemudian Rasulullah saw meminangnya untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah. Kemudian Zainab berkata: Wahai Rasulullah, saya masih belum yakin dirinya untuk diriku, sedangkan diriku adalah seorang janda Quraisy. Beliau berkata: Sungguh aku telah meridhoinya untuk dirimu. Kemudian Zaid bin Haritsah menikahinya.
Kemudian Rasulullah saw datang mengunjungi rumah Zaid. Tapi, Rasulullah saw tidak menemukan Zaid di rumahnya. Kemudian Zainab istri Zaid datang menyambut Rasulullah saw untuk menghormatinya. Tapi, Rasulullah menolak untuk masuk ke dalam rumah. Lalu Zainab berkata: Dia sedang tidak ada di sini wahai rasul, masuklah sejenak. Tapi, Rasulullah saw menolak tawaran Zainab untuk masuk ke dalam rumah. Ketika Zaid tiba di rumahnya, istrinya memberi tahu tentang kedatangan Rasulullah ke rumah mereka. Kemudian Zaid berkataL tidakkah kau mempersilahkan Rasulullah saw untuk masuk ke dalam? Dia berkata: Aku sudah menawarkan padanya untuk masuk, tetapi beliau tetap menolak.
Kemudian Zaid mendatangi Rasulullah saw, kemudian berkata: Wahai Rasulullah, sampaikanlah padaku bahwa engkau tadi datang mengunjungi rumahku, lalu mengapa engkau tidak masuk sejenak ke dalam rumah? Kemudian Zaid tidak menemukan jalan lain setelah hari itu. Kemudian Rasulullah saw datang dan memberinya kabar, lalu Rasulullah saw berkata: Jagalah istrimu. Tapi, kemudian Zaid mencerai istrinya dan memisahkannya, hingga masa ‘iddahnya berakhir.
Rasulullah saw masih saja dalam keadaannya seperti ini, hingga Allah menurunkan ayat, (Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.)
Dan setelah masa ‘iddah Zainab berakhir, Rasulullah saw berkata pada Zaid: pergilah dan pinanglah dia untuk diriku. Kemudian Zaid beranjak pergi hingga datang padanya, ketika melihatnya, bergetar hatinya hingga tidak mampu menatapnya.
Kemudian Zaid berkata: Rasulullah saw mengirimku untuk meminang dirimu. Kemudian Zainab berkata: Aku tidak melakukan apa-apa hingga Tuhanku memerintahkan sesuatu. Kemudian dia berdiri menuju ke masjidnya. Dan sungguh Al-Quran telah diturunkan untuk menikahi dirinya, kemudian Rasulullah saw datang mengunjunginya tanpa meminta izin terlebih dahulu padanya setelah memberinya sedekah sebesar 400 dirham.
Dulu Zainab berkata: Demi Allah, sungguh aku bukan seperti para istri Rasulullah saw. Sesungguhnya mereka istri yang diberi mahar dan para suami mereka dulunya adalah para kekasih, dan Allah menikahkan diriku dengan rasul-Nya, dan hal itu termaktub dalam al-Quran yang akan dibaca oleh setiap Muslim yang tidak dapat diganti dan tidak pula dapat dirubah.
Dia meriwayatkan sekitar 11 hadits dari Rasulullah saw. Beberapa orang juga meriwayatkan darinya, diantara mereka adalah Ummu Habibah binti Abu Sufyan, keponakannya, Muhammad bin Jahsy, Zainab binti Abu Salamah, Kultsum bin Mushtalaq dan beberapa temannya yang telah disebutkan sebelumnya.
Zainab juga seorang yang pandai menggunakan keahlian tangan, dia menyamak kulit dan menjualnya apa yang telah dibuatnya, kemudian memberi sedekah pada fakir miskin. Dari ‘Aisyah dia berkata: Rasulullah saw berkata, kalian yang paling cepat bergabung denganku adalah yang paling panjang tangannya. ‘Aisyah bertanya: Maka jadilah kalian wanita yang bisa memanjangkan tangannya (bisa bekerja). Dia berkata: Zainab adalah orang yang paling panjang tangannya, karena itu dia bekerja dengan tangannya dan kemudian dia memberi sedekah dari hasil pekerjaannya itu.
Dalil yang paling kuat dapat ditunjukkan tentang kebiasaan Zainab memberikan sebagian hartanya pada fakir miskin dan sikap zuhudnya adalah apa yang dikatakan oleh Barzah  binti Rafi’, dia berkata: Ketika jatah pembagian harta keluar, Umar mengirimkannya pada Zainab binti Jahsy bagian harta yang menjadi miliknya. Ketika dia mengunjunginya, Zainab berkata: Semoga Allah mengampuni Umar bin Khattab. Sebenarnya saudara-saudaraku (sesama istri Nabi saw) lebih berhak mendapatkan bagian harta ini dari pada diriku.
Mereka berkata: Tapi, semua ini untukmu wahai Zainab. Dia berkata: Subhanallah, kemudian Zainab mengambil secarik kain dan mengantongi sebagian harta tersebut. lalu berkata: berikanlah padanya sekantung dirham ini. Kemudian Zainab berkata padaku: ulurkan dan masukkan tanganmu dalam kantong ini, lalu ambillah segenggam dari dalamnya, dan pergilah kau menuju Bani Fulan dan Bani Fulan, yang masih mempunyai kerabat dengannya dan beberapa anak yatim, bagilah harta tersebut kepada mereka. Hingga masih ada beberapa bagian harta yang masih tersisa di bawah kantung lainnya, setelah dibagi-bagikan pada orang lain. Kemudian Barzah berkata padanya: Semoga Allah mengampuni anda wahai Ummul mukminin. Demi Allah, kami juga merasa berhak dengan harta tersebut. Zainab berkata: Ya, bagian kalian yang ada di bawah kantung. Kemudian kami mendapatkan di bawahnya 580 dirham. Kemudian dia mengangkat tangannya ke langit, kemudian berkata: Ya Allah, jatah pembagian harta dari Umar tidak akan lagi menemui diriku pada tahun ini.
Zainab meninggal dunia pada zaman pemerintahan Umar. Dia pada saat itu berumur 53 tahun. Jasadnya dibawa dalam keranda mayat, dan pada saat itulah dirinya menjadi orang pertama kali yang dibawa dalam keranda mayat. Ketika Umar melihat keranda mayat itu, dia berkata: Benar, ini adalah tenda bagi istri Nabi. Setelah kematiannya, dia tidak meninggalkan dinar ataupun dirham. Dia hanya meninggalkan sebuah rumah yang kemudian dijual pada Walid bin Abdul Malik ketika Masjid hendak direnovasi dan dihancurkan, dengan harga 50.000 dirham.
Setelah mendengar berita kematian Zainab, ‘Aisyah Ummul mukminin menangis dan berdoa agar Allah memberi kasih sayang padanya, seraya berkata: Zainab adalah orang yang mempunyai derajat tinggi di atas diriku diantara para istri Nabi saw lainnya di mata Rasulullah saw. Dan aku tidak melihat seorang perempuan pun yang baik darinya dalam perilaku agamanya, lebih suci, dan lebih takwa pada Allah, paling jujur dalam tutur kata, paling rajin menyambung tali silaturrahmi, paling banyak bersedekah, dan paling keras berusaha, dan paling giat mendekatkan diri pada Allah.

7.    Ramlah binti Abu Sufyan (Ummul Mukminin)
Dia seorang wanita mulia yang ikut berhijrah bersama suaminya Ubaidillah bin Jahsy menuju Habsyah pada Hijrah kedua. Kemudian suaminya masuk Nasrani di sana dan mennggal dalam keadaan Nasrani. Ummu Habibah menegaskan tentang keislaman Ramlah, kemudian Rasulullah saw menikahinya pada tahun keenam (dikatakan pula tahun ketujuh) saat itu dia berumur 30 tahunan lebih sedikit. Ketika Abu Sufyan mendengar tentang pernikahan anaknya Ummu Habibah dengan Rasulullah saw, dia berkata: Muhammad adalah seorang yang mulia.
Dia adalah seorang yang kuat dalam keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya saw. Dia juga pernah berkata pada ayahnya Abu Sufyan dengan sesuatu yang tidak disukainya ketika dia berkunjung pada Rasulullah saw di Madinah tahun kedelapan Hijriyah, dan dia ingin duduk di atas kasur Rasulullah saw, tapi, Ramlah menghalanginya. Kemudian Abu Sufyan berkata: Wahai anakku, sungguh aku tidak mengerti apakah kau suka atau tidak suka aku duduk di atas kasur ini? Dia berkata: Itu adalah kasur miliki Rasulullah, sedangkan kau adalah seorang Musyrik yang najis, tentu saja aku tidak suka kau duduk di atas kasur Nabi saw. Kemudian Abu Sufyan berkata: Sungguh, kau benar wahai anakku. Setelah itu dia keluar.
Dia meriwayatkan sekitar 65 hadits dari Rasulullah saw dan dari Zainab binti Jahsy. Beberapa orang juga meriwayatkan darinya seperti, Urwah bin Zubair, Zainab binti Abu Salamah, Shofiah binti Syaibah, Syahar bin Hausyab, dan anak perempuannya Habibah binti Ubaidillah bin Jahsy, dan saudara lelakinya Mu’awiyah dan ‘Atabah, keponakannya Abdullah bin ‘Atabah, keponakannya Abu Sufyan bin Sa’id bin Mughirah al-Tsaqafi, Abu Sholeh as-Saman dan selain mereka.
Ketika maut menjemputnya, ‘Aisyah istri Nabi saw berkata: Terkadang diantara kita sebagai istri-istri Nabi ada suatu khilaf, semoga Allah mengampuniku dan mengampunimu dari perbuatan atau sikap itu. Kemudian ‘Aisyah berkata: Semoga Allah mengampunimu terhadap apa yang telah kau lakukan. Kemudian Ummu Habibah berkata padanya: Engkau telah membahagiakan diriku, semoga Allah juga membahagiakan dirimu. Kemudian ketika jenazahnya sampai di Ummu Salamah, dia berkata padanya seperti apa yang telah diucapkan Ummu Habibah. Dia meninggal di Madinah pada tahun 44 H.
8.    Maimunah Binti Harits al-Hilaliyah (Ummul Mukminin)
Perempuan mulia ini termasuk salah seorang yang utama pada masanya. Pada zaman Jahiliyah dia telah menikah dengan Mas’ud bin ‘Amru bin ‘Amir al-Tsaqafi. Kemudian dia dicerai suaminya, lalu diganti oleh Abu Ruhm bin Abdul ‘Uza bin Abu Qais sebagai suami keduanya. Tapi, tidak lama kemudian dia meninggal dunia, meninggalkan istrinya. Kemudian Rasulullah saw menikahinya. Abbas bin Abdul Muthallib meminangnya untuk Rasul, karena Abbas adalah orang yang dipercaya untuk mengurus Maimunah. Dia adalah perempuan terakhir yang dinikahi Nabi saw. Dan itu dilakukan pada tahun ke tujuh Hijriyah dengan mahar lima ratus dirham.
Ibnu Syihab berkata: Dia adalah perempuan yang telah menawarkan dirinya untuk dipinang Nabi saw. dan seperti itulah yang diriwayatkan pula oleh Qatadah. Mengenai dirinya juga turun ayat (perempuan mu'min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi) Kmeudian Ibnu Abdu Bar berkata, dan itulah perkataan dari Ibnu Syihab as-Showab.
Maimunah meriwayatkan sekitar 76 hadits dari Nabi saw. Beberapa hadits yang diriwayatkannya telah ditakhrij dalam kitab hadits Bukhari-Muslim (as-Shahihain) sekitar 13 hadits; 7 hadits sama-sama disepakati oleh kedua imam (muttafaq ‘alaih), satu hadits lainnya ditulis oleh Bukhari, dan 5 hadits lainnya ditulis oleh Muslim.
Beberapa orang juga meriwayatkan hadits darinya, seperti, anak saudara perempuannya (keponakan) Abdullah bin ‘Abbas, anak saudara lelakinya (keponakan) yang lain Yazid bin Syadad bin al-Hadi, dan anak saudara perempuannya (keponakan) Abdurrahman bin as-Saib al-Hilali, anak saudara perempuannya yang lain Yazid bin al-Asham, dan anak asuhannya Ubaidillah al-Khulani, budak perempuannya yang telah dimerdekakan (maulah) Nadbah, budaknya yang telah dimerdekakan ‘Atha bin Yasar, budaknya yang lain yang telah dimerdekakan Sulaiman bin Yasar, selain itu Ibrahim bin Abdullah bin Ma’bad bin ‘Abbas. Dia meninggal pada saat berumur 81 tahun.
9.    Hindun Binti Abu Umayyah (Ummu Salamah, Ummul Mukminin)
Dia adalah seorang perempuan muhajir yang ikut dalam rombongan hijrah ke Habsyi dan Madinah. Dikenal sebagai wanita yang menonjol dengan kemampuan akal, kesempurnaan, kecantikan dan mempunyai ide-ide yang bagus. Selain itu, dia juga dikenal sebagai wanita (istri) pertama yang datang ke kota Madinah dalam rombongan hijrah itu dan suaminya Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad kemudian berhijrah dengannya menuju Habsyi dalam kedua hijrah itu semua.
Ummu Salamah berkata pada Abu Salamah: sampaikanlah padaku bahwa dia bukanlah seorang perempuan yang mati ditinggal suaminya, dan dia adalah seorang calon penghuni surga. Kemudian dia tidak menikah setelahnya, hingga Allah mengumpulkan mereka berdua di dalam surga. Demikian pula jika si perempuan meninggal, dan si lelaki tinggal sendirian setelahnya, maka marilah aku berjanji padamu,kau tidak menikah setelah diriku dan aku tidak menikah setelah kepergianmu. Namun, Abu Salamah berkata: Bila aku meninggal dunia, menikahlah kau. Kemudian dia berkata: Wahai Allah berikanlah pada Ummu Salamah setelah kepergianku seorang lelaki yang lebih baik dariku yang tidak pernah membuat dirinya bersedih dan tidak pernah menyakitinya.
Dan tatkalah suaminya Abu Salamah meninggal dan masa ‘iddahnya telah berakhir, Abu Bakar mengirim seseorang untuk meminang dirinya, namun dia tidak berkenan menikah dengan Abu Bakar. Kemudian Rasulullah saw mengirimkan Umar bin Khattab untuk meminangnya agar menikah dengan Rasul. Kemudian Hindun berkata: Selamat datang bagi Rasulullah dan utusannya berkunjung padaku. Tolong sampaikan pada Rasulullah, bahwa diriku ini adalah wanita pencemburu, aku sedang ditimpa musibah, dan tidak ada seorang wali untuk diriku yang dapat menjadi saksi.
Kemudian Rasulullah saw mengirim utusan padanya untuk menyampaikan jawaban Rasul: adapun perkataanmu bahwa aku sedang tertimpa musibah, maka sesungguhnya Allah akan mencukupkan dirimu dengan anak-anakmu, sdang perkataanmu bahwa aku adalah seorang pencemburu, maka aku akan berdoa pada Allah agar rasa cemburumu itu bisa lenyap, sedangkan wali yang kau tanyakan, tidak seorang pun diantara mereka yang ada kecuali mereka akan meridhoi diriku.
Lalu Ummu Salamah berkata pada anaknya Umar bin Abu Salamah, Berdirilah. Kemudian Rasulullah saw menikahi Ummu Salamah dan memberinya kasur empuk yang terbuat dari serabut, sejumlah uang, mangkuk dan alat penggiling.
Ketika Rasulullah datang mengunjunginya, beliau berkata padanya, kau tidak perlu malu pada keluargamu. Bila kau mau aku berikan bagian sepertujuh bagimu dan sepertujuh bagi mereka (istri-istriku), dan bila kau mau, aku berikan sepertiga padamu dan terus bergantian kuputar. Kemudian Ummu Salamah berkata, baiklah sepertiga saja.
Pada saat itu tahun kedua Hijriyah setelah terjadinya pernag Badar, di bulan Syawal. Ketika Rasulullah saw menikahi Ummu Salamah , ‘Aisyah merasa sedih karena banyak orang yang menyebutkan kecantikannya. Ketika ‘Aisyah melihat sendiri, dia berkata: Demi Allah (sungguh), dia lebih dari yang diceritakan padaku (kubayangkan) dalam hal kebaikan dan kecantikannya.
Bila Rasulullah saw telah selesai menunaikan Sholat ‘Ashar mengunjungi istri-istrinya satu persatu dimulai dengan Ummu Salamah karena dialah yang tertua diantara mereka, dan diakhiri dengan ‘Aisyah.
Ummu Salamah juga mempunyai ide yang cemerlang yang pernah dia sampaikan pada Rasulullah saw pada perjanjian Hudaibiyah. Ketika Nabi saw mengajak penduduk Makkah untuk berdamai, dan menuangkannya dalam butir-butir perdamaian tertulis antara dirinya dan mereka. Setelah masalah tersebut telah selesai, beliau berkata para sahabatnya: berdirilah kalian, lakukan penyembelihan dan potonglah. Namun tidak seorang pun yang berdiri, padahal Rasul telah mengulangnya hingga tiga kali. Kemudian Rasulullah saw beranjak masuk menemui Ummu Salamah, kemudian menyebutkan kejadian yang baru saja dialaminya. Kemudian Ummu Salamah berkata padanya: Wahai Nabi, keluarlah kau, dan jangan katakan apapun pada mereka seorang pun, hingga kau lakukan sendiri menyembelih kambing kepunyaanmu, dan menyuruh seseorang untuk memotong rambutmu.
Kemudian Rasulullah saw keluar, dan tidak seucap patah kata pun keluar dari mulut Rasul, kemudian Rasul langsung menyembelih kambingnya, dan meminta seseorang untuk memotong rambutnya. Ketika mereka melihat apa yang dilakukan Rasul, serentak mereka berdiri dan melakukan penyembelihan, saling memotong rambut hingga hampir saja salah pemahaman di antara mereka dengan saling membunuh karena masih belum mengerti.
Ketika Ummu Salamah turut serta menyaksikan perang Khaibar, dan berkata pada beberapa wanita: Semoga Allah juga mewajibkan pada kita (kaum wanita) berjihad sebagaimana yang telah diwajibkan bagi para pria, sehingga kita juga mempunyai kesempatan untuk mendapat pahala seperti yang mereka dapatkan. Kemudian turunlah ayat (Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain).
Pernah ada seorang pria dari Bani Tamim yang datang mengunjunginya, kemudian bertanya padanya tentang Utsman bin Affan. Lalu dia menjawab: Banyak orang meragukannya telah berbuat dhalim. Lalu mereka memintanya untuk bertaubat, kemudian dia bertaubat dan kembali pada Allah, sehingga bila mereka menjadikannya seperti pakaian putih yang sebelumnya telah berlumpur, mereka sengaja melakukan hal ini padanya, bahkan kemudian mereka membunuhnya.
Dia telah meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah saw, dari Abu Salamah, dan Fatimah az-Zahra sekitar 387 hadits. Adapun hadits yang telah ditakhrij dan tertulis dalam as-Shahihain berjumlah 29 hadits; ada sekitar 13 hadits yang muttafaq ‘alaihi, ada 3 hadits lain diriwayatkan oleh Bukhari, dan 13 lainnya diriwayatkan oleh Muslim.
Beberapa orang juga ikut meriwayatkan hadits darinya, diantara mereka: kedua anaknya Umar dan Zainab, keduanya anak Abu Salamah bin Abdul Asad, juru tulisnya Nabhan, saudaranya ‘Amir bin Abu Umayyah, anak saudara lelakinya Mus’ab bin ‘Abdullah bin Abu Umayyah, dan beberapa budaknya yang telah dimerdekakan, Abdullah bin Rafi’, Nafi’, Safinah, Abu Katsir, Ibnu Safinah, Khairah Ummul Hasan al-Basri, Sulaiman bin Yasar, Usamah bin Zaid, Abu sa’id al-Khudri dan lainnya.
Ummu Salamah terbiasa membaca namun tidak menulis. Dia meninggal di Madinah pada bulan Dzul Qa’dah tahun 59 H. Abu Hurairah juga ikut melakukan shalat janazahnya di Baqi’. Pada saat meinggal dunia dia telah berumur 81 tahun. Ada dalam sebuah riwayat lain yang mengatakan bahwa dia meninggal pada tahun 61 H.
10. Zainab Binti Muhammad bin Abdullah Saw
Dia dilahirkan pada saat Nabi berumur 30 tahun. Ketika dia beranjak dewasa dan mencapai umur pernikahan, Halah binti Khuwailid meminta pada saudaranya, Khadijah binti Khuwailid agar Zainab kawin dengan anaknya Abu al-’Ash bin Rabi’, kemudian Rasulullah saw menikahkan al-’Ash dengan Zainab, pada saat itu belum turun wahyu.
Ketika wahyu telah turun kepada Rasulullah saw, Nabi mengajak al-‘Ash untuk memeluk Islam, tapi, dia malah menolak dan memilih untuk menjadi seorang musyrik. Namun, Zainab memilih masuk Islam dan memeluk agama Allah. Zainab tetap dalam keislamannya sedang suaminya tetap dalam kekafiran, sehingga tiba masa Nabi untuk berhijrah. Setelah beberapa saat, ketika rombongan Quraisy melalui Badr, diantara mereka terdapat Abu ‘Ash bin Rabi’, kemudian mereka terlibat perang dan akhirnya beberapa diantaranya termasuk Abu al-‘Ash menjadi tawanan perang pada perang Badar. Pada saat itu dia berada di Madinah bersama Rasulullah saw.
Dan ketika penduduk Makkah memberikan tebusan bagi para tawanan mereka, Zainab binti Rasulullah memberikan tebusan untuk membebaskan suaminya Abu al-‘Ash bin Rabi’ dengan sejumlah harta. Dia juga mengirimkan seuntai kalung miliknya yang pernah dimiliki Khadijah, yang diberikan padanya saat menikah dengan Abu al-’Ash. Ketika Rasulullah saw melihat kalung tersebut, beliau merasa amat kasihan dan berkata: Hendaklah kalian bebaskan tawanannya dan kembalikan padanya harta yang diserahkannya, maka kerjakanlah. Kemudian mereka berkata: Baiklah, wahai Rasulullah. Kemudian mereka membebaskannya dan mengembalikan apa yang dipunyai Zainab.
Lalu Nabi berjanji untuk melepaskan tawanan yang diminta oleh Zainab. Ketika Abu al-‘Ash dilepaskan dan tiba di Makkah, Nabi saw mengutus Zaid bin Haritsah dan seorang dari kalangan Anshar untuk mewakilinya, kemudian beliau bersabda: pergilah kalian hingga berada di daerah Ya’jaj (sebuah tempat di dekat Makkah) hingga Zainab melewati kalian berdua, maka hendaklah kalian menemaninya hingga kalian berdua datang padaku dengan membawanya. Kemudian mereka berdua berangkat menuju tempat yang telah ditentukan, dan itu terjadi setelah sebulan pertempuran Badar. Ketika Abu al-‘Ash tiba di Makkah, dia menyuruh Zainab bertemu dengan ayahnya, kemudian dia berangkat.
Ketika dia sedang bersiap-siap di Makkah untuk bertemu dengan ayahnya, Hindun binti ‘Atabah datang menemuinya, kemudian berkata: Anak perempuan Muhammad, benarkah ada orang yang menyampaikan padaku bahwa kau ingin bertemu dengan ayahmu? Zainab berkata: Bukan aku yang menginginkan demikian. Kemudian Hindun berkata: Wahai anak pamanku, jangan begitu, bila kau membutuhkan sesuatu yang dapat menemani kepergianmu dengan perbekalan dalam perjalananmu, atau harta untuk ongkos perjalananmu menemui ayahmu, sungguh aku punya, dan janganlah kau malu, karena kita ini sesama wanita, tidak seperti kaum lelaki. 
Zainab berkata: Sungguh, aku tidak melihatnya berkata begitu kecuali dia akan benar-benar melaksanakannya. Zainab berkata: Tapi aku menyembunyika hal tersebut darinya, maka aku mengelak membutuhkan hal itu, dengan mengatakan aku telah siap. Setelah selesai bersiap-siap, mertuanya Kinanah bin Rabi’ menyuruh saudara lelaki suaminya (iparnya) menyiapkan Unta, kemudian dia naik ke atasnya, mengambil busur dan anak panahnya, kemudian berangkat di siang hari menemaninya pergi bertemu dengan Rasulullah. Iparnya itu memandu Zainab di depan, sedangkan dia mengikutinya dengan menunggang Unta di belakang.
Kabar tentang kepergian Zainab menemui Muhammad, ayahnya, terdengar oleh beberapa orang Quraisy sehingga mereka keluar untuk mengejarnya. Beberapa saat kemudian mereka melihat Zainab di suatu lembah. Orang yang pertama kali menyusulnya adalah Hubar bin al-Aswad bin Abdul Muthalib bin Asad bin Abdul ‘Uza dan Nafi’ bin Abdul Qais al-Fahri, kemudian Hubar menakut-nakutinya dengan tombak untuk kembali mengikuti mereka ke Makkah. Zainab masih berada di atas Untanya, pada saat itu dia sedang hamil. Ketika dia kembali ke Makkah, bayinya lahir di Makkah, mertuanya memberikan ucapan selamat padanya, dan keluarga lainnya bersenandung kesenangan. Kemudian dia berkata:
Sungguh, tidak ada seorang pun yang mendekati diriku kecuali aku tancapkan anak panah padanya. Mendengar hal tersebut orang-orang menjadi gentar. Dan Abu Sufyan datang padanya di tengah-tengah kerumunan kaum Quraisy, kemudian berkata: Wahai tuan, cukuplah ancaman pemanahmu pada kami sampai kami beritahu pada kalian. Kemudian dia berhenti. Kemudian Abu Sufyan menerima hingga tergantung dengan apa yang dilakukannya, kemudian dia berkata: Sesungguhnya anda kurang bijak bila keluar bersama seorang perempuan di hadapan para pembesar kami secara terang-terangan, dan seakan membelakangi kami. Perbuatan itu menurut kami telah melecehkan dan merupakan musibah dan bencana kehormatan, yang secara tidak langsung menunjukkan kelemahan kami dan penghinaan pada kami. Sebenarnya kami tidak ada kepentingan untuk menahannya untuk bertemu dengan ayahnya, kami juga tidak punya keuntungan dengan menahannya. Biarlah perempuan itu kembali.
Ketika suara-suara tentang kepergian Zainab mereda di masyarakat Makkah, saudara iparnya kembali berangkat bersamanya pada malam hari, dan bertemu dengan utusan Muhammad, Zaid bin Haritsah dan temannya dari kalangan Anshar, kemudian menyerahkan Zainab pada mereka berdua.
Kemudian keduanya membawa Zainab ke hadapan Rasulullah saw di Madinah. Dia terpaksa berpisah dengan suaminya karena ajaran Islam menghendaki hal itu. Hal itu terus berlangsung, hingga beberapa saat sebelum terjadi pembukaan kota Makkah bagi kaum Muslimin. Abu al-‘Ash berangkat ke luar kota Makkah untuk berdagang ke negeri Syam. Dia dipercayai sebagai orang yang penuh amanah dengan harta yang dititipkan padanya dari para pembesar Quraisy untuk diperdagangkan olehnya. Ketika dia selesai berdagang, dia mendekati sebuah rombongan kafilah dan kemudian bertemu dengan pasukan Rasulullah saw yang menyergap mereka dan mengalahkan mereka, sehingga membuat kafilah tersebut lari tunggang langgang.
Ketika pasukan tersebut tiba dengan harta yang mereka peroleh, Abu al-‘Ash mendekati pemukiman kaum muslimin dan mengunjungi Zainab binti Rasulullah saw. pada malam hari agar membantunya untuk mengembalikan harta yang telah dia perdagangkan yang sebelumnya diambil oleh pasukan Muhammad sebagai harta rampasan perang. Kemudian Zainab membantunya mengembalikan hartanya tadi.
Lalu, ketika waktu subuh tiba Rasulullah saw keluar untuk melaksanakan sholat. Saat takbiratul ihram mulai diucapkan dan para makmum sholat mengikutinya untuk melakukan sholat berjama’ah, tiba-tiba Zainab berteriak di barisan perempuan, Wahai manusia aku telah memberi Abu Al-‘Ash bin Rabi’ hadiah dengan mengembalikan hartanya.
Setelah Rasulullah saw mengakhiri sholatnya dengan salam, beliau menghadap para jama’ahnya dan berkata: Wahai manusia, apakah kalian mendengar apa yang tadi aku dengar? Mereka berkata: ya. Beliau bersabda: Sungguh demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, aku belum pernah melakukan sesuatu hingga aku mendengar apa yang telah kalian dengar bersama bahwa da orang yang memberikan sesuatu yang semestinya dimiliki oleh kaum muslimin, yang lebih dekat dengan mereka.
Setelah mengatakan hal itu, Rasulullah saw beranjak pergi dan menemui anaknya, kemudian berkata: wahai anakku, apa yang terjadi denganmu, cobalah hormati kediamanku, kau tidak bisa berbuat seenaknya, sesungguhnya kau tidak boleh melakukan hal itu sedangkan dirinya masih Musyrik.
Sedangkan Abu ‘Ash kembali dan tiba di kota Makkah, kemudian menyelesaikan tugasnya dengan membagi-bagikan harta yang telah dititipkan padanya untuk diperdagangkan, kemudian dia masuk Islam, dan kembali ke Rasulullah untuk masuk Islam. Akhirnya, dia benar-benar masuk Islam dan ikut dalam kaum Muhajirin pada bulan Muharram tahun 7 H. Kemudian Rasulullah saw mengembalikan Zainab padanya seperti pada pernikahan yang pertama. Namun ada pula riwayat dari Nabi saw yang menyatakan bahwa dia dinikahkan lagi dengan Suaminya dari mula dan baru.
Suaminya dikenal benar-benar mencintai Zainab, sehingga pada suatu ketika di sebagian perjalanannya ke Syam dia menyenandungkan syair:
Selalu kuingat Zainab saat kunaiki kemuliaan
Kemudian aku berkata berilah minum
bagi orang yang tinggal di tanah Haram
Pada seorang anak perempuan al-Amin
Semoga Allah memberikan padanya kesalehan
Dan setiap pasangan akan selalu memujinya bila dia tahu
Zainab akhirnya meninggal dunia pada tahun kedelapan Hijrah. Rasulullah saw amat bersedih dengan kepergiannya.

11. Ruqayyah Binti Muhammad bin Abdullah Saw
Dia dilahirkan sekitar 20 tahun sebelum masa diperintahkan Hijrah. Dia adalah anak perempuan tertua Rasulullah saw. Dia menikah dengan ‘Atabah anak dari Abu Lahab bin Abdul Muthalib sebelum masa kenabian Muhammad saw. Ketika Muhammad diutus oleh Allah menjadi Rasulullah dan Allah menurunkan ayat (Tabbat yada Abi lahabi..), kemudian Abu Lahab berkata: Hubungan kita terputus jika kau tidak menceraikan anak perempuannya Muhammad. Kemudian suaminya itu menceraikannya, hal itu terjadi sesaat setelah pernikahan, dan belum lagi disetubuhi.
Ruqayyah masuk Islam bersamaan ketika Ibunya Khadijah juga memilih Islam, dan dia ikut membai’at Nabi Saw. Setelah itu Utsman bin Affan menikahinya di Makkah, dan ikut berhijrah bersama suaminya ke Habsyi dan ikut pula berhijrah ke Madinah setelah suaminya Utsman ikut hijrah bersama Rasulullah saw. Hingga suatu ketika Ruqayyah sakit demam berat yang disertai flu dan pilek, sedangkan Rasulullah saw saat itu sedang bersiap menghadapi perang Badar, kemudian Rasulullah saw menitipkannya pada Utsman bin ‘Affan. Akhirnya, Ruqayyah wafat, sedangkan Rasulullah saw saat itu masih ada di medan pertempuran Badar pada Bulan Ramadhan, sekitar awal 17 bulan pasca hijrahnya Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah.
Ketika Ruqayyah wafat banyak wanita di Madinah menangis sedih. Kemudian Umar bin Khattab mengambil cemetinya untuk menghentikan tangisan mereka. Namun, Rasulullah saw mengambil cemeti Umar yang ada di tangannya, kemudian berkata: Wahai Umar, biarkanlah mereka menangis. Kemudian beliau bersabda: menangislah kalian semua, dan berhati-hatilah dengan rintihan Syetan. Sesungguhnya selama tangisan itu dari hati dan air mata maka hal itu berasal dari Allah dan rasa kasih. Namun jika tangisan itu berupa tangan dan lisan maka itu berasal dari Syetan.
Fathimah terduduk di bibir liang kubur Ruqayyah di samping Rasulullah saw dan menangis. Melihat puterinya menangis, Rasulullah mengusap air mata Fathimah yang menetes dengan ujung pakaian Rasul.
Ada sebuah Riwayat dari Anas bin Malik, dia berkata: Kami melihat prosesi pemakaman Ruqayyah binti Rasulullah saw. Beliau duduk di atas kuburannya, kemudian kulihat kedua matanya berlinang air mata. Kemudian beliau berkata: Apakah ada salah seorang diantara kalian yang tidak melakukan hubungan suami istri semalam? Abu Talhah berkata: saya. Lalu, Rasulullah saw berkata turunlah ke dalam liang kuburnya. Kemudian dia turun ke dalam liang kuburnya.

12. Ummi Kultsum Binti Muhammad Bin Abdullah Saw
Utaibah bin Abu Lahab bin Abdul Muthalib menikahinya sebelum masa kenabian. Ketika kemudian datang wahyu menegaskan kenabian dan kerasulan Muhammad saw, dan Allah menurunkan ayat (tabbat yada abi lahabiw watab...) Abu Lahab berkata kepada anaknya: kita tidak lagi punya hubungan darah jika kau tidak menceraikan anak perempuan Muhammad.
Kemudian Ummi Kultsum diceraikan oleh suaminya, dan pada saat itu dia belum lagi ditiduri oleh suaminya. Ummi Kultsum tetap tinggal bersama Rasulullah saw hingga tiba masa perintah Hijrah, dia pergi berhijrah menuju Madinah. Setelah itu, Utsman bin Affan menikahinya setelah saudara perempuannya, Ruqayyah, meninggal dunia. Pernikahan itu terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga Hijrah.
Dia selalu menemani Utsman bin Affan hingga akhirnya dia juga menemui ajal pada Bulan Sya’ban tahun kesembilan Hijrah dan belum mempunyai anak dari pernikahannya dengan Utsman. Rasulullah saw merasa amat sedih atas kewafatan anak perempuannya. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi Saw ketika Nabi berada di prosesi pemakamannya, beliau berkata: Tidak seorang pun yang boleh turun ke dalam liang kuburnya orang yang berhubungan suami istri semalam. Kemudian beliau berkata: Adakah diantara kalian yang tidak melakukan hubungan suami istri semalam? Kemudian Abu Talhah berkata: saya wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah saw berkata: turunlah. Lalu, Abu Talhah turun ke liang kubur Ummi Kultsum.

13. Fatimah Binti Muhammad Bin Abdullah Saw
Fatimah dikenal sebagai seorang wanita termulia di dunia pada masanya. Dia seorang wanita yang mempunyai pertalian darah kenabian dan keturunan seorang yang terpilih, anak perempuan manusia yang termulia, Rasulullah saw Abul Qasim Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf al-Quraisyiah al-Hasyimiyah. Dia seorang Ibu dari kedua anak yang mulia, Hasan dan Husein.
Dia dilahirkan beberapa saat sebelum Muhammad diutus menjadi seorang Rasulullah. Ali bin Abu Thalib menikahi Fatimah pada bulan Dzul Qa’dah atau sebelumnya sesaat sekitar tahun kedua setelah terjadinya perang Badar.
Ibnu Abdul Bar berkata: Ali bin Abu Thalib mengawininya setelah pertempuran Uhud. Kemudian Fatimah melahirkan Hasan dan Husein, Muhsinan, Ummi Kultsum, dan Zainab. Dan diriwayatkan dari ayahnya, dan Husein anaknya meriwayatkan darinya, selain itu ada pula, Aisyah, Ummu Salamah, Anas bin Malik, dan beberapa orang selain mereka yang tertulis di dalam Kutubus Sittah (Kitab hadits dari 6 Imam).
Nabi saw amat menyayanginya dan memuliakannya. Keutamaan dan kebaikannya amat banyak, dia adalah seorang yang sabar, taat menjalankan agama, baik, bersikap qana’ah, dan selalu bersyukur kepada Allah. Pernah suatu ketika Rasulullah saw marah kepada Ali membela Fatimah ketika ada seseorang yang menyampaikan padanya bahwa Abu Hasan hendak meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Rasul berkata: Demi Allah, jangan kau kumpulkan anak perempuan Nabi Allah dengan anak perempuan musuh Allah, karena Fathimah merupakan bagian dariku, aku akan merasa ragu apa yang dirasakannya ragu, dan aku akan merasa tersakiti bila dia merasa sakit. Kemudian Ali meninggalkan niat untuk meminang anak perempuan Abu Lahab untuk menjaga perasaan Fathimah. Dia tidak jadi menikahinya, kemudian setelah Fatimah meninggal dunia, barulah Ali bin Abu Thalib menikah lagi.
Pada saat Nabi saw wafat Fatimah merasa amat sedih dan menangis sambil berkata: Wahai ayahku, kepada jibril kami sampaikan berita duka ini. Wahai ayahku! Semoga Allah mengabulkan semua permintaan. Wahai ayahku, hanya surga Firdaus tempat yang layak. Dan dia berkata setelah jasad Nabi dikuburkan: Wahai Anas, bagaimana diri kalian bertaubat karena menaburkan tanah pada jasad Rasulullah saw.
Pernah suatu ketika beliau berkata padanya saat sedang sakit: sesungguhnya aku tertahan dalam sakitku ini. Kemudian Fatimah menangis. Beliau juga memberi tahu bahwa dirinya lah yang pertama kali datang menjenguknya, dan juga memberitahunya bahwa dia adalah wanita yang paling mulia di umat ini, sehingga membuatnya tertawa dan dia menyembunyikan hal itu – ketika Rasulullah saw telah wafat, ‘Aisyah bertanya padanya, kemudian baru Fatimah memberi tahukan apa yang diucapkan Rasul tadi – Kemudian ‘Aisyah ra berkata:
Fatimah datang dengan berjalan kaki, cara berjalannya itu persis dengan cara berjalan Rasulullah saw. Lalu ‘Aisyah datang menyambutnya, dan berkata: Selamat datang wahai anakku.
Ketika ayahnya wafat, Fatimah berfikir akan mendapatkan harta warisan, sehingga dia datang pada Abu Bakar dan meminta harta warisan dari Rasul. Kemudian Abu Bakar memberi tahukan padanya bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda: Kami tidak meninggalkan warisan, tidak pula meninggalkan harta. Fatimah merasa kesal pada Abu Bakar kemudian berdiam diri di rumahnya. Ketika Fatimah jatuh sakit, Abu Bakar datang minta ijin untuk menjenguknya. Kemudian Ali berkata: Wahai Fatimah, ini Abu Bakar datang meminta izin untuk bisa menjengukmu. Kemudian Fatimah berkata: Apakah kau senang bila aku memberinya izin? Ali berkata: tentu, aku senang.
Fatimah ra mengerti tentang Sunnah Rasul yang mengajarkan agar seorang Istri tidak mengizinkan seorangpun untuk masuk rumah suaminya kecuali dengan perintah suaminya. Kemudian Fatimah memberikan izin pada Abu Bakar untuk menjenguknya agar dia dapat memberikan ketenangan pada Fatimah, kemudian Abu Bakar berkata: Demi Allah, aku tidak meninggalkan rumah, harta, keluarga dan kerabat kecuali mencari keridhoan Allah, Rasul-Nya, dan keridhoan kalian ahlul bait, dia berkata: Abu Bakar berusaha memberikan ketenangan pada Fatimah, sehingga dia kembali merasa tenang.
Fatimah wafat setelah Rasulullah saw sekitar 15 bulan dan hidup selama dua puluh lima tahun, dan dia adalah paling kecil dari Zainab istri Abu al-‘Ash bin Rabi’, dan dari Ruqayyah istri Utsman bin Affan.
Telah terputus nasab Nabi saw kecuali dari Fatimah, karena Umamah binti Zainab yang pernah dibawa Nabi dalam sebuah sholatnya telah menikah dengan Ali bin Abu Thalib kemudian setelahnya dengan Mughirah bin Naufal bin Harits bin Abdul Muthalib al-Hasyimi, darinya memang ada beberapa anak terlahir, tapi kemudian meninggal dunia.

14. Asma’ Binti Abu Bakar as-Shiddiq
Salah seorang wanita mulia yang turut serta dalam hijrah ke Madinah. Dia dikenal sebagai wanita terhormat yang menonjol dalam kecerdasannya, kemuliaan diri, dan kemauannya yang kuat. Dilahirkan pada 27 tahun sebelum hijrah. Dia lebih tua sepuluh tahun dari ‘Aisyah ummul mukminin saudara perempuannya. Dia juga saudara kandung Abdullah bin Abu Bakar. Dia dipanggil dengan julukan Dzu Nithaqain, karena pernah di suatu saat dia mengambil tali yang dipunyainya, kemudian dibelah menjadi dua bagian. Dia memberikan satu bagian untuk perjalanan Rasulullah saw dan lainnya sebagai tali pengikat perbekalannya, ketika pada suatu malam Rasulullah saw bersama Abu Bakar keluar dari Makkah menuju ke gua.
Dia berkata ketika bertemu dengan rombongan jama’ah haji: Bagaimana kau pinjamkan kepada Abdullah dengan kepunyaan 2 kain pengikat, tentu dulunya aku punya tali pengikat yag memang harus dipunyai setiap wanita. Dan tali pengikat yang berfungsi untuk menutupi makanan Rasulullah saw.
Asma’ telah masuk Islam sejak dulu di Makkah setelah 17 orang lainnya masuk Islam sebelum dirinya. Dia juga ikut membai’at (mengucapkan janji setia) Nabi saw dan beriman dengan apa yang diajarkan padanya. Iman yang sungguh kuat. Diantara tanda keislamannya yang baik, bahwa Qatilah binti Abdul ‘Uza mengirimkan pada anak perempuannya Zainab binti Abu Bakar as-Shiddiq (Abu Bakar telah menceraikannya pada masa jahiliyah) beberapa hadiah, kismis (anggur kering), mentega dan anting-anting. Namun dia menolak menerima hadiah yang diberikannya atau mengijinkannya masuk ke dalam rumahnya. Kemudian dia beranjak menuju ‘Aisyah dan berkata: wahai ‘Aisyah, tanyakanlah pada Rasulullah saw tentang hal ini. Kemudian Rasulullah saw mengatakan agar Asma menerima hadiah itu dan mempersilahkan padanya untuk masuk ke dalam rumah.
Pernah Abu Bakar membawa serta seluruh hartanya ketika keluar bersama Rasulullah saw berangkat hijrah, nilainya sekitar 5000 dirham atau 6000 dirham. Kemudian Kakek Asma’ Abu Qahaqah datang padanya, dia seorang kakek yang penglihatannya sudah tidak sempurna lagi, kemudian dia berkata: Sungguh, aku tidak melihatnya (Abu Bakar) dia telah membuat kalian sengsara dengan membawa seluruh hartanya, sebagaimana dia membiarkan kalian sengsara dengan meninggalkan kalian di rumah.
Asma berkata: Tidak demikian wahai kakek. Sesungguhnya dia meninggalkan harta yang banyak bagi kami. Kemudian Asma mengambil beberapa batu dan meletakkannya di dalam sebuah lobang tempat biasanya Abu Bakar (ayahnya) menyimpan hartanya. Kemudian dia membalutkan kain pada batu-batu itu, kemudian mengambil dengan tangannya, lalu berkata: Wahai kakek, cobalah letakkan tanganmu di atas harta ini. Kemudian Abu Qahaqah meletakkan tangannya dan berkata: Ya, tidak mengapa bila dia telah meninggalkan sejumlah harta ini, sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian. Padahal sebenarnya, Abu Bakar sama sekali tidak meninggalkan apa-apa pada keluarganya. Tapi, dia melakukan hal ini hanya ingin agar kakeknya merasa tenang dengan keadaan mereka, yang ditinggalkan Abu Bakar.
Asma’ menikah dengan Zubair bin ‘Awwam, seorang yang tidak mempunyai harta apa pun di dunia ini, tidak pula kekuasaan, atau sesuatu lainnya selain kudanya. Maka dia mengurus kudanya dengan memberinya makan, menyediakan makanan untuk suaminya, menghangatkan makanan, menumbuk biji-bijian yang matang, memberinya minum dan mengadoni bumbu makanan. Dan Zubair dikenal sebagai orang yang tegas padanya. Kemudian, Asma menjumpai ayahnya dan mengeluh dengan kehidupannya. Kemudian Abu Bakar berkata: Wahai anakku, bila seorang perempuan mempunyai seorang suami yang Sholeh kemudian meninggal, dan si perempuan tidak lagi menikah setelahnya, keduanya akan dikumpulkan oleh Allah di surga.
Kemudian Asma mengunjungi Rasulullah saw, dan berkata: Wahai Rasulullah, di rumahku tidak terdapat apa pun kecuali sesuatu yang dihasilkan oleh Zubair. Apakah boleh aku memberikan sesuatu yang sedikit kepada orang yang mengunjungi rumahku? Kemudian Rasulullah saw berkata: Kasih saja apa yang bisa kau berikan dan jangan terlalu bakhil, sehingga kau dianggap orang bakhil. Dan dia adalah perempuan yang memiliki kedermawanan.
Asma’ juga turut serta dalam pertempuran Yarmuk bersama suaminya Zubair, dan dia memperoleh kemenangan. Dia mengambil belati sa’id bin al-‘Ash di zaman fitnah, kemudian meletakkannya di bawah sikunya. Kemudian dia ditanya: Apa yang sedang kau perbuat? Dia berkata: Bila ada seorang pencuri masuk, perutnya akan bengkok.  Kemudian Umar bin Khattab memberikan hadiah bagi Asma’ seribu dirham.
Asma’ meriwayatkan sekitar 58 hadits dari Rasulullah saw dan di sebuah riwayat yang lain disebutkan 56 hadits. Bukhari dan Muslim bersepakat terhadap 14 hadits. 4 hadits lainnya diriwayatkan oleh Bukhari secara sendirian, sedangkan Muslim juga meriwayatkan sejumlah yang diriwayatkan Bukhari. Dalam sebuah riwayat hadits-hadist Asma yang sudah ditakhrij mencapai 22 hadits. Diantara yang telah disepakati Bukhari dan Muslim ada 13, selain itu Bukhari meriwayatkan 5 hadits dan Muslim meriwayatkan 4 hadits.
Asma juga dikenal sebagai penyair dan pengarang prosa, mempunyai logika berfikir yang baik dan jelas. Kemudian dia mengenang suaminya Zubair tatkala terbunuh oleh Amru bin Jarmuz al-Mujasyi’i di sebuah lembah as-Siba’, dan dia kembali dari peristiwa Unta. Asma mengenangya dengan kata-kata:
Esok datang Ibnu Jarmuz dengan seekor kuda penuh semangat
Di hari kegembiraan meski tanpa nyanyian
Wahai Amru, bila kau perhatikan, tentu kau dapatkan
Jangan sembrono, hingga menggetarkan hati
Jangan kau biarkan tanganmu sembarangan
Karena ibumu akan kehilanganmu
Bila kau terbunuh, jadilah seorang yang muslim
Semoga terbebas dari siksaan yang telah dijanjikan

Dia berkata ketika anaknya Abdullah bin Zubeir terbunuh:
Tiada bagi kekuasaan Allah yang tidak mungkin terjadi
Setelah suatu kaum membunuh
antara zam-zam dan maqam Ibrahim
Mereka terbunuh oleh kekeringan yang mencekik
Membusuk, dengan berbagai penyakit dan kusta

Asma mempunyai jiwa yang dermawan dan mulia tidak pernah menunda sesuatu hingga esok hari. Pernah suatu ketika dia jatuh sakit, kemudian dia segera membebaskan (memberikan) seluruh harta yang dipunyainya. Dulu dia pernah berkata pada anak-anak dan keluarganya: Berinfaklah kalian, dan bersedekahlah, dan jangan kau menunda keutamaan. Jika kalian menunda keutamaan, kalian tidak akan pernah mendapatkan keutamaan. Dan jika kalian memberi sedekah, kalian tidak akan kehilangannya.
Sinar ketetapan hatinya, kemuliaan hatinya, dan keberaniannya, memberikan kabar pada kita tentang dirinya dari kata-katanya pada anaknya Abdullah ketika datang mengunjunginya, sedangkan dia pada saat itu telah cukup tua dan tidak lagi bisa melihat sempurna, umurnya sekitar 100 tahun. Kemudian Anaknya itu berkata padanya: Wahai ibunda, apakah yang kau lihat! Orang-orang membiarkan diriku jatuh, dan keluargaku juga. Kemudian dia berkata: Tidak ada yang mempermainkan kamu anak-anak Bani Umayyah. Hiduplah mulia, dan matilah secara mulia, dan demi Allah, aku akan berharap agar pelipur lara hatiku tercurah padamu dengan baik, setelah kau mengunjungiku atau aku mengunjungimu. Sesungguhnya dalam diriku terdapat hutan dari dirimu, sehingga aku dapat melihat apa yang terjadi pada dirimu.
Kemudian dia berkata: Ya Allah, sayangilah ratapan yang panjang dan kehausan di tengah-tengah terik panas kota Madinah dan berikanlah kebaikan padanya dengan Ibundanya. Ya Allah, sesungguhnya aku telah menyerahkan di dalamnya bagi perkaramu aku relakan padanya dengan keputusan-Mu, maka berilah pahala padaku karena Abdullah pahala orang-orang yang senantiasa bersyukur.
Kemudian sang anak membalasnya dengan mengatakan: wahai ibunda, janganlah kau berdoa dengan doa padaku sebelum aku mati dan tidak pula sesudahnya. Aku tidak akan mendoakannya pada Allah. Maka barang siapa yang mati atas kebatilan maka sungguh engkau meninggal atas kebenaran. Kemudian dia keluar.
Dan mereka kemudian menyebutkan: Bahwa rombongan jama’ah haji mengunjungi Asma binti Abu Bakar, kemudian dia berkata padanya: Sesungguhnya anakmu telah berlaku telah melakukan ingkar di rumah ini, dan sesungguhnya Allah akan memberinya siksa yang amat pedih, dan Dia melakukannya dan melakukan.
Kemudian Asma berkata padanya: kau berbohong, dia telah berbuat baik pada kedua orang tua lagi rajin berpuasa, tapi demi Allah, Rasulullah saw telah memberikan kabar pada kita, bahwa akan keluar dari orang yang pandai sebagai penipu bagi yang lain, diatara keduanya jelek bagi yang lain yang pertama, sedangkan dia orang yang berbuat baik. Kemudian al-Hajjaj berkata pada Asma setelah membunuh Abdullah: Bagaimana kau melihatku setelah apa yang kuperbuat pada anakmu? Asma berkata: Kau telah merusak dunianya, dan telah rusak akhiratmu.
Asma meninggal dunia di Makkah setelah anaknya Abdullah bin Zubair terbunuh pada malam hari, Dan pada saat itu terbunuhnya dia pada hari selasa tanggal 17 pada bulan Jumadil Ula tahun 73 H. Dan Asma pada saat itu berumur seratus tahun, namun tidak ada satu pun giginya yang tanggal dan tidak pula pikun.

15. Arwa Binti Abdul Muthalib
Arwa binti Abdul Muthalib masuk Islam di Makkah. Dia juga ikut hijrah ke Madinah. Sebelum masuk Islam, dia juga mendukung Nabi saw. Kemudian mereka menyebutkan: Bahwa anaknya Kalib bin Umair masuk Islam di Darul Arqam bin Abu al-Arqam al-Makhzumi, kemudian keluar, dan mengunjungi ibunya Arwa binti Abdul Muthalib, kemudian Kalib berkata: Aku mengikuti Muhammad dan masuk Islam karena Allah.
Kemudian Arwa berkata pada anaknya: Sungguh benar jika kau mendukung dan membantu sepupumu Muhammad, demi Allah, kalau saja kita mampu apa yang dilakukan oleh para lelaki itu mendukungnya, tentu kita akan mengikutinya dan membelanya. Kemudian Kalib berkata: Lalu, apa lagi yang menghalangimu untuk masuk Islam, dan mengikuti Muhammad, padahal saudaramu Hamzah telah juga masuk Islam? Kemudian Arwa berkata: aku sedang melihat apa yang diperbuat oleh saudara-saudara perempuanku, kemudian aku akan menjadi salah seorang dari mereka.
Lalu Kalib berkata: Maka sesungguhnya aku memintamu karena Allah, agar kau mau datang pada Muhammad, masuk Islam, membenarkannya dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah.
Kemudian dia termasuk salah seorang yang mendukung Nabi saw dengan perkataan-perkataannya, dan juga mengajak anaknya untuk menolong Muhammad dan mengerjakan apa yang diajarkan Muhammad dan akhirnya dia benar-benar masuk Islam.
Pernah suatu kali Abu Jahal dan beberapa pembesar kaum Kafir bersikap keras hingga menyakiti Nabi saw. Kalib bin Umair sengaja datang ke tempat Abu Jahal dan memukulnya dengan keras di kepalanya, kemudian orang-orang yang ada di sekitar Abu Jahal segera meringkusnya dan memegangnya kuat-kuat. Kemudian Abu Lahab mendekatinya hingga melepaskannya.
Kemudian kejadian itu dikatakan pada Arwa: Apakah kau tidak melihat anakmu si Kalib itu sekarang dirinya menjadi kasar berdekatan dengan Muhammad? Kemudian Arwa menjawab: aku melihat bahwa beberapa hari ini dia semakin baik setelah dia mengisi harinya dengan selalu membela sepupunya Muhammad, sungguh Muhammad membawa ajaran yang benar dari sisi Allah.
Kemudian mereka berkata: Apakah kau juga telah menjadi pengikut Muhammad? Arwa berkata: benar. Kemudian sebagian mereka keluar menemui Abu Lahab dan memberi kabar tentang keislaman Arwa.
Kemudian setelah menerima kabar tersebut, Abu Lahab beranjak menemui Arwa dan berkata: Sungguh mengherankan dirimu ini ya Arwa, mengapa kau menjadi pengikut Muhammad dan kau tinggalkan agama Abdul Muthalib. Kemudian Arwa berkata: Memang seperti itulah keadaannya, maka cobalah kau dukung keponakanmu itu dan bantu dirinya, dan bela dirinya. Bila dia memberikan suatu ajaran, maka kau punya dua pilihan, apakah kau masuk ke dalam Islam bersamanya atau kau tetap memegang agamamu itu. Apabila dia yang benar, maka aku minta maaf karena telah memilih masuk ke dalam golongan keponakanmu Muhammad. Abu Lahab berkata: Kami mempunyai kekuasaan dan kekuatan besar di Arab yang secara bersama-sama menentang kedatangan agama beru. Kemudian dia beranjak pergi.
Dia sedih dengan kematian Nabi saw dan menulis puisi ratapannya terhadap beliau:
Wahai Rasulullah, bukankah kau harapan kami
Kehadiranmu bagi kami adalah kebaikan
Dan jangan kau biarkan menjadi kering
Setiap detak jantungku hanya mengingat Muhammad
Dan betapa kesedihan menahan rindu
Terkumpul dalam diriku setelah kau tiada, Nabi
Dia meninggal dunia sekitar tahun 15 H.



16. Ummu Kultsum Binti Ali Bin Abu Thalib
Dia termasuk salah seorang wanita mulia di zamannya. Dilahirkan sebelum Rasulullah saw meninggal dunia. Umar bin Khattab datang pada Ali bin Abu Thalib untuk melamarnya. Lalu Ali berkata: Dia masih kecil. Kemudian Umar berkata: Nikahkanlah diriku dengannya wahai Abu Hasan. Aku hanya ingin memperoleh kemuliaan dirinya, yang tidak diperoleh orang lain. Kemudian Ali berkata padanya, Baiklah, aku akan kirimkan dia kepadamu, jika dia rela, maka kau nikah dengannya.
Kemudian Ali bin Abu Thalib mengirimkan anaknya yang hendak dipinang tadi pada Umar bin Khattab. Lalu Umar berkata pada Ummi Kultsum: katakan pada ayahmu, kau telah rela. Dan Umar meletakkan tangannya di lutut Ummi Kultsum, kemudian membukanya. Lalu Ummi Kultsum berkata: Mengapa kau melakukan hal ini, kalau saja kau bukan Amirul Mukminin, tentu aku akan meninju hidungmu hingga patah.
Tak lama kemudian, Ummi Kultsum keluar, menemui ayahnya dan menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Ummi Kultsum berkata: Kau telah mengirimkan diriku pada orang tua yang jahat. Ali berkata: Wahai anakku dia itu suamimu. Kemudian Umar bin Khattab segera beranjak menuju majelis kaum Muhajirin yang bertempat diantara kuburan dan mimbar Nabi, untuk mengadakan pertemuan. Tidak lama kemudian Ali datang, disusul Ustman, Zubeir, Talhah, dan Aburrahman bin Auf. Telah menjadi kebiasaan, bila Umar datang menemui mereka dan mengundang mereka untuk menemuinya, maka dia akan meminta nasehat pada mereka dalam suatu perkara.
Lalu Umar berkata: dukunglah aku. Kemudian mereka berkata: dengan siapa ya amirul Mukminin? Dia berkata: dengan anak perempuan Ali Bin Abu Thalib. Dia melanjutkan, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: setiap nasab, sebab dan periparan akan terputus pada hari kiamat, kecuali nasabku, sebabku, dan menantuku. Aku telah mempunyai hubungan nasab dan sebab pada Rasulullah saw, dan aku hanya ingin mengumpulkan ketiganya dengan menjadi menantunya. Kemudian mereka mendukungnya.
Umar akhirnya benar-benar menikahi Ummi Kultsum pada bulan Dzul Qa’dah tahun 17 Hijriyah. Dia menjadi istri Umar hingga akhir hayat Umar yang terbunuh. Ummi Kultsum melahirkan Zaid bin Umar al-Akbar, dan Ruqayyah binti Umar. Dan dia dikenal sebagai seorang orator ulung yang berbakat.

17. Ummi Kultsum Binti Abu Bakar as-Shiddiq
Merupakan salah seorang wanita utama pada zamannya. Pernah dipinang oleh Umar bin Khattab, namun tidak jadi dinikahinya. Awalnya, itu dikarenakan ada seorang lelaki Quraisy berkata pada Umar bin Khattab: Maukah kau menikahi Ummi Kultsum Binti Abu Bakar. Kau bisa menjaga kemuliaannya setelah Abu Bakar meninggal dan menggantikannya dalam keluarganya. Kemudian umar berkata: Boleh, aku suka itu. Pergilah kau pada ‘Aisyah dan sebutkan apa yang kumaksud (meminang Ummi Kultsum). Lalu kembalilah padaku dengan jawabannya.
Kemudian datanglah seorang utusan pada ‘Aisyah dengan membawa pesan Umar. ‘Aisyah menjawab apa yang ditanyakan Umar, dan berkata padanya: sungguh suatu kemuliaan. Tak lama berselang Mu’irah bin Sya’bah datang dan melihat ‘Aisyah gelisah. Kemudian dia bertanya pada ‘Aisyah: Ada apa denganmu wahai ummul mukminin? ‘Aisyah menceritakan apa yang terjadi barusan tentang seorang utusan Umar yang hendak meminang Ummi Kultsum.
Kemudian dia berkata: dia baru saja menjalani hidupnya. Dan aku ingin bersikap lemah lembut pada anak ini, aku khawatir dengan sikap Umar yang keras terhadapnya. Kemudian Mu’irah berkata pada ‘Aisyah: Aku akan menyampaikannya pada Umar, sebagai utusanmu. Dia berangkat menuju Umar, lalu berkata: Semoga anda hidup damai dan diberkahi dengan banyak anak! Aku baru saja berkunjung dari ‘Aisyah dan aku mendengar anda meminang Ummi Kultsum.
Umar menjawab: ya benar demikian adanya. Mu’irah berkata: Bukankah kau orang yang keras dalam bersikap terhadap keluargamu, wahai Amirul Mukminin. Dan orang yang hendak anda pinang ini masihlah anak yang berumur kecil. Dia masih belum tahu apa-apa. Bila suatu saat kau bersikap kasar padanya, tentu dia akan berteriak menangis. Dan hal itu tentu akan membuatmu khawatir. ‘Aisyah juga akan merasa sakit perasaannya. Mereka akan teringat Abu Bakar, lalu mereka menangis, sehingga musibah akan terus berlangsung pada keluarga mereka, yang masanya saling berdekatan di setiap harinya.
Lalu Umar berkata: Kapan kau datang dari ‘Aisyah dan katakanlah jujur padaku. Kemudian dia berkata: baru saja. Umar berkata: Aku tahu mereka tidak suka padaku. Mereka menginginkan agar aku mencabut apa yang telah aku minta tadi. Dan Sungguh aku memaafkan mereka. Mu’irah kembali ke ‘Aisyah dan mengatakan kabar yang barusan diperolehnya dari Umar. Umar tetap berpegang pada pendapatnya dan dia tidak jadi meminang Ummi Kultsum.
Beberapa orang meriwayatkan hadits dari Ummi Kultsum, seperti: saudara perempuannya ‘Aisyah ummul Mukminin, anaknya Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Abu Rabi’ah bin Abdullah al-Anshari, Talhah bin Yahya bin Talhah, dan Mughirah bin Hakim as-Shaghani. Dan beberapa imam juga meriwayatkan haditsnya, diantara mereka: Muslim dan Tirmizi.

18. ‘Aisyah Binti Utsman Bin Affan
Salah seorang perempuan yang menguasai ilmu bahasa dan kefasihan. Pada saat ayahnya terbunuh dan Ali bin Abu Thalib dibai’at menggantikan ayahnya, dia berkata: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali. Dirinya telah meninggal dengan darah yang mengalir di Haram (tempat yang dimuliakan) Rasulullah saw.
Dan dia melarang orang menguburkan jasad Utsman. Ya Allah, kalau saja dia menginginkan tentu akan dihindari. Mendapatkan Allah sebagai hakim, dari orang-orang Muslim sebagai penolong, dan kaum muhajirin sebagai saksi hingga kebenaran datang terhadap orang yang menolaknya.
Mu’awiyah datang ke Madinah setelah tahun persatuan, yaitu tahun 41 Hijriyah. Kemudian dia mengunjungi rumah Utsman bin Affan. Di dalamnya dia melihat Aisyah binti Ustman berteriak dan menangis, sambil memanggil-manggil ayahnya. Kemudian Mu’awiyah berkata: Wahai anak saudaraku, sesungguhnya manusia, telah memberikan ketaatan mereka pada kita. Dan kita memberikan rasa aman pada mereka, dan kita tunjukkan rasa santun (yang di bawahnya ada rasa marah) kita pada mereka. Dan mereka menunjukkan kerendahan diri (yang dibawahnya ada rasa dengki) pada kita. Setiap manusia mempunyai pedangnya dan dia melihat kedudukan rekan-rekannya. Maka jika kita mengganggu mereka, tentu mereka akan mengganggu kita. Kita sendiri tidak mengerti, apakah mereka menyerang kita atau bersama kita. Dan kau menjadi sepupu Amirul Mukminin lebih baik dari pada menjadi seorang perempuan dari kalangan manusia biasa. Dia adalah seorang yang mempunyai perilaku yang baik dan teguh dalam beragama.

19. Fatimah Binti Husein Bin Ali Bin Abi Thalib
Salah seorang periwayat hadits dari kalangan perempuan yang meriwayatkan hadits dari neneknya, Fatimah secara mursal, dan dari ayahnya dan bibinya Zainab binti Ali dan Bilal sang Muadzin, Abdullah bin Abbas, Asma binti Umais, Aisyah ummul Mukminin, Ali bin Husein dan Zainal Abidin bin Ali. 
Anak-anaknya meriwayatkan hadits darinya seperti Abdullah, Ibrahim dan Husein. Selain itu, Ummu Ja’far Banu Hasan bin Hasan bin Ali, Hamad bin Abdullah bin Umar bin Utsman, ‘Aisyah binti Talhah, Imarah bin ‘Uzmah, Hisyam bin Ziyad, Yahya bin Abi Yu’la dan Syabibah ibnu Nu’amah.
Abu al-Miqdam bin Ziyad dari ayahnya, dan dikatakan dari Ibunya, menggunakan hadits diriwayatkan darinya (Fatimah Binti Husein). Hadits yang diriwayatkan olehnya juga digunakan oleh beberapa Imam hadits, diantara mereka: Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Bahkan Ibnu Habban menyebutkan dirinya termasuk dalam salah seorang tsiqat (orang yang terpercaya).
Ketika ayahnya (Husein) terbunuh, Fatimah berkata: Wahai Yazid, apakah keturunan (cucu-cucu perempuan) Rasulullah saw dijadikan tawanan? Yazid berkata: Tidak, bahkan dimuliakan. Bergabunglah kau dengan anak-anak perempuan pamanmu (sepupu). Kau bebas berbuat apa saja, kau akan melihat mereka melakukan apa yang juga kamu lakukan seperti biasanya. Kemudian Fatimah bergabung bersama mereka (sepupunya) dan dia melihat mereka sedang berhijab sambil menangis.
Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib menikahi dirinya. Kemudian ketika Fatimah ditinggal Abdullah bin Amru bin Utsman bin Affan karena meninggal dunia, Abdurrahman bin al-Dlahak al-Fahri datang melamarnya, dia adalah seorang petugas di Madinah. Fatimah berkata: demi Allah, aku tidak ingin menikah lagi. Dan Sungguh dia telah direpotkan dengan merawat dan membesarkan anak. Fatimah bin Husein juga pernah dipinang Umar bin Aziz karena dirinya mempunyai kemuliaan sebagai keturunan Rasulullah saw. Bahkan dikatakan oleh orang: dia sama sekali tidak mengenal kejahatan. Kemudian Umar berkata: dia tidak mengetahui kejahatan, padahal di sampingnya ada kejahatan. Dia meninggal pada tahun 110 Hijriyah.

20. Rabi’ah Binti Isma’il al-‘Adawiyah
Seorang sufi besar dan ahli ‘ibadah yang terkenal. Dia adalah salah seorang yang menguasai kedalaman tasawuf, sehingga banyak para sufi besar di masanya bertanya padanya. Sufyan as-Tsauri berkata: Kami disarankan agar berguru pada seorang pengajar dan aku tidak mendapatkan orang yang dapat membuat hatiku tentram bila aku tidak lagi belajar padanya. Dan diriwayatkan pula bahwa ketika Sufyan ada di hadapannya berkata: Duhai betapa sedihnya. Rabi’ah berkata: jangan berdusta, tapi katakanlah kesedihanmu hanya sedikit.
Dialah Rabi’ah binti Isma’il bin Hasan bin Zaid bin Ali bin Abu Thalib. Ibnu Jauzi berkata: Rabi’ah adalah seorang yang berfikiran cerdas. Dari kata-katanya selalu menunjukkan kekuatan pemahamannya. Ucapan astaghfirullah yang keluar dari mulutnya benar-benar bernilai dalam. Seakan ucapan astaghfirullah dari mulutku hanya mengandung ketulusan yang sedikit.
Seorang Orientalis mengungkapkan pendapatnya mengenai Rabi’ah al-‘Adawiyah dan Rabi’ah al-Qaisiyah: Kedua orang ini merupakan orang yang bersikap zuhud. Dan keduanya merupakan pengikut madzhab al-Basri. Semangat mereka berdua untuk hidup dalam keadaan zuhud mengantarkan mereka pada pembenahan kondisi kaum sufi yang mempunyai beragam aliran dan juga kehidupan zuhud yang mereka lakukan untuk mengkaji lebih detail kewajiban-kewajiban agama dalam amal perbuatan sehari-hari dan keyakinan keberagamaan (‘aqidah).
Rabi’ah dikenal sebagai orang yang banyak menangis. Pernah suatu saat seseorang sedang membaca ayat-ayat al-Quran di sampingnya yang menceritakan tentang api neraka, kemudian dia berseru dan terjatuh. Selain itu, dia rajin melakukan sholat malam. Ketika fajar mulai terbit di ufuk Timur, dia duduk dengan tenang di Musholanya hingga matahari mulai menampakkan sinarnya.
Pernah suatu saat seseorang datang padanya dengan membawa 40 dinar, kemudian dia berkata: Ya Rabi’ah, pergunakanlah uang ini untuk memenuhi kebutuhanmu. Kemudian Rabi’ah menangis dan mengangkat kepalanya ke langit lalu berkata: Dia Mahatahu bahwa diriku malu pada-Nya untuk meminta dunia, sedangkan Dia Dzat yang memiliki Dunia. Bagaimana aku menginginkan dunia pada orang yang tidak memilikinya?
Bila sedang mengingat kematian tubuhnya bergetar dan berguncang hebat. Bila melintasi suatu kaum, mereka mengerti bahwa dia sedang melakukan ibadah. Setelah mencapai umur delapan puluh, Rabi’ah tidak lagi kuat, seakan-akan dia rapuh, bila berjalan hampir saja roboh.
Ada sebuah ucapan yang dinisbahkan para sejarawan pada Rabi’ah, dalam sebuah munajat kepada Allah, “Sesungguhnya aku beribadah pada-Mu bukan mengharap surga-Mu dan tidak pula takut akan neraka-Mu, akan tetapi aku beribadah karena mencintai-Mu.” Ini tidak benar, karena yang mengatakan ini hanyalah orang kafir yang berlawanan dengan firman Allah yang berbunyi, (Mereka berdoa pada Tuhan, dengan penuh ketakutan dan pengharapan) dan firman-Nya (Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut akan siksa-Nya)
Pun tidak seperti yang digambarkan di film bahwa dia seorang wanita pesolek, pezina, atau wanita yang mempunyai latar belakang maksiat. Gambaran semacam ini mengenai dirinya juga tidak dapat dibenarkan.
Tidak juga benar penggambaran dirinya sebagai orang yang berzuhud berlebih-lebihan yang merusak ‘aqidah, seperti kecintaan pada Allah dengan mengabaikan syari’at atau kefanaan diri menyatu dengan Tuhan, atau menyaksikan Allah dengan matanya, serta beberapa sikap sufi berlebihan lainnya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi tidak terjangkau oleh makhluk-Nya, dan tidak dapat terlihat oleh mata. Pendapat-pendapat semacam ini merupakan salah satu cara untuk menggelincirkan kaum Muslimin dalam syirik, yang diambil dari ajaran-ajaran agama-agama masa lalu. Para pemeluk agama masa lalu, menyerupakan Allah dengan makhluknya, padahal Allah Mahatinggi dari semua yang mereka serupakan. (Muhaqqiq)
Ketika ajal akan tiba menjemputnya, dia memanggil pelayannya Ubdah dan berkata: Wahai Ubdah, janganlah kau merasa sedih dengan kematianku. Dan pakaikan kain kafanku di dalam jubahku ini. Dan itu adalah jubah dari sehelai rambut yang dia gunakan ketika mata telah meredup. Kemudian Ubdah memakaikan kain kafan pada Jubah itu dan di dalam kain wol yang dipakainya. Kemudian dia dikuburkan di Baitul Maqdis pada tahun 135 Hijriyah.




[1]  Maksud dari kuda yang tidak dicocok hidungnya adalah kemuliaan seorang yang merdeka. Karena bila kuda telah dikekang (dicocok hidungnya) hilanglah kemuliaannya.
[2] Sirah Ibnu Hisyam
[3] Shahih Bukhari
[4] Al-Isti’ab, karya Abdul Bar
[5] Dikatakan: tahun keempat sebelum Hijriyah, ada pula yang mengatakan tahun keenam sebelum Hijriyah.
[6] Dikatakan: Saat itu dia berumur 64 tahun 6 bulan
[7] Sirah Nabawiyah, karya Zaini Dahlan
[8] Hujun: sebuah gunung di dataran tinggi kota Mekkah, di situlah terletak pemakaman keluarganya.

Tadarus Salih Ritual Kyai Hasyim Asy’ari

Tadarus Salih Ritual Kyai Hasyim Asy’ari Oleh: Anisul Fahmi Kyai Hasyim Asy’ari sosok figur yang sangat produktif dalam dunia k...