1. Asiyah Istri Fir’aun
Asiyah binti
Muzahim merupakan salah satu diantara wanita-wanita pilihan yang pernah terukir
dalam bingkai sejarah. Dia istri Fir’aun, seorang raja Mesir di zaman Nabi
Musa. Saat bersama Fir’aun, Asiyah tidak dikaruniai seorang anak pun. Fir’aun
sangat mencintainya karena kecantikan dan kematangan akhlaknya. Telah berapa
banyak cobaan dan tantangan yang harus dihadapinya dengan penuh kesabaran.
Bahkan, berbagai kesulitan mampu dirubah menjadi kemudahan, sehingga Asiyah
dikenal sebagai rahmat, bagi masyarakat di zaman Fir’aun yang penuh dengan
kelicikan dan lalim.
Pada masa yang seperti itulah muncul peristiwa yang akan menentukan sejarah
hidup Nabi Musa selanjutnya. Disebutkan dalam sejarah kenabian, ketika Asiyah
duduk-duduk di taman yang indah nan luas, dihiasi dengan aliran sungai
mempesona. Dia melihat sebuah peti mengambang. Perlahan-lahan peti itu semakin
mendekat sehingga Asiyah menyuruh para pembantunya untuk mengambil dan
mengeluarkan isi peti tersebut. Ketika dibuka, ternyata di dalamnya terdapat seorang
bayi mungil, elok dan rupawan. Maka, muncullah perasaan kasih sayang dalam diri
Asiyah. Allah mengaruniakan cinta dan kasih sayang terhadap bayi tersebut
melalui Asiyah. Tak pelak lagi, Asiyah memerintahkan agar bayi itu dibawa ke
istana dengan bertekad memelihara dan mangasuhnya.
Ketika mendengar berita tersebut, Fir’aun hendak membunuhnya, karena dia
melihat mimpi yang selama ini menghantuinya tentang seorang anak yang kelak
menghancurkannya. Para dukun dan ahli nujum dihadirkan dari seluruh pelosok
negara. Mimpinya pun diceritakan kepada mereka, sehingga ia diperingatkan agar
hati-hati dengan kelahiran seorang bayi yang akan menjadi penyebab kehancuran
kerajaannya. Akhirnya, semua bayi laki-laki Bani Israel yang lahir
diperintahkan agar dibunuh, kecuali bayi yang diasuh Asiyah. Fir’aun pun luluh
dengan bujukan Asiyah ketika ia berkata: “Kita tidak mempunyai keturunan anak
laki-laki, maka jangan bunuh anak ini. Semoga ada manfaatnya untuk kita atau
kita jadikan dia sebagai anak kandung kita”. Fir’aun menyetujui dan menyarankan
agar anak itu dididik sedemikian rupa. Asiyah memberi nama Musa terhadap anak
tersebut dan mendidiknya hingga dewasa dalam istana Fir’aun. Dan kisah tentang
ini tidak asing lagi bagi kita.
Kelak, Asiyah merupakan salah seorang yang mempercayai Musa. Ketika Fir’aun
mengetahui hal tersebut, tiba-tiba rasa cintanya berubah menjadi kemarahan dan
permusuhan. Asiyah tidak mengindahkannya karena dirinya tahu bahwa kebenaran
bersamanya. Dan dia pun tahu bahwa Musa as adalah utusan Allah yang
kebenarannya tidak dapat dihalangi oleh tantangan dan ancaman yang datangnnya
dari siapa saja. Hingga meninggal dunia, hari-hari akhirnya Asiyah hanya
dipenuhi dengan dzikir kepada Allah seraya mengucapkan:
{"Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga
dan selamatkanlah aku dari Fir`aun dan perbuatannya"}
Allah telah mengabulkan do’anya, bahkan dalam sebuah hadis Nabi saw
disebutkan bahwa Asiyah termasuk diantara wanita-wanita yang mulia,
diriwayatkan: [“Sebaik-baik wanita penghuni surga adalah Khadijah, Fatimah,
Maryam puteri Imron dan Asiyah istri Fir’aun”].
1.
Khadijah Binti Khuwailid (Ummul Mu’ninin)
Khadijah dilahirkan pada tahun 68 sebelum Hijriyah di sebuah keluarga yang
mulia dan terhormat. Dia tumbuh dalam suasana yang dipenuhi dengan perilaku
terpuji. Ulet, cerdas dan penyayang merupakan karakter khusus kepribadiannya.
Sehingga masyarakat di zaman Jahiliyah menjulukinya sebagai al-thahirah
(seorang wanita yang suci). Selain itu, Khadijah juga berprofesi sebagai
pedagang yang mempunyai modal sehingga bisa mengupah orang untuk menjalankan
usahanya. Kemudian Khadijah akan membagi keuntungan dari perolehan usaha
tersebut. Rombongan dagang miliknya juga seperti umumnya rombongan dagang kaum
Quraisy lainnya.
Lalu, suatu saat dia mendengar tentang Rasulullah Saw, sesuatu yang menarik
perhatian khadijah tentang kejujuran, amanah, dan kemuliaan akhlak Rasulullah
saw.
Pada saat itu, Abu Thalib berkata pada keponakannya, Muhammad saw, “Aku
adalah orang yang tidak mempunyai harta sedangkan kebutuhan zaman semakin hari
semakin mendesak. Umur telah kita lalui dengan sia-sia tanpa ada harta dan
perniagaan. Lihatlah Khadijah, dia mampu mengutus beberapa orang untuk
menjalankan niaganya, sehingga mereka mendapatkan hasil dari barang yang
diniagakan. Andai engkau datang kepadanya (untuk menjalankan niaganya) dengan
keutamaanmu dibandingkan yang lainnya, tentu tidak akan ada yang menyaingimu,
terutama sekali dengan kesucianmu.”
Kemudian Khadijah memberikan pekerjaan kepada Rasulullah agar menjalankan
barang dagangannya ke negeri Syam dengan ditemani anak bernama Maisarah. Beliau
diberi modal yang cukup besar dibandingkan lainnya. Rasulullah menerima
pekerjaan tersebut dan disertai Maisarah menuju kota Syam. Sesampainya di
negeri tersebut beliau mulai menjual barang dagangannya, dan kemudian hasil
dari penjualan tersebut beliau belikan barang lagi untuk dijual di Makkah.
Setelah misi dagangnya selesai, beliau bergabung dengan kafilah kembali ke Makkah
bersama Maisarah. Keuntungan yang didapatkan beliau sungguh berlipat ganda,
sehingga Khadijah menambahkan bonus untuk Rasulullah saw dari hasil penjualan
tersebut.
Sesampainya di Makkah, Maisarah menceritakan perilaku baik Rasulullah yang
dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Khadijah merasa tertarik dengan cerita
tersebut dan segera mengutus Maisarah untuk datang pada Rasulullah saw. Dan
menyempaikan pesannya bagi Rasulullah: “Wahai anak paman! Aku senang kepadamu
karena kekerabatan, kekuasaan terhadap kaummu, amanahmu, kepribadianmu yang
baik, dan kejujuran perkataanmu”. Kemudian Khadijah menawarkan dirinya kepada
Rasulullah.
Rasulullah saw menceritakan perihal ini kepada para pamannya. Tidak lama
kemudian Hamzah bin Abdul Muthallib bersama Rasulullah datang pada Khuwailid
bin Asad bermaksud meminang puterinya itu untuk Rasulullah. Kemudian Khuwailid
berkata (dalam keadaan setengah mabuk): “Dia itu kuda yang tidak dicocok
hidungnya[1]”. (maksudnya: seorang yang mulia). Dalam sebuah riwayat
lain disebutkan bahwa ketika Rasulullah meminang Khadijah binti Khuwailid, dia
menceritakannya pada Waraqah bin Naufal, kemudian berkata: “Muhammad bin
Abdullah meminang Khadijah binti Khuwailid, dia seorang lelaki yang mulia.”
Rasulullah kemudian menikahi Khadijah dan memberinya dua puluh onta muda. Saat
itu Khadijah berumur 40 tahun dan Rasulullah saw berumur 25 tahun.
Dialah
perempuan pertama yang dinikahi Rasulullah saw dan beliau tidak menikah dengan
siapa pun kecuali setelah Khadijah meninggal dunia. Dari Khadijah lahirlah
Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.
Saat menerima risalah kenabian, Khadijah merupakan orang pertama yang percaya kepada Allah dan rasul beserta ajaran-ajaran-Nya. Nabi Muhammad pun
tidak menghiraukan berbagai ancaman dan propaganda yang datangnya dari kaum
musyrikin. Karena disampingnya terdapat sang kekasih pilihan Allah yang dengan
setia mendampingi dan memperkuat aktifitas dakwahnya, sehingga terasa ringan
beban yang diemban dan ringan pula menghadapi cobaan apa pun yang dilakukan
oleh kaumnya.
Siti ‘Aisyah meriwayatkan bahwa wahyu pertama yang diterima oleh rasulullah
berupa mimpi baik (al-ru’ya al-shalihah) yang datang dalam tidur. Mimpi
itu datang kepadanya seperti fajar menyingsing. Kemudian beliau merasa senang
berdiam diri di gua hira’ untuk mendekatkan diri pada sang Pencipta atau tahannuts.
Yaitu, ibadah yang beliau lakukan pada malam hari selama beberapa malam sebelum
bergabung dengan keluarganya. Dan setelah itu dia kembali bersiap-siap dengan
bekal untuk melakukan tahannuts, kemudian kembali lagi ke Khadijah dan
bersiap lagi untuk melakukan tahannuts.
Hal tersebut dilakukan beliau secara berulang-ulang hingga datang kebenaran
Allah di saat malaikat datang kepada beliau dengan berkata: “Bacalah (iqra’)!”
beliau berkata: “aku tidak bisa membaca”, beliau kembali berkata: “Malaikat itu
memelukku erat-erat kemudian berkata, ‘bacalah!’, akupun kembali menjawab bahwa
aku tidak bisa membaca, kemudian aku dipeluk lagi dan malaikat itu berkata
seperti yang pertama, aku pun menjawab dengan sama seperti yang pertama. Kali
ketiga aku dipeluk malaikat itu berkata; {“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Mulia.”}
Beliau kembali ke rumah dengan perasaan takut seraya berkata kepada
Khadijah binti Khuwailid: selimuti aku! Selimuti aku! Maka diselimutilah beliau
hingga hilang perasaan takutnya itu. Beliau menceritakan semua yang telah
terjadi sebelumnya. Seraya mengeluh beliau berucap: “aku khawatir pada diriku”.
Kemudian, Khadijah menjawab, “Tidak perlu khawatir, Allah tidak akan pernah
menghinakanmu, sesungguhnya engkau orang yang menjaga tali silaturrahmi,
senantiasa mengemban amanat, berusaha memperoleh sesuatu yang tiada, selalu
menghormati tamu dan membantu orang-orang yang berhak untuk dibantu”.
Khadijah mengajak beliau untuk menmui Waraqah bin Nufail bin Asad bin Abdul
‘Uzay, sepupu Khadijah yang memeluk agama Nasrani di zaman jahiliyah dan
menulis buku Injil dengan bahasa Ibrani. Masya Allah, dia menulis,
padahal telah buta. Khadijah berkata kepadanya: “Dengarkan sepupu, kata-kata
dari keponakanmu ini!”. Waraqah berkata: “Wahai keponakanku, apa yang engkau
lihat?” Lalu, Rasulullah menceritakan tentang apa yangtelah dilihatnya.
Kemudian, Waraqah berkata: “Ini adalah Malaikat yang telah Allah turunkan
kepada nabi Musa. Andai aku dapat bertahan, aku berharap masih hidup ketika
kaummu mengusirmu”. Rasulullah bertanya-tanya; “Kenapa mereka mengusirku?”.
Waraqah menjawab, “Tidak seorang pun yang datang dengan sesuatu sebagaimana
yang kau emban ini kecuali dimusuhi oleh kaumnya. Jika aku masih hidup sampai
pada harimu, tentu aku akan menolongmu dengan sungguh-sungguh.” Waraqah tidak
sempat terlibat dalam aktifitas dakwah Nabi, karena keburu meninggal dunia dan
tidak sempat mendengarkan ajaran wahyu yang diturunkan pada Muhammad saw.
Rasulullah saw dan Khadijah tetap berdiam di Makkah dan melakukan shalat
secara rahasia dengan kehendak Allah. Afif Al-Kindiy meriwayatkan: “Di zaman
Jahiliah, aku datang ke Makkah untuk membelikan keluargaku beberapa baju dan
wewangian. Lalu aku menemui Abbas bin Abdul Muthallib. Dia melanjutkan
ceritanya, “Lalu, saat bersamanya, aku melihat ke arah Ka’bah di saat matahari
sedang terik. Saat itulah kulihat seorang pemuda sedang mendekat ka’bah,
sesekali ia menatap langit dan menghadap Ka’bah sambil berdiri. Selang beberapa
lama, datang seorang anak kecil berdiri di sampingnya. Kemudian disusul oleh
perempuan di belakangnya. Sang pemuda itu melakukan ruku’, si anak juga
ikut ruku’, begitu pula dengan si perempuan. Lalu, si pemuda mengangkat
kepalanya, si anak juga mengangkat kepalanya, begitu pula si perempuan
mengikutinya. Kemudia pemuda yang berada di depan bersujud, si anak ikut
bersujud, begitu pula perempuan di belakangnya.
Dia melanjutkan ceritanya: aku bertanya “Wahai Abbas! Aku melihat sesuatu
yang sangat mengagumkan”. Abbas berkata, “Mengagumkan? Kamu tahu siapa pemuda
itu?” Aku berkata; “Tidak, aku tidak tahu”. Lalu Abbas memberitahu, “Pemuda
tersebut adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib, keponakanku.” Abbas
bertanya lagi, “Tahukah kamu siapakah wanita itu?” aku menjawab; “Tidak, aku
tidak tahu”. Abbas menjawab sendiri pertanyaannya; “Wanita itu adalah Khadijah
binti Khuwailid, istri keponakanku itu.”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Nah, keponakanku yang kau lihat tadi itu,
memberitahu kita bahwa Tuhannya merupakan pencipta langit dan bumi, telah
memerintahkannya untuk mengajarkan agama ini seperti apa yang dilakukannya
tadi. Sungguh aku tidak tahu di seluruh muka bumi ada agama semacam ini, selain
pada diri mereka bertiga. Afif berkata: “Maka, aku berangan-angan untuk menjadi
orang keempat dari mereka yang menyebarkan agama ini”.
Khadijah memang sangat dicintai dan dihormati oleh Rasulullah. Beliau juga
tidak pernah berselisih dengan apa yang dikatakan Khadijah pada beliau,
terutama pada saat sebelum wahyu turun[2]. Bahkan, meski telah tiada istri kesayangannya itu
selalu disebut-sebut dalam setiap kesempatan, dan tidak bosan-bosan memujinya.
Sehingga ‘Aisyah, ummul mu’minin merasa cemburu. Sampai suatu saat,
‘Aisyah berkata pada Rasulullah saw, “Allah telah mengganti wanita tua itu”.
Tentu saja Rasulullah marah dengan ucapan ‘Aisyah ini, hingga ‘Aisyah merasa
terkelupas kulitnya, karena kemarahan Rasul pada dirinya. Aisyah berkata pada
dirinya; “Ya Allah, hilangkanlah perasaan marah Rasulullah terhadapku dan aku berjanji
untuk tidak lagi menjelek-jelekkan Khajidah”.
Aisyah pernah berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-isrti
Rasulullah kecuali pada Khadijah. Walaupun aku tidak pernah melihatnya, akan
tetapi Rasulullah sering menyebutnya di setiap saat. Ketika beliau memotong
Kambing, tak lupa beliau sisihkan dari sebagian daging tersebut untuk
kerabat-kerabat Khadijah. Ketika aku katakan, seakan-akan tidak ada wanita di
dunia ini selain Khadijah, beliau berkata, sesungguhnya dia telah tiada dan
dari rahimnya aku dapat keturunan[3]”.
‘Aisyah berkata: “Dulu Rasulullah saw. setiap keluar rumah, hampir selalu
menyebut Khadijah dan memujinya. Pernah suatu hari beliau menyebutnya sehingga
aku merasa cemburu. Aku berkata, Apakah tiada orang lagi selain wanita tua itu.
Bukankah Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik? Lalu, Rasulullah
saw marah hingga bergetar rambut depannya karena amarah dan berkata, “Tidak,
demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik darinya. Dia percaya padaku di saat
semua orang ingkar, dan membenarkanku di kala orang-orang mendustakanku,
menghiburku dengan hartanya ketika manusia telah mengharamkan harta untukku,
dan Allah telah mengaruniaiku dari rahimnya beberapa anak di saat istri-istriku
tidak membuahkan keturunan”. Kemudian ‘Aisyah berkata, “Aku bergumam dalam
diriku bahwa aku tidak akan menjelek-jelekannya lagi selamanya[4]”.
Khadijah ummul Mukminin, seorang tangan kanan Rasulullah yang
senantiasa membantu beliau dalam menjalankan dakwah dan menyebarkan
ajaran-ajarannya, telah meninggal pada tahun ketiga sebelum Hijriyah di kota
Makkah[5] pada usia enam puluh lima tahun[6]. Di saat ajal menjemputnya, Rasulullah menghampiri
Khadijah sembari berkata, “Engkau pasti tidak menyukai apa yang aku lihat saat
ini, sedangkan Allah telah menjadikan dalam sesuatu yang tidak engkau kehendaki
itu sebagai kebaikan[7]”. Saat pemakamannya Rasulullah turun ke dalam lubang
kubur dan dengan tangannya sendiri memasukkannya ke liang kuburan di daerah
Hujun[8]. Kematiannya merupakan musibah besar, dimana setelahnya
diikuti berbagai musibah dan peristiwa yang datangnya secara beruntun. Beliau
memikul beban dengan penuh ketabahan dan kesabaran demi mencapai ridla Allah ‘azza
wa jalla.
2. Hafshah binti Umar bin
Khattab (Ummul Mukminin)
Hafshah dilahirkan saat kaum Quraisy merenovasi Ka’bah di saat 5 Tahun
sebelum Nabi Muhammad saw diutus sebagai Rasul oleh Allah. Kemudian dinikahi
oleh Khunais bin Jadzafah. Hafshah menyertai suaminya hijrah ke Madinah. Lalu,
suaminya itu meninggal dunia saat mengikuti perang Badar bersama Rasulullah saw.
Setelah Hafshah menjadi janda, Umar bin Khattab menemui Utsman bin Affan
untuk menawarkan Hafshah menjadi istrinya. Kemudian Utsman berkata: “Aku tidak
membutuhkan seorang wanita.” Kemudian Umar menemui Abu Bakar, lalu menawarkan
Hafshah padanya untuk dijadikan istri. Akan tetapi Abu Bakar terdiam membisu,
hingga membuat Umar marah pada Abu Bakar.
Kemudian Umar mengadukan hal itu pada Rasulullah saw, “Tidakkah
mengherankan, aku telah menawarkan Hafshah pada Utsman tapi dia malah menolak
tawaranku itu.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Allah telah memilihkan
pasangan bagi Utsman seorang perempuan yang lebih baik dari anakmu, dan
pasangan bagi anakmu lebih baik dari Ustman.” Kemudian Rasulullah saw menikahi
Hafshah pada tahun ketiga Hijriyah, dengan memberinya mahar 400 Dirham, dan
pada saat itu umurnya baru 20 tahun.
Dia meriwayatkan sekitar 60 hadits dari Rasulullah saw dan Umar bin
Khattab. Sekelompok sahabat dan Tabi’in meriwayatkan hadits dari dirinya,
seperti saudara laki-laki Hafshah, Abdullah, anaknya Hamzah, dan istrinya
Shafiah binti Abu Ubaid, dan Haritsah bin Wahab, Muthallib bin Abu Wada’ah, Umm
Mubasyir al-Anshariyah, Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, Abdullah bin Shafwan
bin Umayyah, al-Musib bin Rafi’, dan Suwar bin al-Khiza’i.
Hafshah juga seorang penulis yang mempunyai kefasehan dan ketinggian
bahasa. Dia berkata di saat bapaknya, Umar sakit: Wahai ayahku, janganlah
kedatanganmu menghadap Tuhan yang Maha Pengasih membuatmu bersedih, meski tiada
seorang pun yang mengikutimu di sisimu. Aku punya kabar gembira buatmu. Dan aku
tidak akan menyebutkan rahasia ini dua kali. Nikmat kesembuhan bagimu adalah
keadilan, sedang tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah ‘azza wa jalla
dalam kekerasan hidup yang kau lalui, ketahanan dirimu melawan gairah duniawi,
dan keberanianmu menghadapi orang musyrik dan para perusak di dunia ini.
Kemudian Hashah mengarang puisi:
Tekanan haus yang tercampur dalam hati
Dan hanya al-Quran menjadi pelipur lara
Tidaklah kematianmu membuat kaget bagi cinta
Sungguh janji bagi orang yang melihat kefanaan
Dan Hafshah meninggal dunia di Madinah pada tahun 45 Hijriyah.
3. ‘Aisyah binti Abu Bakar
as-Shiddiq (Ummul Mukminin)
Seorang
perempuan periwayat hadits terbesar pada masanya. Dia juga terkenal sebagai
seorang yang cerdas, fasih, dan mempunyai ilmu bahasa yang tinggi. Dia
merupakan salah seorang terpenting yang mempunyai pengaruh besar dalam
penyebaran ajaran-ajaran Rasulullah saw. Dia dilahirkan di Makkah kira-kira
pada tahun kedelapan sebelum Hijriyah. Ketika Khadijah meninggal dunia
Rasulullah saw merasa amat sedih hingga dirinya merasa khawatir. Kemudian, saat
tekanan kesedihan mereda beliau berusaha mengalihkan perhatian dengan
mengunjungi rumah Abu Bakar as-Shiddiq dan berkata: “Wahai Ummu Ruman, jagalah
Aisyah anak perempuanmu itu dengan baik, dan peliharalah dia.”
Oleh karena
ucapan Rasulullah ini ‘Aisyah mempunyai kedudukan istimewa di keluarganya.
Sejak Abu Bakar masuk Islam hingga masa hijrah, Rasulullah tak pernah lupa
mengunjungi rumah Abu Bakar dan keluarganya. Lalu, ketika di suatu hari
mengunjungi mereka, Rasulullah menemukan ‘Aisyah bersembunyi di balik pintu
rumah Abu Bakar sambil terisak menangis karena merasa sedih. Kemudian Rasul
bertanya padanya, kemudian Ibunya mengadu pada Rasulullah. Sesaat mata Rasulullah
berlinang air mata, kemudian masuk ke dalam rumah Ummu Ruman dan berkata: Wahai
Ummu Ruman, bukankah telah kuminta padamu untuk merawat ‘Aisyah dengan baik?
Kemudian dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kau telah menyampaikan sesuatu
tentang diriku pada as-Shiddiq dan memarahinya sehingga dia memarahi kami?”
Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Bagaimana jika aku telah melakukannya?” Dia
berkata, “Tentu aku tidak akan berbuat buruk pada ‘Aisyah lagi.”
Khaulah binti
Hakim, istri Utsman bin Mathgun, mendatangi Rasulullah saw, lalu berkata: Wahai
Rasulullah, tidakkah engkau berkeinginan untuk menikah? Beliau berkata: dengan
siapa? Dia berkata: apakah anda ingin yang perawan atau yang janda? Kemudian
Rasulullah berkata: Siapakah yang perawan dan siapa pula yang janda? Dia
berkata: “Adapun yang perawan adalah seorang anak yang kau senangi, ‘Aisyah
binti Abu Bakar. Sedang yang janda adalah Saudah binti Zam’ah yang telah
beriman pada Tuhanmu dan menjadi pengikutmu. Kemudian Rasulullah saw berkata:
Lamarlah dirinya buatku.
Kemudian
Khaulah datang pada Ummu Ruman dan berkata: Wahai Ummu Ruman, bagaimana
menurutmu bila Allah memberikan anugerah terbaik buat keluargamu? Kemudian
dengan terheran-heran Ummu Ruman berkata: Apa itu? Lalu Khaulah berkata:
Rasulullah melamar ‘Aisyah. Ummu Ruman berkata: Tunggulah sebentar, Abu Bakar
datang. Ketika Abu Bakar tiba, Ummu Ruman menceritakan hal itu padanya. Lalu
Abu Bakar berkata: Bukankah itu baik bagi beliau, karena dia (‘Aisyah) adalah
anak perempuan saudaranya? Kemudian kabar tersebut disampaikan pada Rasulullah
saw kemudian berkata, dia (Abu Bakar) adalah saudaraku seagama, dan anaknya
baik bagiku. Lalu, Rasulullah datang pada Abu Bakar untuk meminang anaknya.
Setibanya di
rumah ‘Aisyah, Rasulullah melakukan ‘akad nikah dan memberinya 400 dirham. Hal
tersebut terjadi di Makkah pada bulan Syawal tiga tahun sebelum Hijrah. Pada
saat itu ‘Aisyah masih berumur 7 tahun. Namun, Rasulullah baru membangun
bahtera rumah tangga dengan ‘Aisyah ketika dia sudah berumur 9 tahun di Madinah,
pada bulan Syawal pada tahun pertama Hijrah.
Ketika ‘Aisyah
mulai beranjak matang, saat itu dia sudah berumur 9 tahun, ibunya datang
menurunkannya dari kuda tunggangan lalu berjalan mengiringinya hingga berakhir
di sebuah pintu. Kemudian sang Ibu mengusap wajahnya dengan sesuatu dari air
dan mulai melepaskan dirinya untuk hidup bersama Rasulullah. Kemudian sang Ibu
masuk bersama ‘Aisyah ke rumah Rasulullah, sedang para wanita dari kalangan
Anshar berada dalam rumah Rasul, kemudian mereka berseru dengan berbagai ucapan
selamat dan kebaikan. Dan sang Ibu menyerahkan ‘Aisyah pada mereka, kemudian
mereka yang mendandani ‘Aisyah. Setelah itu, Rasulullah membina rumah tangga
bersamanya dalam satu rumah yang kemudian akan menjadi tempat bagi akhir hidup
Rasulullah. ‘Aisyah adalah seorang wanita yang paling beruntung yang
dipunyainya dan paling dicintainya diantara istri-istri Rasul yang lain.
‘Amru bin ‘Ash
bercerita bahwa dirinya pernah berkunjung pada Nabi saw, kemudian berkata:
Siapakah orang yang paling kau cintai wahai Rasulullah? Beliau berkata:
‘Aisyah. Dia bertanya: Lalu siapa dari kalangan laki-laki? Beliau menjawab:
Ayahnya. Dia bertanya: kemudian siapa lagi? Beliau berkata: Umar. Dan dari
diwayat Anas diceritakan bahwa Nabi saw ditanya tentang seseorang yang paling
dicintainya. Beliau menjawab ‘Aisyah. Kemudian dikatakan: bukan itu wahai
Rasul, maksud kami diantara keluargamu. Beliau menjawab Abu Bakar.
Bahkan saking
cintanya Rasulullah saw pada ‘Aisyah, beliau mendoakannya dengan do’a: Ya Allah,
ampunilah ‘Aisyah dari dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, yang
tersembunyi dan yang terlihat. Hal tersebut membuat ‘Aisyah tertawa hingga
kepalanya terangguk-angguk saking gembira. Lalu Rasulullah saw berkata padanya:
apakah kau senang dengan doaku? ‘Aisyah berkata: Apa yang membuatku tidak
senang dengan doamu? Kemudian Nabi saw berkata: Sesungguhnya doa itu aku
ucapkan bagi diriku dan bagi umatku di setiap sholat.
Dan diantara
kecintaan Rasulullah saw pada ‘Aisyah, pada suatu saat antara Rasul dan ‘Aisyah
terlibat suatu pembicaraan. Lalu Rasul berkata padanya: Siapakah orang yang kau
relakan menjadi penengah diantara kita, apakah dia Umar? ‘Aisyah berkata,
tidak, Umar orangnya kasar. Lalu Rasul berkata lagi: apakah kau rela bila
ayahmu menjadi penengah kita berdua? Dia berkata: Ya, baiklah. Kemudian Rasul
mengutus seseorang padanya, kemudian setelah Abu Bakar tiba di antara mereka
berdua, Rasulullah berkata: sesungguhnya seperti inilah duduk perkaranya. Lalu,
‘Aisyah menyela ucapan Rasulullah dengan berkata: bertakwalah pada Allah dan
jangan bicara selain kebenaran. Lalu spontan Abu Bakar mengangkat tangannya
kemudian menampar hidungnya, lalu ‘Aisyah berpaling dan berlari dari Abu Bakar
dan berlindung di punggung Rasulullah saw. sehingga Nabi Saw berkata pada Abu
Bakar, apakah kau mau bersumpah tidak melakukan hal ini bila nanti keluar dari
rumah ini, karena kami tidak mengundangmu untuk melakukan hal semacam ini.
Ummu Salamah
pernah mendengar seseorang membentak ‘Aisyah, kemudian dia mengirim tetangganya
untuk melihat apa yang terjadi. Kemudian orang yang disuruhnya tiba, lalu
berkata: Kejadiannya telah usai. Lalu Ummu Salamah berkata: Demi Dzat yang
memiliki jiwaku, sungguh orang yang dicintai Rasulullah, diantara semuanya,
adalah ayahnya (‘Aisyah).
Ada seseorang
yang menghardik ‘Aisyah di saat ada Amar bin Yasir. Lalu Amar bin Yasir berkata
padanya: Sungguh mengherankan bersikap kasar dan membentak, apakah kau ingin
menyakiti orang yang paling dicintai (kekasih) Rasulullah?
Ketika Binti
Zam’ah semakin tua, jatah satu hari dan malamnya dari Rasulullah diberikan pada
‘Aisyah. Kemudian dia berkata: Wahai Rasulullah, aku berikan jatah satu hariku
bersamamu pada ‘Aisyah. Kemudian Rasulullah menjanjikan jatah dua hari bagi
‘Aisyah dan satu hari bagi Saudah.
Demikian pula
Shofiah Ummul Mukminin memberikan jatah satu harinya bersama Rasulullah pada
‘Aisyah dengan persetujuan Rasulullah saw. Kemudian ‘Aisyah menerima jatah satu
hari tersebut, kemudian mengambil keledai yang dipunyainya dan menyiraminya
dengan wewangian, kemudian memercikkannya dengan air agar wanginya terasa
segar. Kemudian ‘Aisyah memakai pakaiannya kemudian pergi menuju Rasulullah
saw, sesampainya di sana ‘Aisyah mengangkat ujung tenda Rasulullah. Kemudian
Nabi saw berkata: Ada apa denganmu wahai ‘Aisyah, sesungguhnya ini bukanlah
(jatah) harimu. ‘Aisyah berkata: Itulah anugerah Allah diberikan pada orang
yang dikehendaki-Nya. Kemudian beliau menanggapi: ya, karunia Allah selalu
diberikan pada orang yang berhak mendapatkannya. (Al-Hadits)
‘Aisyah amat
mencintai Rasulullah saw. Pada suatu ketika Nabi saw datang padanya dan
berkata: aku akan menawarkan padamu suatu perkara, kau tidak perlu terburu-buru
untuk memutuskannya hingga kau berdiskusi dengan kedua orang tuamu. ‘Aisyah
berkata: tentang apa ini yang Rasulullah? Kemudian Nabi saw membacakan: (Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu:"Jika kamu sekalian mengingini
kehidupan dunia dan perhiasannya, marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan
aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka
sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang yang berbuat baik di antaramu
pahala yang besar.) (QS. 33:28-29)
Kemudian
‘Aisyah berkata: lalu untuk apa kau menyuruhku untuk berunding dengan kedua
orang tuaku, padahal aku telah tahu. Demi Allah, kedua orang tuaku tidak akan
menyuruhku untuk berpisah darimu, bahkan aku telah memutuskan untuk memilih
Allah, Rasul-Nya dan akhirat. Kemudian Nabi merasa gembira dengan ucapan
‘Aisyah itu dan merasa takjub, kemudian bersabda: Aku akan tunjukkan pada
teman-temanmu apa yang telah aku tawarkan padamu tadi. Lalu Nabi saw
benar-benar mengatakan pada para wanita sebagaimana yang dikatakan pada
‘Aisyah, kemudian beliau berkata: sungguh ‘Aisyah telah memilih Allah, Rasul-Nya
dan kehidupan akhirat.
‘Aisyah dan
Peristiwa Hadits Ifk
Masih terekam
dalam ingatan, kecintaan besar yang dinikmati ‘Aisyah tentu saja merupakan
faktor pemicu pada sebagian orang untuk merasa iri dan cemburu. Sehingga mereka
melemparkan tuduhan pada wanita suci ini, kemudian Allah membebaskan dirinya
dari segala tuduhan tersebut, dan kisah itu termaktub dalam Al-Quran. Setelah
kejadian itu, kedudukan ‘Aisyah semakin bertambah mulia dan Rasulullah saw
semakin bertambah cinta padanya.
Pada saat itu,
rumor tentang hal buruk yang dituduhkan pada ‘Aisyah menjadi buah bibir
masyarakat sehingga membuat Rasulullah bersedih tidak tahu harus berbuat apa.
Terlebih lagi, kabar mengenai rumor itu masih belum jelas terdengar langsung
dari ‘Aisyah selama berhari-hari. Hingga pada suatu hari seorang muslimat
memberitahu Rasul tentang kejadiannya, lalu saat itulah ‘Aisyah berkata:
Demi Allah,
aku telah tahu bahwa engkau pasti mendengar apa yang menjadi buah bibir
masyarakat di luar sana. Rumor itu tertanam dalam dirimu dan engkau mempercayai
perkataan mereka. Dan jika aku katakan bahwa diriku benar-benar tidak melakukan
hal itu, tentu kau tidak akan mempercayai diriku. Dan jika aku mengakui berbuat
hal itu padamu, sedangkan Allah Mahatahu bahwa sesungguhnya aku tidak bersalah,
tentu kau akan percaya pengakuan salahku itu. Demi Allah, aku tidak mendapatkan
suatu pembelaan yang kupunyai ataupun yang kau punya sebagai suatu teladan,
kecuali melakukan apa yang dilakukan oleh ayah Yusuf as, ketika berkata: Maka
bersabarlah yang baik, karena Allah satu-satunya Penolong terhadap apa yang
mereka sangkakan. Kemudian ‘Aisyah beranjak pergi ke tempat tidurnya dan
memohon agar Allah melepaskan dirinya dari tuduhan yang ditimpakan padanya,
agar Allah menurunkan wahyu dalam masalah ini. Namun, dia merasa buat apa
al-Quran berbicara masalah ini, sehingga dia merasa rendah diri dan tidak dapat
berharap banyak. ‘Aisyah hanya berharap agar Rasulullah dapat melihat dalam
mimpinya agar Allah menjelaskan dan melepaskan dirinya dari segala yang
dituduhkan orang. Akan tetapi Rasulullah saw masih saja tetap pada
pendiriannya, dan tidak ada seorang pun dari ahlul bait (keluarga Rasul)
yang keluar untuk membela ‘Aisyah.
Hingga pada
suatu saat Jibril turun untuk meredakan kebingungan yang dialami Rasulullah.
Berita yang dibawa Jibril ini untuk membuat Rasul gembira dan terlepas dari
kebisuannya selama ini seperti keluarnya mutiara dari kerangnya pada hari
gerimis datang. Ketika kabar gembira itu datang pada Rasulullah saw, beliau
tertawa senang. Kata-kata pertama yang dikatakan Rasul yang diucapkan di
hadapan ‘Aisyah adalah: Wahai ‘Aisyah, pujilah Allah, sungguh Allah telah
melepaskan dirimu dari tuduhan. Kemudian Ibunya berkata pada ‘Aisyah:
Datangilah Rasulullah. Kemudian ‘Aisyah berkata: Tidak, aku tidak akan datang
padanya, dan ucapan terima kasihku (puji-pujian) hanyalah bagi Allah.
Allah telah
membebaskan ‘Aisyah dari segala tuduhan itu dengan firman-Nya: (Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah
baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.)
Kemudian
Rasulullah saw keluar pada masyarakat untuk membacakan ayat yang menjelaskan
tentang bebasnya ‘Aisyah dari tuduhan yang selama ini beredar di masyarakat.
Kemudian diperintahkan agar Musthah bin Atsatsah, Husan bin Tsabit, Hamnah
binti Jahsy dan beberapa orang lainnya yang tidak disebut namanya, untuk
mendapat hukuman sesuai syari’at, karena mereka telah menyebarkan berita bohong
dari orang-orang yang sebenarnya baik dan menuduhnya telah berbuat hina.
Namun
demikian, ‘Aisyah tidak senang bila ada seseorang yang menghina Hassan bin
Tsabit sampai didengar telinganya. Ada seseorang yang datang padanya, kemudian
menghina Hassan. ‘Aisyah berkata: Janganlah kau menghinanya, dia itu dulu
pernah membela Rasulullah saw. Dan dia dulu berkata pada ‘Aisyah dalam suatu
bait puisi seperti di bawah ini:
Seorang yang
terjaga tiada pernah diragukan
Menjadi mulia
dari keturunan para bangsawan
Lebih cerdik
dari Lua’y bin Ghalib
Terhormat
senantiasa tiada binasa
Penuh
pengertian, sungguh Allah menyucikan karakternya
Menyucikannya
dari para pendengki dan penghasud
‘Atho bin Abu
Rabah pernah berkata: Kalaupun ‘Aisyah tidak mempunyai keutamaan, dengan
peristiwa ifk ini saja sudah cukup untuk menunjukkan keutamaan dirinya
dan ketinggian derajatnya. Bahkan, masalah dirinya diabadikan dalam al-Quran
yang akan dibaca sepanjang zaman. Bila Masruq berkata menyangkut ‘Aisyah, dia
berkata: ceritakanlah padaku tentang wanita jujur (shadiqah) anak
perempuan dari seorang yang shiddiq.
Saat Utsman
bin Affan terbunuh dan Ali bin Abu Thalib dibai’at pada tanggal 5 bulan Dzul
Hijjah tahun 36 H. Bani Umayyah melarikan diri dan pejabat-pejabat Bani Umayah
turun sehingga mereka menuju kota Makkah. Pada saat itu, ‘Aisyah sedang berada
di Makkah ingin melaksanakan Umrah di bulan Muharram. Ketika Bani Umayyah
mengetahui hal itu mereka beranjak menemui ‘Aisyah, kemudian ‘Aisyah menanyakan
kabar mereka. Lalu, mereka memberikan kabar padanya bahwa Utsman telah dibunuh,
dan mereka tidak rela dengan pemerintahan yang dibentuk pasca Utsman. Kemudian
Zubair dan Talhah dan beberapa orang dari Banu Umayyah bergabung dengan ‘Aisyah
untuk mengingat bahwa urusan kematian Utsman belum selesai. Lalu Zubair dan
Talhah berkata pada ‘Aisyah:
Bila kau
mengikuti kami untuk menuntut darah Utsman. Kemudian ‘Aisyah berkata pada
mereka berdua: Kepada siapakah kalian menuntut darah Utsman? Mereka berdua
berkata: Sesungguhnya mereka adalah kaum yang terkenal dan mereka adalah para
pengikut Ali dan para pembesar sahabat-sahabatnya. Maka keluarlah engkau
bersama kami hingga datang ke Bashrah, dan orang-orang dari penduduk Hijaz
mengikuti kita. Dan sesungguhnya penduduk Bashrah bila melihat dirimu tentu
mereka semua akan berada di bawah satu komandomu.
Banyak orang
yang terpanggil dengan ajakan ‘Aisyah ummul mukminin, mengikutinya untuk
menuntut darah Utsman dan menjatuhkan hukuman yang setimpal bagi pembunuh
Utsman.
Dulunya mereka
berfikir ‘Aisyah akan menuju ke Madinah, lalu ketika fikirannya berubah menuju
penduduk Bashrah, mereka membiarkan dirinya dan mencukupkan diri untuk
menemaninya. Adapun Hafshah, dia ingin keluar bersama ‘Aisyah. Tapi kemudian saudaranya
Abdullah bin Umar memintanya untuk diam saja, sehingga dia tidak keluar bersama
‘Aisyah dan duduk di rumahnya. Tapi, Hafshah sempat mengirimkan utusan pada
‘Aisyah untuk menjelaskan bahwa Abdullah mencegah diriku untuk keluar. Kemudian
‘Aisyah berkata: semoga Allah mengampuni Abdullah.
Adapun Ummu
Salamah ketika melihat apa yang diperbuat Aisyah, dia tetap menunjukkan
loyalitasnya pada Ali bin Abu Thalib dan mendukungnya, dan menulis surat pada
Aisyah:
Amma ba’du,
sesungguhnya engkau mempunyai posisi yang menjadi perantara di antara
Rasulullah saw dan umatnya. Dan hijabmu dibuat atas kemuliaannya. Sungguh
al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf, maka janganlah kau korbankan
al-Quran dan tidak perlu meninggalkan rumahmu untuk melakukan hal ini. Karena
Allah selalu mendukung Umat ini.
Kemudian
‘Aisyah menulis pada Ummu Salamah: Betapa nasehatmu masuk dalam hatiku dan
menambah pengetahuanku. Tujuanku bukanlah sebagaimana yang kau sangka. Sungguh
sebaik-baiknya sesuatu yang memancar akan selalu memancar. Aku hanya ingin
memisah dua kelompok yang saling bertikai, bila aku mampu melakukan agar tiada
yang terluka dan hanya kedamaian yang ada.
Dan ketika
kabar semacam itu sampai pada penduduk Basrah, Ustman bin Hanif mengundang
Imran bin Hashin dan al-Aswad ad-Duali. Kemudian dia berkata pada mereka
berdua: pergilah kalian pada wanita ini, kemudian pelajarilah ilmunya dan ilmu
orang yang bersamanya. Kemudian mereka berdua keluar dan bertemu dengan Aisyah
dan orang yang besertanya. Mereka sedang berada di Hafir. Kemudian dua orang
itu meminta izin untuk bertemu dengan Aisyah, dan Aisyah memberikan izin.
Keduanya memberi salam dan berkata: Sesungguhnya amir (pangeran)
mengirim kami berdua untuk menanyakan padamu tentang tujuanmu, apakah kau
berkenan memberitahukannya pada kami?
Aisyah
berkata: Demi Allah, tidak ada orang yang seperti diriku menghadapi masalah
yang masih belum terungkap ini dengan mudah dan tidak pula seorang pun yang
mampu menutupi kabar ini pada anaknya. Sesungguhnya sekelompok orang dari
penduduk negeri dan perselisihan diantara para kabilah, mereka berperang di
tempat yang dimuliakan Rasulullah. Mereka menciptakan beberapa peristiwa di
sana, mereka berlindung pada orang yang menyebabkan peristiwa ini, mereka
merasa berhak di dalamnya. Sungguh Allah melaknatnya dan laknat Rasulullah
baginya, bersama orang-orang yang menyebabkan terbunuhnya imam kaum Muslimin
tanpa kejelasan dan penghianatan. Lalu mereka menghalalkan darah yang haram
kemudian mereka mengucurkan darah itu dan merampas harta haram, mereka
menghalalkan negara yang haram dan bulan haram, dan merobek kehormatan dan
kulit persatuan.
Kemudian Abu
Aswad dan Imran keluar dari tempat Aisyah, kemudian keduanya mendatangi Talhah.
Lalu mereka berdua berkata: Apa yang menjadi tujuanmu? Dia berkata: menuntut
terbunuhnya Utsman. Bukankah kau telah membai’at Ali? Dia berkata: benar, dan
juga menyatakan sumpah setia. Dan aku tidak akan menggulingkan kepemimpinan
Ali, hanya saja dia belum menuntaskan kasus terbunuhnya Utsman.
Kemudian
mereka berdua kembali ke tempat Ummul Mukminin kemudian mengucapkan selamat
tinggal pada ‘Aisyah. Dan dia berkata: Wahai Abu Aswad, hati-hatilah dirimu
agar tidak terbawa nafsu yang menyebabkanmu terlempar ke dalam neraka. Jadilah
kalian orang-orang yang tegak di jalan Allah dan syahid membela keadilan. Lalu
Aisyah juga berseru: janganlah kalian membunuh kecuali pada orang yang akan
membunuhmu. kemudian mereka berseru, Siapapun yang masih belum jelas tentang
pelaku pembunuhan Utsman bin Affan, maka kendalikanlah kemarahan kami,
sesungguhnya kami tidak ingin kecuali menemukan pembunuh Utsman dan kami tidak
memulai membunuh seorang pun.
Para pendukung
‘Aisyah kemudian memobilisasi untuk terlibat dalam perang dan jumlah dari pasukannya
diperkirakan mencapai tiga puluh ribu. Panglima perang itu diserahkan pada
Zubair, Talhah memimpin pasukan berkuda, Abdullah bin Zubair memimpin infantri,
Muhammad bin Talhah berada di tengah-tengah pasukan, dan Marwan memimpin
pasukan di barisan terdepan, Maimanah Abdurrahman bin ‘Ubadah di sayap kanan
dan Hilal bin Waki’ ada di sayap kiri.
Ali juga
memobilisasi para pendukungnya untuk menghadapi pertempuran itu, hingga
mencapai dua puluh ribu orang. Kemudian dia menggunakan Abdullah bin Abbas
untuk memimpin pasukan pada barisan terdepan, Hind al-Muradi memimpin pasukan
kavaleri, dan Ammar bin Yasir memimpin pasukan berkuda, Muhammad bin Abu Bakar
memimpin pasukan infantri. Kemudian Ali menulis sebuah surat untuk Zubair dan
Talhah. Dan Ali juga menulis surat untuk ‘Aisyah:
Amma ba’du,
sesungguhnya kau keluar dengan keadaan marah karena Allah dan Rasul-Nya,
menuntut atas terbunuhnya Utsman. Dan seumur hidupku aku hanya tahu kau marah
terhadap orang yang menghadirkan bala bencana terhadapmu, dan orang yang
menuduhmu melakukan maksiat, kau menganggapnya hal itu lebih dosa dari pada
kasus terbunuhnya Utsman. Dan betapa engkau menjadi marah dan betapa kau merasa
terbakar dengan kasus ini. Bertakwalah pada Allah dan kembalilah ke rumahmu.
Lalu,
terjadilah pertempuran dan Talhah terbunuh, kemudian orang-orang menerima
serangan yang dilancarkan mereka itu. Mereka hanya menginginkan kehidupan yang
tenang di Basrah, ketika mereka melihat Unta berkeliling di arena pertempuran,
mereka kembali pada keadaan seperti saat semula bertemu, dan mereka kembali
pada suasana baru. Dan tiada lagi banyak orang yang tersisa di sekeliling Unta
dan berada di tengah medan pertempuran kecuali terkena celaka.
Kemudian Ali
berseru pada para sahabatnya agar tidak mengikuti provokasi pemimpin, jangan
menyerang orang yang terluka, jangan merampas harta. Dan barang siapa yang
melempar senjatanya ke tanah maka ia dijamin dalam keadaan aman, dan siapa saja
yang mengunci pintu rumahnya maka ia dijamin aman. Lalu mereka mengumpulkan
emas dan perak di markas dan beberapa barang berharga lainnya. Maka tidak satu
pun di antara mereka yang diperbolehkan untuk mengambil harta tersebut, kecuali
senjata orang yang dibunuhnya dan tunggangannya yang digunakan pada waktu
berperang.
Lalu beberapa
orang sahabat berkata pada Ali: Wahai amirul mukminin, bagaimana kita
dihalalkan membunuh mereka sedang kami tidak dihalalkan mengambil harta mereka?
Ali berkata: Bagi mereka yang telah bersatu tidak ada tawanan dan tidak ada
pula mengambil harta mereka, kecuali sesuatu yang dimiliki oleh orang yang
telah terbunuh dalam peperangan itu. Maka tinggalkanlah harta, kalian tahu itu.
Dan kalian diharap untuk komit dengan apa yang telah diperintahkan pada kalian.
Setelah itu,
Ali memerintahkan Muhammad bin Abu Bakar untuk mengantar ‘Aisyah. Dia mengantar
‘Aisyah ke rumah Abdullah bin Khalaf al-Khuza’i, salah seorang yang gugur dalam
pertempuran hari itu. ‘Aisyah diantar pada istri Abdullah yang telah gugur itu,
yaitu Shofiah binti Harits bin Talhah bin Abu Talhah.
Ali bin Abu
Thalib tetap berada di tendanya selama tiga hari tidak memasuki kota Basrah.
Orang-orang banyak yang bersimpati terhadap korban yang tewas, mereka keluar
dari rumah untuk menguburkan para sahabat yang gugur dalam peperangan tersebut.
Ali bin Abu Thalib
tetap berada di tendanya selama tiga hari tidak memasuki kota Basrah.
Orang-orang banyak yang bersimpati terhadap korban yang tewas, mereka keluar
dari rumah untuk menguburkan para sahabat yang gugur dalam peperangan tersebut.
Jumlah sahabat
yang gugur pada peristiwa yang dikenal dengan “perang jamal” tersebut mencapai
10 ribu orang. Setengah dari para pendukung Ali dan setengahnya dari pendukung
‘Aisyah. Kemudian Ali beranjak mengunjungi ‘Aisyah, bersama Hasan dan Husein
serta beberapa anak dari saudaranya, juga dua orang keluarganya yang berasal
dari Bani Hasyim, dan selain itu beberapa orang pendukungnya turut serta.
Ketika sampai di rumah Abdullah bin Khalaf, yang merupakan sebuah rumah
terbesar di Basrah, Ali melihat beberapa wanita yang terisak menangisi Abdullah
dan Utsman keduanya anak Khalaf. Diantara mereka terdapat ‘Aisyah dan Shofiah
binti Harits yang sempoyongan karena menangis.
Ketika melihat
Ali, dia langsung berkata: Wahai Ali, wahai yang bertempur melawan kekasih
rasulullah, semoga Allah meyatimkan anakmu, sebagaimana engkau menjadikan anak
Abdullah menjadi yatim. Ali tidak membalas ucapan tersebut, dan tetap terdiam
di tempatnya semula, tidak bergeming. Hingga kemudian masuk menuju ‘Aisyah dan
memberi salam padanya, dan duduk di sampingnya, lalu berkata: Di hadapan kita
ada Shofiah, adapun diriku belum melihatnya sejak dia menjadi budak perempuan
hingga hari ini.
Kemudian Ali
menyiapkan segala sesuatu, berupa tunggangan, perbekalan, dan makanan untuk
‘Aisyah. Beberapa orang yang selamat dari pertempuran itu keluar bersama
‘Aisyah untuk turut serta, kecuali beberapa orang yang senang untuk tetap
tinggal di tempat ini. Selain itu, dipilihkan empat puluh wanita yang terkenal
dari penduduk Basrah untuk menyertainya. Lalu, Ali berkata pada Abdullah bin
Abu Bakar, saudara lelakinya: Persiapkanlah segalanya dan sampaikan padanya
untuk bersiap-siap. Pada hari ‘Aisyah hendak meninggalkan kota Basrah, Ali
datang padanya dan berdiri di sampingya. Banyak pula orang yang datang, lalu
‘Aisyah keluar menemui mereka untuk mengucapkan salam perpisahan terhadap
mereka, begitu pula mereka melepas kepergian ‘Aisyah. Lalu ‘Aisyah berkata:
Wahai
anak-anakku, kita saling menegur satu sama lain dengan santun dan sopan untuk
mencari kebenaran, maka janganlah kalian saling bermusuhan satu sama lainnya
yang dapat menimbulkan perpecahan. Sungguh demi Allah, apa yang terjadi antara
diriku dan Ali di masa lalu merupakan sesuatu yang terjadi antara perempuan dan
kawan karibnya. Sesungguhnya bagi diriku merupakan teguran dari orang-orang
yang terpilih.
Lalu Ali
berkata: Wahai manusia, benar ucapan ‘Aisyah, demi Allah apa yang disampaikan
merupakan kebenaran yang sesungguhnya. Apa yang telah terjadi antara diriku dan
dirinya sebagaimana yang telah diucapkannya. Sesungguhnya dia adalah istri Nabi
kalian di dunia dan akhirat.
‘Aisyah keluar
pada hari Sabtu menuju Garrah, bulan Rajab tahun 36 Hijriyah, Ali menemaninya
hingga jarak bermil-mil dan melepas anaknya untuk tetap menemani ‘Aisyah.
Kelompok
Khawarij menganggap bahwa Talhah, Zubair dan ‘Aisyah serta para pengikutnya
telah kafir, karena pada peristiwa “perang jamal” itu, mereka telah memerangi
Ali. Dan Ali pada saat itu berada pada posisi yang benar, bertempur melawan
para pengunggang Unta.
Sedangkan
Ahlussunnah wal Jama’ah, mereka berkata: tetap menyatakan keislaman dua
kelompok yang berperang dalam pertempuran jamal itu. ‘Aisyah pada waktu itu
bermaksud untuk mencarikan solusi bagi dua kelompok yang berselisih. Hanya saja
Banu Dhabah dan Azad mendominasi dan keluar dari ide yang hendak ditawarkan
‘Aisyah, sehingga akhrinya mereka bertempur melawan Ali tanpa memperoleh izin
‘Aisyah, sehingga terjadilah sesuatu yang memang harus terjadi.
Diantara bukti
yang menunjukkan kesucian hati ‘Aisyah ummul mukminin dan sikapnya menghargai
Amirul mukminin, Ali bin Abu Thalib, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abdu
Rabbih, dia berkata:
Ketika Amirul
mukminin Ali bin Abu Thalib terbunuh, berita duka tersebut sampai ke Madinah.
Kultsum Ibnu Amr, pada saat datangnya berita itu, menyaksikan kesedihan melanda
kota Madinah, persis saat kesedihan mereka menghadapi wafatnya Rasulullah saw.
Banyak para lelaki dan perempuan yang menangis dan meratap. Hingga tatkala
linangan air mata tangis mulai mereda, beberapa sahabat Rasulullah saw berkata:
marilah kita pergi menuju rumah ‘Aisyah istri Nabi saw, kita lihat kesedihannya
terhadap kematian keponakan Rasulullah saw. Lalu orang berdiri dan beranjak
menuju rumah ‘Aisyah. Mereka minta izin untuk bertemu dengan dirinya. Kemudian
mereka mengetahui bahwa kabar kematian Ali telah didengarnya, pada saat itu dia
terlihat teramat sedih dan berlinangan air mata, bukan tangisan yang
dibuat-buat. Kesedihan ‘Aisyah berlangsung lama sejak dia mendengar berita duka
tersebut. Ketika orang melihat dirinya dalam keadaan sedih, mereka beranjak
pergi.
Keesokan
harinya, dikatakan dia pergi menuju makam Rasulullah saw, tidak seorang pun
dari kaum muhajirin yang berada di Masjid kecuali menjumpai ‘Aisyah dan memberi
salam padanya, namun dia tidak dapat menjawab salam, dan tidak mampu
mengeluarkan kata-kata, dikarenakan isak tangisnya dan linangan air matanya,
sehingga membuat dirinya tercekik karena menahan tangisnya sambil mengusap
linangan air mata dengan pakaiannya. Sedang orang-orang ada di belakangnya
hingga dia datang ke sebuah ruangan, lalu memegang dua sisi pintu, dan berkata:
Assalamu’alaika
wahai Nabi, Assalamu’alaik wahai Abu Qasim, Assalamu’alaik wahai Rasulullah,
dan juga para sahabatmu wahai rasul. Aku datang membawa berita duka padamu,
orang yang paling kau sayangi, orang yang selalu kau ingat sepanjang hidupmu,
orang yang paling mulia di sisimu telah terbunuh. Demi Allah, kekasihmu yang
kau sayangi telah terbunuh. Demi Allah, orang yang mempunyai istri terbaik
diantara para wanita itu telah terbunuh. Demi Allah, orang yang beriman dan
memegang teguh amanah telah wafat. Sungguh diriku merasa sedih dan banyak orang
yang menangis karena kepergiannya.
Aisyah Dalam
Keilmuan dan Adab
‘Aisyah juga
dikenal sebagai pembawa bendera dalam bidang keilmuan dan pengetahuan di
masanya. Seakan-akan dia lampu terang yang menyinari para ahli ilmu dan
penuntut ilmu. Bahkan, sahabat Nabi saw datang padanya untuk menanyakan tentang
ilmu yang masih sulit dimengerti dan beberapa masalah keilmuan, dia memberikan
jawaban yang memuaskan dengan tenang dan teliti. Suatu jawaban yang tidak mudah
diberikan kecuali oleh orang yang sudah mencapai tahap keilmuan yang tinggi.
Abu Burdah bin
Abu Musa menceritakan sesuatu dari ayahnya: Bila kami, sahabat Nabi Muhammad,
menemukan kesulitan dalam suatu hal, tentu kami akan datang pada ‘Aisyah untuk
menanyakannya, dan kami mendapatkan darinya suatu pengetahuan baru. Masruq juga
berkata: Aku melihat beberapa sahabat senior Nabi Muhammad sedang bertanya pada
‘Aisyah tentang faraidh (ilmu waris).
‘Aisyah juga
terhitung salah seorang yang keilmuannya melampaui banyak orang lainnya dalam
hal al-Quran, Hadits, fiqh, Syair, cerita-cerita Arab, hari-hari mereka dan
nasab mereka. Urwah bin Zubair berkata: Saya tidak melihat seorang pun yang
lebih tahu dari ‘Aisyah tentang al-Quran, tentang ilmu faraidh, tentang halal
dan haram, tentang syair, sejarah Arab, dan tentang ilmu nasab. Abu Umar bin Abdul
Bar juga berkata: ‘Aisyah merupakan orang satu-satunya pada zaman itu yang
menguasai tiga keilmuan, ilmu fiqh, ilmu kedokteran dan ilmu syair.
Urwah pernah
berkata pada ‘Aisyah: Wahai Ibunda, aku tidak terkejut dengan kepandaianmu
dalam bidang fiqh, karena kau adalah istri Rasulullah saw, dan anak perempuan
Abu Bakar. Aku juga tidak merasa kaget dengan pengetahuanmu dalam bidang syair
dan sejarah kemanusiaan, karena kau adalah anak perempuan Abu Bakar, salah
seorang yang paling pandai diantara manusia lainnya, tapi, aku sangat takjub
dengan pengetahuanmu dalam bidang kedokteran, bagaimana itu bisa terjadi, dan
dari mana kau dapatkan? Dia melanjutkan ceritanya: lalu ‘Aisyah menepuk
pundaknya dan berkata: Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah saw dulu pada akhir
umurnya menderita suatu penyakit, kemudian didatangkan beberapa utusan dari
segala penjuru Arab untuk mendiagnosa penyakit beliau. Lalu, aku mengobatinya.
Dari itulah aku tahu ilmu kedokteran.
Menurut
perhitungan, diantara orang-orang yang menghafal fatwa dari para sahabat lebih
dari seratus tiga puluh orang, lelaki dan perempuan, dan orang yang paling
banyak hafalannya diantara mereka ada tujuh orang, Umar bin Khattab, Ali bin
Abu Thalib, Abdullah bin Mas’ud, ‘Aisyah ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
Dia
meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Fatimah Zahra, Sa’ad bin Abu Waqash, Hamzah bin Amr al-Aslami, Judzamah binti
Wahab, sekitar 2210 hadits. Oleh karena itu, kita dapat memasukkan ‘Aisyah
termasuk salah seorang periwayat hadits yang paling banyak. Peringkatnya di
bawah prestasi Abu Hurairah yang meriwayatkan 5394 hadits, dan tepat di bawah
Abdullah bin Umar bin Khattab yang meriwayatkan 2638 hadits. ‘Aisyah berada di
atas prestasi Ibnu Abbas yang meriwayatkan 1660 hadits, setelah itu Jabir bin
Abdullah al-Anshari yang meriwayatkan 1540 hadits dan dia berada di atas Abu
Sa’id yang meriwayatkan 1170 hadits.
Beberapa
sahabat juga meriwayatkan hadits darinya, di antara mereka; Umar bin Khattab,
Amru bin ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Zaid bin Khalid al-Juhni, Abu Zahrah,
Abdullah bin Abbas, Rabi’ah bin Amru al-Jarsyi, as-Saib bin Yazid, al-Harits
bin Abdullah bin Naufal dan beberapa orang selain mereka.
Beberapa
pembesar Tabi’in juga meriwayatkan hadits darinya, diantara mereka; Sa’id bin
al-Musib, Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, Shofiah binti Syaibah, ‘Alqamah bin
Qais, Amru bin Maimun, Mathraf bin Abdullah dan beberapa orang lainnya.
‘Aisyah
berkata: Carilah ilmu di tempat-tempat tersembunyi yang ada di bumi. Suatu hari
‘Aisyah melihat seorang laki-laki berpura-pura mati, lalu dia berkata: Apa ini?
Mereka berkata: dia adalah orang yang zuhud. Kemudian ‘Aisyah berkata: Umar bin
Khattab juga adalah seorang yang zuhud, dan bila dia berbicara lebih didengar,
bila berjalan lebih cepat, bila ada seseorang yang mengutak-atik Dzat Allah dia
merasa lebih tersakiti. Kemudian ‘Aisyah memberikan sejumlah uang yang banyak
padanya, kemudian memerintahkan agar pakaiannya ditambal.
Ketika
Abdurahman bin Abu Bakar meninggal dunia di Habsyi, ‘Aisyah berdiri di samping
kuburnya dan berkata:
Kita dahulu
seperti dua orang karib Judzaimah
Seakan tiada
masa yang dapat mengukurnya
Hingga
dikatakan tidak akan pernah terpisah
Ketika kita
telah terpisah
Seakan aku dan
orang yang memiliki
Sepanjang
dalam kebersamaan
Belumlah bermukim
dalam satu malam bersama
Nabi Muhammad
saw mendengar perkataan ‘Aisyah yang sedang bersenandung syair Zuhair bin
Hibab:
Angkatlah
kelemahanmu
Jangan kau
biarkan dirimu dalam kelemahannya
Pada hari kau
mencapainya suatu akhir yang diperoleh
Dia akan
membayarnya atau memujimu
Sungguh orang
yang memujimu terhadap
Apa yang telah
kau lakukan seperti orang yang diberi
Kemudian Nabi
saw membenarkan ucapan ‘Aisyah dengan bersabda tidak dianggap bersyukur kepada
Allah orang yang tidak mengucapkan terima kasih pada manusia.
Dari dulu
‘Aisyah dikenal sebagai orang yang banyak beribadah, tahajud, dan berpuasa.
‘Aisyah juga
dikenal sebagai orang yang pemalu. Ketika dia masuk ke dalam rumah yang di
dalamnya kuburan Rasulullah saw dan Abu Bakar dia tidak perlu memakai hijab,
karena dua orang tersebut adalah suaminya dan ayahnya. Namun ketika Umar bin
Khattab dikubur di sebelah keduanya, dia tidak lagi membuka hijabnya karena
malu kepada Umar bin Khattab.
‘Aisyah juga
dikenal sebagai orang yang sangat jujur dan tidak pernah berdusta. Ibnu Zubair
bila berkata tentang kepribadian ‘Aisyah dia berkata: Demi Allah, dia tidak
pernah berdusta pada Rasulullah saw.
Abdullah bin
Zubair mengirim dua sak harta yang bernilai 100.000 kepada ‘Aisyah. Kemudian
‘Aisyah membiarkan harta tersebut di letakkan begitu saja, pada saat itu dia
sedang berpuasa, sehingga dia membagi-bagikan harta tersebut pada orang lain.
Ketika hari beranjak sore, ‘Aisyah berkata: Wahai bibi, berilah makanan buka
puasa untukku. Kemudian Ummu Dzurah berkata: Wahai Ummul Mukminin,
apakah kau tidak mampu membeli daging seharga satu dirham dengan uang yang
telah kau infakkan tadi untuk makanan buka puasa? Kemudian dia berkata: Janganlah
kau bersikap kurang sopan terhadapku, kalau kau mengingatkanku tentu aku sudah
melakukannya.
Mu’awiyah juga
pernah mengirim sepiring penuh emas yang di dalamnya juga terdapat permata yang
bernilai sekitar 100.000, kemudian dia membagi-bagikannya pada istri-istri nabi
saw. lalu Urwah berkata: Aku melihat ‘Aisyah memberikan shadaqah senilai 70.000
dan dia sedang menjahit bagian pinggir mantelnya. Kemudian dia ditanyakan
mengapa melakukan hal itu. Kemudian ‘Aisyah berkata: Tidak ada yang baru bagi
orang yang tidak dapat membuatnya. Dan Urwah juga berkata: ‘Aisyah itu juga
seorang yang tidak memegang sesuatu yang diberikan padanya, berupa rizki dari
Allah, kecuali dia memberi shadaqah dari rizki tersebut.
‘Aisyah pernah
meminta izin pada Nabi saw untuk turut serta dalam jihad, kemudian Nabi saw
berkata: Jihad kalian adalah dengan berhaji. Pada pertempuran Uhud banyak orang
yang melindungi Rasulullah dari serangan, kemudian Anas melihat ‘Aisyah dan
Ummu Salim, mereka berdua menyingsingkan lengan sehingga terlihat mereka berdua
melayani pasukan Muslim. Keduanya sedang mengangkut tempat air kemudian dituangkan
di mulut para pasukan yang kehausan. Lalu, mereka kembali mengisi tempat air
itu hingga penuh, dan kembali menuangkan pada mulut pasukan yang kehausan.
Tatkala Umar
sudah merasa ajal mendekatinya, dia berkata pada anaknya, Abdullah: Pergilah
kau ke ‘Aisyah dan sampaikan salam dariku, serta jangan lupa minta izin padanya
agar diriku dapat dikuburkan di dalam rumahnya bersama Rasulullah dan Abu
Bakar. Kemudian Abdullah datang padanya, dan memberitahu pesan Umar tadi.
Kemudian ‘Aisyah berkata: ya baiklah dan sungguh mulia. Kemudian dia berkata:
Wahai anakku, sampaikan salamku pada Umar, dan katakan padanya agar jangan
meninggalkan umat muhammad ini tanpa pemimpin yang menggantikan dirinya dan
jangan biarkan mereka terombang-ambing sepeninggalmu, aku khawatir akan terjadi
fitnah. Kemudian Abdullah datang pada Umar dan memberitahukan pesan
‘Aisyah padanya.
Kemudian Umar
berkata: Dan siapakah yang dapat kuberikan kepercayaan untuk menjadi khalifah?
Bila aku memberikan pada Abu Ubaidah bin Jarrah yang masih tersisa hidup, lalu
aku memintanya untuk menjadi khalifah dan memberinya kepercayaan, lalu ketika
aku datang di hadapan Tuhan, Dia akan bertanya: Siapakah orang yang kau percaya
untuk memimpin umat Muhammad? Aku berkata: Wahai Tuhan aku mendengar hamba-Mu dan
Nabi-Mu berkata: Bagi setiap umat ada seorang yang dapat dipercaya dan orang
yang dipercaya oleh umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.
Jika aku
mempercayakan pada Mu’adz bin Jabal untuk menggantikan diriku, kemudian bila
diriku berada di hadapan Tuhan yang bertanya padaku: Siapakah yang kau percayai
untuk memimpin umat Muhammad? Aku berkata: Wahai Tuhan, aku mendengar hamba-Mu
dan Nabi-Mu berkata: Sesungguhnya Mu’adz bin Jabal akan datang di hadapan para
ulama pada hari Kiamat. Kalau aku memilih Khalid bin Walid untuk menggantikan
diriku. Lalu ketika aku menghadap Tuhan dan ditanya, Siapakah orang yang kau
percayai untuk memimpin Umat Muhammad? Aku berkata: Wahai Tuhan, aku mendengar
hamba-Mu sekaligus Nabi-Mu berkata: Khalid bin Walid adalah pedang Allah yang
menebas kaum musyrikin.
Tapi, aku akan
memilih beberapa orang yang diridhoi Rasulullah saw untuk menggantikan diriku
diantara mereka, Ali Bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Talhah bin Abdullah,
Zubair bin ‘Awwam, Sa’ad bin Abu Waqash, Abdurrahman bin ‘Auf.
‘Aisyah juga
dikenal sebagai orang yang menjadi imam sholat bagi para wanita. ‘Aisyah ummul
mukminin wafat pada 17 Ramadhan tahun 57 H. (dikatakan 58 H.) di Madinah
Munawarah. Pada saat itu dia berumur 66 tahun. Dia menginginkan agar dikuburkan
pada malam harinya, dan orang-orang Anshar berkumpul, mereka hadir dan tiada
satu malam yang pernah mereka saksikan sebelumnya dengan lautan manusia yang
mengiringi jenazah ‘Aisyah pada malam itu. Dia dikuburkan di Baqi’ dan
disholatkan oleh Abu Hurairah yang menjadi imam sholat. Ada lima orang yang
turun ke dalam liang kuburnya, Abdullah dan Urwah (keduanya anak Zubair), Qasim
dan Abdullah (keduanya anak Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq), dan Abdullah bin
Abdurrahman bin Abu Bakar as-Siddiq.
4. Shofiah binti Hay bin Akhthab
(Ummul Mukminin)
Dia seorang
yang utama, cerdas dan amat lembut yang mempunyai kecantikan luar biasa,
dimuliakan dan mempunyai derajat nasab yang tinggi. Bahkan, garis keturunannya
sampai pada Nabi Harun a.s. Sebelumnya dia menikah dengan Salam bin Musykam
al-Qarzhi kemudian dipisah. Lalu, dia menikah dengan Kinanah bin Rabi’ bin Abu
al-Haqiq al-Nadlri, kemudian suaminya itu terbunuh pada peristiwa Khaibar.
Ketika
Rasulullah mendapatkan kemenangan dan masuk ke dalam Qamus, Hushni bin Abu
al-Haqiq mendatangi Rasulullah saw dengan membawa Sofiah binti Hay. Selain itu,
ada orang yang menemaninya. Kemudian Bilal melintas di hadapan kedua orang itu.
Bilal merupakan orang yang pernah dilihat keduanya atas kejadian orang Yahudi
yang terbunuh. Ketika orang yang bersama Shofiah melihat rombongan Bilal
tiba-tiba ia terpekik, mukanya pucat dan kepalanya bergetar. Ketika Rasulullah
melihatnya, beliau berkata:
“Jauhkanlah
perempuan syetan ini dariku” Dan beliau memerintahkan pada Shofiah untuk
melangkah di belakang Rasulullah. Kemudian beliau melemparkan selendangnya pada
Shofiah. Kaum muslim mengerti bahwa itu pertanda bahwa Rasulullah saw telah
memilih Shofiah untuk dirinya.
Dalam sebuah
riwayat yang lain disebutkan bahwa Rasulullah saw ketika mengumpulkan tawanan
perang Khaibar, Dahyah datang pada Rasul, kemudian berkata: berilah padaku
seorang budak perempuan dari para tawanan. Kemudian beliau berkata: pergilah
dan ambillah seorang budak perempuan. Kemudian dia mengambil Shofiah binti Hay.
Kemudian dikatakan: Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya dia seorang sayyidah
(wanita terhormat) dari bani Quraizhah dan Bani Nadhir yang cocok buatmu.
Kemudian Rasulullah saw berkata padanya: ambillah seorang budak perempuan
selain dirinya.
Ketika Shofiah
mengunjungi Rasulullah saw, beliau berkata padanya: Ayahmu masih saja seorang
Yahudi yang keras kepala dan sangat memusuhi diriku, sehingga Allah mencabut
nyawanya. Kemudian dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman
dalam kitabnya: (dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.)
Kemudian Rasulullah saw berkata padanya: Pilihlah menurut kemauan dirimu, bila
kau memilih Islam, aku akan menjamin dirimu dengan diriku, apabila kau memilih
menjadi seorang Yahudi, semoga aku melepaskan dirimu dan mengembalikanmu
bergabung dengan kaummu. Kemudian Shofiah berkata: Wahai Rasulullah, aku telah
mencintai Islam, dan aku percaya padamu sebelum kau menyerukan hal tersebut
padaku, aku telah menjadi orang yang bergabung dengan dirimu. Aku tidak punya siapa-siapa
lagi di kaum Yahudi, aku tidak mempunyai ayah ataupun saudara. Sedangkan anda
memberikan pilihan antara kafir dan Islam. Tentu saja Allah dan Rasul-Nya lebih
aku cintai dari pada dilepaskan dalam keadaan kafir. Maka Rasulullah
memperistri Shofiah.
Ketika
Rasulullah saw datang dari pertempuran Khaibar dan turut serta membawa Shofiah
bersama beliau. Shofiah dititipkan di salah satu rumah Haritsah bin Nu’man.
Kemudian beberapa wanita kalangan Anshar mendengar berita tersebut, mereka
mendengar tentang kecantikan Shofiah, sehingga banyak orang yang datang pada
dirinya. ‘Aisyah ummul mukminin juga datang mengunjunginya dengan
mengenakan cadar. ‘Aisyah masuk ke dalam dan berkenalan dengannya, ketika
‘Aisyah keluar, Rasulullah saw juga keluar dan berkata pada ‘Aisyah: bagaimana
menurutmu wahai ‘Aisyah? Kemudian dia berkata: Aku melihat seorang perempuan
Yahudi. Rasulullah saw berkata: Janganlah kau mengatakan hal semacam itu wahai
‘Aisyah, sesungguhnya dia telah masuk Islam dan baik pula keadaan Islamnya.
Suatu ketika
Shofiah terisak menangis karena mendengar perkataan Hafshah ummul mukminin
yang berkomentar tentang dirinya: dia seorang peranakan Yahudi. Ketika
Rasulullah saw mengunjungi Shofiah dan melihatnya terisak menangis, beliau
bertanya: mengapa engkau menangis? Dia berkata: Hafshah binti Umar berkata
padaku bahwa aku adalah peranakan Yahudi. Kemudian Nabi saw berkata:
sesungguhnya kau adalah keturunan Nabi, dan pamanmu juga berasal dari keturunan
Nabi, sungguh dirimu berada di garis keturunan nabi, lalu apa yang kau
bangga-banggakan? Kemudian Nabi berkata: bertakwalah pada Allah wahai Hafshah.
Pada saat Nabi
saw menderita sakit, para istrinya berkumpul di tempat ‘Aisyah, rumah dimana
Nabi meninggal dunia, kemudian Shofiah berkata: Demi Allah, Wahai Nabi Allah,
sungguh aku senang sekali menemani dirimu dan selalu mendampingimu. Kemudian
terdengar istri-istri Nabi mengejeknya. Dan Nabi sa memberikan pada mereka
penjelasan, lalu bersabda : Kalian ini bergumam. Mereka berkata: karena apa
wahai Nabi? Nabi berkata: karena ejekan kalian terhadap sahabat kalian tadi,
demi Allah, dia benar-benar tulus dan jujur.
Sejumlah orang
berkumpul di dalam kamar Shofiah, kemudian mereka melakukan dzikir kepada Allah
dan membaca Al-Quran dan bersujud, kemudian dia memanggil mereka dan datang
seorang budak perempuan Umar bin Khattab pada Shofiah, kemudian berkata:
Sesungguhnya Shofiah menyukai hari Sabtu dan masih menyambung tali silaturrahmi
dengan Yahudi. Kemudian Umar mengutus budak perempuan itu untuk menanyakannya tentang
hal itu? Kemudian Shofiah menjawab: adapun hari Sabtu sungguh aku tidak
menyukainya sejak Allah telah menggantikan buat diriku hari Jum’at sedangkan
mengenai Yahudi sesungguhnya aku sempat berada di tengah-tengah mereka dengan
penuh kasih sayang, maka aku menyambung tali silaturrahmi dengan mereka.
Kemudian dia berkata pada budak perempuan tadi, apa yang membuat kamu melakukan
hal itu? Dia berkata: Syetan. Lalu Shofiah berkata: pergilah, kau telah bebas.
Shofiah juga
pernah mendatangi Utsman bin Affan ketika beliau diblokade di dalam rumahnya
dengan menaiki Bighal (peranakan kuda dan keledai), untuk mendukung
pemerintahannya. Kemudian ada seorang al-Asytar menemuinya kemudian memukul
wajah Bighal yang ditumpanginya. Lalu, Sofiah berkata: lawanlah aku, jangan
membuat aku malu. Tapi, kemudian dia ditempatkan secara baik-baik di antara
rumahnya dan rumah Utsman, dia juga membawa makanan dan minuman buat Utsman.
Shofiah
meriwayatkan sekitar sepuluh hadits dari Rasulullah saw, dan beberapa orang
meriwayatkan darinya diantara mereka, keponakannya, tuannya Kinanah, Yazid bin
Mu’tab, Ishaq bin Abdullah bin Harits, dan Muslim bin Shofwan. Dia meninggal
dunia pada zaman kekhalifahan Mu’awiyah tahun 50, atau diriyawat lain di tahun
52, dan ada pula yang meriwayatkan dia meninggal pada tahun 36.
5. Saudah Binti Zam’ah bin Qais bin
Abdu Syams (Ummul Mukminin)
Dia juga
termasuk salah seorang wanita utama pada zamannya. Sebelum menikah dengan
Rasulullah saw oleh sepupunya yang dikenal dengan: Sakran bin’Amr. Ketika masuk
Islam dan membai’at Nabi saw, suaminya juga turut serta masuk Islam bersamanya,
dan berhijrah bersama-sama menuju bumi Habsyi.
Ketika sang
suami meninggal, Khaulah binti Hakim datang pada Rasulullah saw, kemudian
berkata: Wahai Rasulullah, maukah kau menikah? Kemudian beliau berkata: Dengan
siapa? Dia berkata: dengan Saudah binti Zam’ah, karena dia telah beriman padamu
dan mengikutimu. Kemudian Rasulullah saw berkata: baiklah, pinanglah dirinya
buatku. Kemudian dia segera beranjak menuju Saudah dan ayahnya yang sudah tua,
dan sedang duduk-duduk santai, kemudian Khaulah memberinya salam dalam tradisi
Jahiliyah, lalu si ayah berkata padanya: apakah kau datang melamar pagi-pagi,
siapakah dirimu? Kemudian dia berkata: saya Khaulah binti Hakim. Lalu ayah
Saudah menyambutnya. Kemudian Khaulah berkata padanya: Sesungguhnya Muhammad
bin Abdullah bin Abdul Muthallib meminang anak perempuan Zam’ah. Kemudian
dijasawb: Muhammad adalah seorang yang mulia. Lalu apa yang dikatakan oleh
sahabatmu? Dia berkata: dia menyukai hal itu. Kemudian ayah Saudah berkata
padanya: Sampaikan padanya (Muhammad) agar datang ke sini. Kemudian Rasulullah
saw datang padanya dan menikahi Saudah.
Dari Ibnu
Abbas diceritakan bahwa Nabi saw meminang Saudah yang sudah mempunyai lima anak
atau enam anak yang masih kecil-kecil. Kemudian Saudah berkata: demi Allah,
tidak ada hal yang dapat menghalangi diriku untuk menerima dirimu, sedang kau
adalah sebaik-baik orang yang paling aku cintai. Tapi, aku sangat memuliakanmu
agar dapat menempatkan mereka, anak-anakku yang masih kecil, berada di
sampingmu pagi dan malam. Kemudian Rasulullah saw berkata padanya: Semoga Allah
menyayangi kau, sesungguhnya sebaik-baik wanita adalah mereka yang menunggangi
di atas pantat Unta, sebaik-baik wanita Quraisy adalah bersikap lembut terhadap
anak di waktu kecilnya dan merawatnya untuk pasangannya dengan tangannya
sendiri.
Pernikahan
Nabi saw dengan Saudah dilaksanakan pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh dari
kenabian dan setelah kematian Khadijah di Makkah. Dikatakan dalam riwayat lain
tahun ke delapan Hijrah dengan mahar sekitar 400 dirham. Dan mengajaknya
berhijrah ke Madinah.
Setelah Saudah
semakin tua dan dia mengetahui kedudukan ‘Aisyah di mata Rasulullah saw, dia
berkata: wahai Rasulullah, aku memberikan jatah satu hari untukku pada ‘Aisyah,
agar engaku dapat bersamanya dalam satu hari itu. Sebelumnya, Nabi saw pernah
berjanji pada ‘Aisyah untuk memberinya jatah dua hari dan sehari bagi Saudah.
Dia tetap berada dalam lindungan Nabi saw hingga akhirnya ditinggal wafat oleh
Nabi saw.
Ketika bersama
Saudah, Nabi menerima ayat tentang hijab dan hal itu dikarenakan istri-istri
Nabi saw mereka keluar pada malam hari menuju ke datarang tinggi di bukit-bukit.
Kemudian Umar bin Khattab berkata pada Nabi saw, wahai nabi, berilah perintah
agar istri-istrimu berhijab. Namun, tidak jua Nabi melakukan apa yang
disarankan Umar. Kemudian ketiksa Saudah keluar pada malam hari untuk
menunaikan makan malam, dan dia adalah seorang wanita yang cukup tinggi,
kemudian Umar memanggilnya dan berkata, wahai Saudah sekarang kami tahu itu
engkau untuk memberi motivasi agar memanjangkan hijab yang kau kenakan.
Kemudian Allah menurunkan ayat hijab.
Saudah dikenal
sebagai orang yang suka bersedekah. Umar bin Khattab pernah mengirim sekantung
penuh dengan dirham padanya. Kemudian Saudah bertanya: Apa ini? Mereka berkata:
Dirham yang banyak. Lalu dia berkata: dalam kantung seperti setandang kurma,
wahai jariyah, yakinkan diriku, kemudian dia membagi-bagikan dirham tadi.
Saudah juga
memiliki akhlak yang terpuji. ‘Aisyah ummul mukminin pernah berkata: Tiada
seorang pun yang lebih aku kagumi tentang perilakunya selain Saudah binti
Zam’ah yang sungguh hebat.
Saudah meriwayatkan sekitar lima hadits dari Rasulullah saw. Dan beberapa sahabat turut meriwayatkan darinya,
seperti, Abdullah bin Abbas, Yahya bin Abdullah bin Abdurrahman bin Sa’ad bin
Zarah al-Anshari. Dan Abu Daud dan Nasa’i juga menggunakan periwayatan darinya.
Saudah wafat di Madinah pada bulan Syawal tahun 54, pada masa kekhalifahan
Mu’awiyah. Ketika mendengar Saudah meninggal dunia Ibnu Abbas bersujud.
Kemudian berkata: Rasulullah saw berkata: bila kau melihat suatu ayat, maka
bersujudlah kalian, dan ayat yang paling agung dari pada emas adalah para istri
Nabi saw.
6. Zainab binti Jahsy bin Rabab
al-Asadiyah (Ummul Mukminin)
Dia telah
masuk Islam sejak dulu dan ikut hijrah bersama Rasulullah saw ke Madinah,
kemudian Rasulullah saw meminangnya untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah.
Kemudian Zainab berkata: Wahai Rasulullah, saya masih belum yakin dirinya untuk
diriku, sedangkan diriku adalah seorang janda Quraisy. Beliau berkata: Sungguh
aku telah meridhoinya untuk dirimu. Kemudian Zaid bin Haritsah menikahinya.
Kemudian
Rasulullah saw datang mengunjungi rumah Zaid. Tapi, Rasulullah saw tidak
menemukan Zaid di rumahnya. Kemudian Zainab istri Zaid datang menyambut
Rasulullah saw untuk menghormatinya. Tapi, Rasulullah menolak untuk masuk ke
dalam rumah. Lalu Zainab berkata: Dia sedang tidak ada di sini wahai rasul,
masuklah sejenak. Tapi, Rasulullah saw menolak tawaran Zainab untuk masuk ke
dalam rumah. Ketika Zaid tiba di rumahnya, istrinya memberi tahu tentang
kedatangan Rasulullah ke rumah mereka. Kemudian Zaid berkataL tidakkah kau
mempersilahkan Rasulullah saw untuk masuk ke dalam? Dia berkata: Aku sudah
menawarkan padanya untuk masuk, tetapi beliau tetap menolak.
Kemudian Zaid
mendatangi Rasulullah saw, kemudian berkata: Wahai Rasulullah, sampaikanlah
padaku bahwa engkau tadi datang mengunjungi rumahku, lalu mengapa engkau tidak
masuk sejenak ke dalam rumah? Kemudian Zaid tidak menemukan jalan lain setelah
hari itu. Kemudian Rasulullah saw datang dan memberinya kabar, lalu Rasulullah
saw berkata: Jagalah istrimu. Tapi, kemudian Zaid mencerai istrinya dan
memisahkannya, hingga masa ‘iddahnya berakhir.
Rasulullah saw
masih saja dalam keadaannya seperti ini, hingga Allah menurunkan ayat, (Dan
(ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat
kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya: "Tahanlah terus
isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di
dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada
manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala
Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah
itu pasti terjadi.)
Dan setelah
masa ‘iddah Zainab berakhir, Rasulullah saw berkata pada Zaid: pergilah dan
pinanglah dia untuk diriku. Kemudian Zaid beranjak pergi hingga datang padanya,
ketika melihatnya, bergetar hatinya hingga tidak mampu menatapnya.
Kemudian Zaid
berkata: Rasulullah saw mengirimku untuk meminang dirimu. Kemudian Zainab
berkata: Aku tidak melakukan apa-apa hingga Tuhanku memerintahkan sesuatu. Kemudian
dia berdiri menuju ke masjidnya. Dan sungguh Al-Quran telah diturunkan untuk
menikahi dirinya, kemudian Rasulullah saw datang mengunjunginya tanpa meminta
izin terlebih dahulu padanya setelah memberinya sedekah sebesar 400 dirham.
Dulu Zainab
berkata: Demi Allah, sungguh aku bukan seperti para istri Rasulullah saw.
Sesungguhnya mereka istri yang diberi mahar dan para suami mereka dulunya
adalah para kekasih, dan Allah menikahkan diriku dengan rasul-Nya, dan hal itu
termaktub dalam al-Quran yang akan dibaca oleh setiap Muslim yang tidak dapat
diganti dan tidak pula dapat dirubah.
Dia
meriwayatkan sekitar 11 hadits dari Rasulullah saw. Beberapa orang juga
meriwayatkan darinya, diantara mereka adalah Ummu Habibah binti Abu Sufyan,
keponakannya, Muhammad bin Jahsy, Zainab binti Abu Salamah, Kultsum bin
Mushtalaq dan beberapa temannya yang telah disebutkan sebelumnya.
Zainab juga
seorang yang pandai menggunakan keahlian tangan, dia menyamak kulit dan
menjualnya apa yang telah dibuatnya, kemudian memberi sedekah pada fakir
miskin. Dari ‘Aisyah dia berkata: Rasulullah saw berkata, kalian yang paling
cepat bergabung denganku adalah yang paling panjang tangannya. ‘Aisyah
bertanya: Maka jadilah kalian wanita yang bisa memanjangkan tangannya (bisa
bekerja). Dia berkata: Zainab adalah orang yang paling panjang tangannya,
karena itu dia bekerja dengan tangannya dan kemudian dia memberi sedekah dari
hasil pekerjaannya itu.
Dalil yang
paling kuat dapat ditunjukkan tentang kebiasaan Zainab memberikan sebagian
hartanya pada fakir miskin dan sikap zuhudnya adalah apa yang dikatakan oleh
Barzah binti Rafi’, dia berkata: Ketika
jatah pembagian harta keluar, Umar mengirimkannya pada Zainab binti Jahsy
bagian harta yang menjadi miliknya. Ketika dia mengunjunginya, Zainab berkata:
Semoga Allah mengampuni Umar bin Khattab. Sebenarnya saudara-saudaraku (sesama
istri Nabi saw) lebih berhak mendapatkan bagian harta ini dari pada diriku.
Mereka
berkata: Tapi, semua ini untukmu wahai Zainab. Dia berkata: Subhanallah,
kemudian Zainab mengambil secarik kain dan mengantongi sebagian harta tersebut.
lalu berkata: berikanlah padanya sekantung dirham ini. Kemudian Zainab berkata
padaku: ulurkan dan masukkan tanganmu dalam kantong ini, lalu ambillah
segenggam dari dalamnya, dan pergilah kau menuju Bani Fulan dan Bani Fulan,
yang masih mempunyai kerabat dengannya dan beberapa anak yatim, bagilah harta
tersebut kepada mereka. Hingga masih ada beberapa bagian harta yang masih
tersisa di bawah kantung lainnya, setelah dibagi-bagikan pada orang lain.
Kemudian Barzah berkata padanya: Semoga Allah mengampuni anda wahai Ummul
mukminin. Demi Allah, kami juga merasa berhak dengan harta tersebut. Zainab
berkata: Ya, bagian kalian yang ada di bawah kantung. Kemudian kami mendapatkan
di bawahnya 580 dirham. Kemudian dia mengangkat tangannya ke langit, kemudian
berkata: Ya Allah, jatah pembagian harta dari Umar tidak akan lagi menemui
diriku pada tahun ini.
Zainab
meninggal dunia pada zaman pemerintahan Umar. Dia pada saat itu berumur 53
tahun. Jasadnya dibawa dalam keranda mayat, dan pada saat itulah dirinya
menjadi orang pertama kali yang dibawa dalam keranda mayat. Ketika Umar melihat
keranda mayat itu, dia berkata: Benar, ini adalah tenda bagi istri Nabi.
Setelah kematiannya, dia tidak meninggalkan dinar ataupun dirham. Dia hanya
meninggalkan sebuah rumah yang kemudian dijual pada Walid bin Abdul Malik
ketika Masjid hendak direnovasi dan dihancurkan, dengan harga 50.000 dirham.
Setelah
mendengar berita kematian Zainab, ‘Aisyah Ummul mukminin menangis dan berdoa
agar Allah memberi kasih sayang padanya, seraya berkata: Zainab adalah orang
yang mempunyai derajat tinggi di atas diriku diantara para istri Nabi saw
lainnya di mata Rasulullah saw. Dan aku tidak melihat seorang perempuan pun
yang baik darinya dalam perilaku agamanya, lebih suci, dan lebih takwa pada
Allah, paling jujur dalam tutur kata, paling rajin menyambung tali
silaturrahmi, paling banyak bersedekah, dan paling keras berusaha, dan paling
giat mendekatkan diri pada Allah.
7. Ramlah binti Abu Sufyan (Ummul
Mukminin)
Dia seorang
wanita mulia yang ikut berhijrah bersama suaminya Ubaidillah bin Jahsy menuju
Habsyah pada Hijrah kedua. Kemudian suaminya masuk Nasrani di sana dan mennggal
dalam keadaan Nasrani. Ummu Habibah menegaskan tentang keislaman Ramlah,
kemudian Rasulullah saw menikahinya pada tahun keenam (dikatakan pula tahun
ketujuh) saat itu dia berumur 30 tahunan lebih sedikit. Ketika Abu Sufyan
mendengar tentang pernikahan anaknya Ummu Habibah dengan Rasulullah saw, dia
berkata: Muhammad adalah seorang yang mulia.
Dia adalah
seorang yang kuat dalam keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya saw. Dia juga
pernah berkata pada ayahnya Abu Sufyan dengan sesuatu yang tidak disukainya
ketika dia berkunjung pada Rasulullah saw di Madinah tahun kedelapan Hijriyah,
dan dia ingin duduk di atas kasur Rasulullah saw, tapi, Ramlah menghalanginya.
Kemudian Abu Sufyan berkata: Wahai anakku, sungguh aku tidak mengerti apakah
kau suka atau tidak suka aku duduk di atas kasur ini? Dia berkata: Itu adalah
kasur miliki Rasulullah, sedangkan kau adalah seorang Musyrik yang najis, tentu
saja aku tidak suka kau duduk di atas kasur Nabi saw. Kemudian Abu Sufyan
berkata: Sungguh, kau benar wahai anakku. Setelah itu dia keluar.
Dia
meriwayatkan sekitar 65 hadits dari Rasulullah saw dan dari Zainab binti Jahsy.
Beberapa orang juga meriwayatkan darinya seperti, Urwah bin Zubair, Zainab
binti Abu Salamah, Shofiah binti Syaibah, Syahar bin Hausyab, dan anak
perempuannya Habibah binti Ubaidillah bin Jahsy, dan saudara lelakinya
Mu’awiyah dan ‘Atabah, keponakannya Abdullah bin ‘Atabah, keponakannya Abu
Sufyan bin Sa’id bin Mughirah al-Tsaqafi, Abu Sholeh as-Saman dan selain
mereka.
Ketika maut
menjemputnya, ‘Aisyah istri Nabi saw berkata: Terkadang diantara kita sebagai
istri-istri Nabi ada suatu khilaf, semoga Allah mengampuniku dan mengampunimu
dari perbuatan atau sikap itu. Kemudian ‘Aisyah berkata: Semoga Allah
mengampunimu terhadap apa yang telah kau lakukan. Kemudian Ummu Habibah berkata
padanya: Engkau telah membahagiakan diriku, semoga Allah juga membahagiakan
dirimu. Kemudian ketika jenazahnya sampai di Ummu Salamah, dia berkata padanya
seperti apa yang telah diucapkan Ummu Habibah. Dia meninggal di Madinah pada
tahun 44 H.
8. Maimunah Binti Harits al-Hilaliyah
(Ummul Mukminin)
Perempuan
mulia ini termasuk salah seorang yang utama pada masanya. Pada zaman Jahiliyah
dia telah menikah dengan Mas’ud bin ‘Amru bin ‘Amir al-Tsaqafi. Kemudian dia
dicerai suaminya, lalu diganti oleh Abu Ruhm bin Abdul ‘Uza bin Abu Qais
sebagai suami keduanya. Tapi, tidak lama kemudian dia meninggal dunia,
meninggalkan istrinya. Kemudian Rasulullah saw menikahinya. Abbas bin Abdul
Muthallib meminangnya untuk Rasul, karena Abbas adalah orang yang dipercaya untuk
mengurus Maimunah. Dia adalah perempuan terakhir yang dinikahi Nabi saw. Dan
itu dilakukan pada tahun ke tujuh Hijriyah dengan mahar lima ratus dirham.
Ibnu Syihab
berkata: Dia adalah perempuan yang telah menawarkan dirinya untuk dipinang Nabi
saw. dan seperti itulah yang diriwayatkan pula oleh Qatadah. Mengenai dirinya
juga turun ayat (perempuan mu'min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi)
Kmeudian Ibnu Abdu Bar berkata, dan itulah perkataan dari Ibnu Syihab
as-Showab.
Maimunah
meriwayatkan sekitar 76 hadits dari Nabi saw. Beberapa hadits yang
diriwayatkannya telah ditakhrij dalam kitab hadits Bukhari-Muslim (as-Shahihain)
sekitar 13 hadits; 7 hadits sama-sama disepakati oleh kedua imam (muttafaq
‘alaih), satu hadits lainnya ditulis oleh Bukhari, dan 5 hadits lainnya
ditulis oleh Muslim.
Beberapa orang
juga meriwayatkan hadits darinya, seperti, anak saudara perempuannya
(keponakan) Abdullah bin ‘Abbas, anak saudara lelakinya (keponakan) yang lain
Yazid bin Syadad bin al-Hadi, dan anak saudara perempuannya (keponakan)
Abdurrahman bin as-Saib al-Hilali, anak saudara perempuannya yang lain Yazid
bin al-Asham, dan anak asuhannya Ubaidillah al-Khulani, budak perempuannya yang
telah dimerdekakan (maulah) Nadbah, budaknya yang telah dimerdekakan
‘Atha bin Yasar, budaknya yang lain yang telah dimerdekakan Sulaiman bin Yasar,
selain itu Ibrahim bin Abdullah bin Ma’bad bin ‘Abbas. Dia meninggal pada saat
berumur 81 tahun.
9.
Hindun Binti Abu Umayyah (Ummu
Salamah, Ummul Mukminin)
Dia
adalah seorang perempuan muhajir yang ikut dalam rombongan hijrah ke Habsyi dan
Madinah. Dikenal sebagai wanita yang menonjol dengan kemampuan akal,
kesempurnaan, kecantikan dan mempunyai ide-ide yang bagus. Selain itu, dia juga
dikenal sebagai wanita (istri) pertama yang datang ke kota Madinah dalam
rombongan hijrah itu dan suaminya Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad kemudian
berhijrah dengannya menuju Habsyi dalam kedua hijrah itu semua.
Ummu
Salamah berkata pada Abu Salamah: sampaikanlah padaku bahwa dia bukanlah
seorang perempuan yang mati ditinggal suaminya, dan dia adalah seorang calon
penghuni surga. Kemudian dia tidak menikah setelahnya, hingga Allah
mengumpulkan mereka berdua di dalam surga. Demikian pula jika si perempuan
meninggal, dan si lelaki tinggal sendirian setelahnya, maka marilah aku
berjanji padamu,kau tidak menikah setelah diriku dan aku tidak menikah setelah
kepergianmu. Namun, Abu Salamah berkata: Bila aku meninggal dunia, menikahlah
kau. Kemudian dia berkata: Wahai Allah berikanlah pada Ummu Salamah setelah
kepergianku seorang lelaki yang lebih baik dariku yang tidak pernah membuat
dirinya bersedih dan tidak pernah menyakitinya.
Dan
tatkalah suaminya Abu Salamah meninggal dan masa ‘iddahnya telah berakhir, Abu
Bakar mengirim seseorang untuk meminang dirinya, namun dia tidak berkenan
menikah dengan Abu Bakar. Kemudian Rasulullah saw mengirimkan Umar bin Khattab
untuk meminangnya agar menikah dengan Rasul. Kemudian Hindun berkata: Selamat
datang bagi Rasulullah dan utusannya berkunjung padaku. Tolong sampaikan pada Rasulullah,
bahwa diriku ini adalah wanita pencemburu, aku sedang ditimpa musibah, dan
tidak ada seorang wali untuk diriku yang dapat menjadi saksi.
Kemudian
Rasulullah saw mengirim utusan padanya untuk menyampaikan jawaban Rasul: adapun
perkataanmu bahwa aku sedang tertimpa musibah, maka sesungguhnya Allah akan
mencukupkan dirimu dengan anak-anakmu, sdang perkataanmu bahwa aku adalah
seorang pencemburu, maka aku akan berdoa pada Allah agar rasa cemburumu itu
bisa lenyap, sedangkan wali yang kau tanyakan, tidak seorang pun diantara
mereka yang ada kecuali mereka akan meridhoi diriku.
Lalu
Ummu Salamah berkata pada anaknya Umar bin Abu Salamah, Berdirilah. Kemudian
Rasulullah saw menikahi Ummu Salamah dan memberinya kasur empuk yang terbuat
dari serabut, sejumlah uang, mangkuk dan alat penggiling.
Ketika
Rasulullah datang mengunjunginya, beliau berkata padanya, kau tidak perlu malu
pada keluargamu. Bila kau mau aku berikan bagian sepertujuh bagimu dan
sepertujuh bagi mereka (istri-istriku), dan bila kau mau, aku berikan sepertiga
padamu dan terus bergantian kuputar. Kemudian Ummu Salamah berkata, baiklah
sepertiga saja.
Pada
saat itu tahun kedua Hijriyah setelah terjadinya pernag Badar, di bulan Syawal.
Ketika Rasulullah saw menikahi Ummu Salamah , ‘Aisyah merasa sedih karena
banyak orang yang menyebutkan kecantikannya. Ketika ‘Aisyah melihat sendiri,
dia berkata: Demi Allah (sungguh), dia lebih dari yang diceritakan padaku
(kubayangkan) dalam hal kebaikan dan kecantikannya.
Bila
Rasulullah saw telah selesai menunaikan Sholat ‘Ashar mengunjungi
istri-istrinya satu persatu dimulai dengan Ummu Salamah karena dialah yang
tertua diantara mereka, dan diakhiri dengan ‘Aisyah.
Ummu
Salamah juga mempunyai ide yang cemerlang yang pernah dia sampaikan pada
Rasulullah saw pada perjanjian Hudaibiyah. Ketika Nabi saw mengajak penduduk
Makkah untuk berdamai, dan menuangkannya dalam butir-butir perdamaian tertulis
antara dirinya dan mereka. Setelah masalah tersebut telah selesai, beliau
berkata para sahabatnya: berdirilah kalian, lakukan penyembelihan dan
potonglah. Namun tidak seorang pun yang berdiri, padahal Rasul telah
mengulangnya hingga tiga kali. Kemudian Rasulullah saw beranjak masuk menemui
Ummu Salamah, kemudian menyebutkan kejadian yang baru saja dialaminya. Kemudian
Ummu Salamah berkata padanya: Wahai Nabi, keluarlah kau, dan jangan katakan
apapun pada mereka seorang pun, hingga kau lakukan sendiri menyembelih kambing
kepunyaanmu, dan menyuruh seseorang untuk memotong rambutmu.
Kemudian
Rasulullah saw keluar, dan tidak seucap patah kata pun keluar dari mulut Rasul,
kemudian Rasul langsung menyembelih kambingnya, dan meminta seseorang untuk
memotong rambutnya. Ketika mereka melihat apa yang dilakukan Rasul, serentak
mereka berdiri dan melakukan penyembelihan, saling memotong rambut hingga
hampir saja salah pemahaman di antara mereka dengan saling membunuh karena
masih belum mengerti.
Ketika
Ummu Salamah turut serta menyaksikan perang Khaibar, dan berkata pada beberapa
wanita: Semoga Allah juga mewajibkan pada kita (kaum wanita) berjihad
sebagaimana yang telah diwajibkan bagi para pria, sehingga kita juga mempunyai
kesempatan untuk mendapat pahala seperti yang mereka dapatkan. Kemudian
turunlah ayat (Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain).
Pernah
ada seorang pria dari Bani Tamim yang datang mengunjunginya, kemudian bertanya
padanya tentang Utsman bin Affan. Lalu dia menjawab: Banyak orang meragukannya
telah berbuat dhalim. Lalu mereka memintanya untuk bertaubat, kemudian dia
bertaubat dan kembali pada Allah, sehingga bila mereka menjadikannya seperti
pakaian putih yang sebelumnya telah berlumpur, mereka sengaja melakukan hal ini
padanya, bahkan kemudian mereka membunuhnya.
Dia
telah meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah saw, dari Abu Salamah, dan
Fatimah az-Zahra sekitar 387 hadits. Adapun hadits yang telah ditakhrij dan
tertulis dalam as-Shahihain berjumlah 29 hadits; ada sekitar 13 hadits yang
muttafaq ‘alaihi, ada 3 hadits lain diriwayatkan oleh Bukhari, dan 13 lainnya
diriwayatkan oleh Muslim.
Beberapa
orang juga ikut meriwayatkan hadits darinya, diantara mereka: kedua anaknya
Umar dan Zainab, keduanya anak Abu Salamah bin Abdul Asad, juru tulisnya
Nabhan, saudaranya ‘Amir bin Abu Umayyah, anak saudara lelakinya Mus’ab bin
‘Abdullah bin Abu Umayyah, dan beberapa budaknya yang telah dimerdekakan,
Abdullah bin Rafi’, Nafi’, Safinah, Abu Katsir, Ibnu Safinah, Khairah Ummul
Hasan al-Basri, Sulaiman bin Yasar, Usamah bin Zaid, Abu sa’id al-Khudri dan
lainnya.
Ummu
Salamah terbiasa membaca namun tidak menulis. Dia meninggal di Madinah pada
bulan Dzul Qa’dah tahun 59 H. Abu Hurairah juga ikut melakukan shalat
janazahnya di Baqi’. Pada saat meinggal dunia dia telah berumur 81 tahun. Ada
dalam sebuah riwayat lain yang mengatakan bahwa dia meninggal pada tahun 61 H.
10. Zainab Binti
Muhammad bin Abdullah Saw
Dia
dilahirkan pada saat Nabi berumur 30 tahun. Ketika dia beranjak dewasa dan
mencapai umur pernikahan, Halah binti Khuwailid meminta pada saudaranya,
Khadijah binti Khuwailid agar Zainab kawin dengan anaknya Abu al-’Ash bin
Rabi’, kemudian Rasulullah saw menikahkan al-’Ash dengan Zainab, pada saat itu
belum turun wahyu.
Ketika
wahyu telah turun kepada Rasulullah saw, Nabi mengajak al-‘Ash untuk memeluk
Islam, tapi, dia malah menolak dan memilih untuk menjadi seorang musyrik.
Namun, Zainab memilih masuk Islam dan memeluk agama Allah. Zainab tetap dalam
keislamannya sedang suaminya tetap dalam kekafiran, sehingga tiba masa Nabi
untuk berhijrah. Setelah beberapa saat, ketika rombongan Quraisy melalui Badr,
diantara mereka terdapat Abu ‘Ash bin Rabi’, kemudian mereka terlibat perang
dan akhirnya beberapa diantaranya termasuk Abu al-‘Ash menjadi tawanan perang
pada perang Badar. Pada saat itu dia berada di Madinah bersama Rasulullah saw.
Dan
ketika penduduk Makkah memberikan tebusan bagi para tawanan mereka, Zainab
binti Rasulullah memberikan tebusan untuk membebaskan suaminya Abu al-‘Ash bin
Rabi’ dengan sejumlah harta. Dia juga mengirimkan seuntai kalung miliknya yang
pernah dimiliki Khadijah, yang diberikan padanya saat menikah dengan Abu
al-’Ash. Ketika Rasulullah saw melihat kalung tersebut, beliau merasa amat
kasihan dan berkata: Hendaklah kalian bebaskan tawanannya dan kembalikan
padanya harta yang diserahkannya, maka kerjakanlah. Kemudian mereka berkata:
Baiklah, wahai Rasulullah. Kemudian mereka membebaskannya dan mengembalikan apa
yang dipunyai Zainab.
Lalu
Nabi berjanji untuk melepaskan tawanan yang diminta oleh Zainab. Ketika Abu
al-‘Ash dilepaskan dan tiba di Makkah, Nabi saw mengutus Zaid bin Haritsah dan
seorang dari kalangan Anshar untuk mewakilinya, kemudian beliau bersabda:
pergilah kalian hingga berada di daerah Ya’jaj (sebuah tempat di dekat Makkah)
hingga Zainab melewati kalian berdua, maka hendaklah kalian menemaninya hingga
kalian berdua datang padaku dengan membawanya. Kemudian mereka berdua berangkat
menuju tempat yang telah ditentukan, dan itu terjadi setelah sebulan
pertempuran Badar. Ketika Abu al-‘Ash tiba di Makkah, dia menyuruh Zainab
bertemu dengan ayahnya, kemudian dia berangkat.
Ketika
dia sedang bersiap-siap di Makkah untuk bertemu dengan ayahnya, Hindun binti
‘Atabah datang menemuinya, kemudian berkata: Anak perempuan Muhammad, benarkah
ada orang yang menyampaikan padaku bahwa kau ingin bertemu dengan ayahmu?
Zainab berkata: Bukan aku yang menginginkan demikian. Kemudian Hindun berkata:
Wahai anak pamanku, jangan begitu, bila kau membutuhkan sesuatu yang dapat
menemani kepergianmu dengan perbekalan dalam perjalananmu, atau harta untuk
ongkos perjalananmu menemui ayahmu, sungguh aku punya, dan janganlah kau malu,
karena kita ini sesama wanita, tidak seperti kaum lelaki.
Zainab
berkata: Sungguh, aku tidak melihatnya berkata begitu kecuali dia akan
benar-benar melaksanakannya. Zainab berkata: Tapi aku menyembunyika hal
tersebut darinya, maka aku mengelak membutuhkan hal itu, dengan mengatakan aku
telah siap. Setelah selesai bersiap-siap, mertuanya Kinanah bin Rabi’ menyuruh
saudara lelaki suaminya (iparnya) menyiapkan Unta, kemudian dia naik ke
atasnya, mengambil busur dan anak panahnya, kemudian berangkat di siang hari
menemaninya pergi bertemu dengan Rasulullah. Iparnya itu memandu Zainab di
depan, sedangkan dia mengikutinya dengan menunggang Unta di belakang.
Kabar
tentang kepergian Zainab menemui Muhammad, ayahnya, terdengar oleh beberapa
orang Quraisy sehingga mereka keluar untuk mengejarnya. Beberapa saat kemudian
mereka melihat Zainab di suatu lembah. Orang yang pertama kali menyusulnya
adalah Hubar bin al-Aswad bin Abdul Muthalib bin Asad bin Abdul ‘Uza dan Nafi’
bin Abdul Qais al-Fahri, kemudian Hubar menakut-nakutinya dengan tombak untuk
kembali mengikuti mereka ke Makkah. Zainab masih berada di atas Untanya, pada
saat itu dia sedang hamil. Ketika dia kembali ke Makkah, bayinya lahir di
Makkah, mertuanya memberikan ucapan selamat padanya, dan keluarga lainnya
bersenandung kesenangan. Kemudian dia berkata:
Sungguh,
tidak ada seorang pun yang mendekati diriku kecuali aku tancapkan anak panah
padanya. Mendengar hal tersebut orang-orang menjadi gentar. Dan Abu Sufyan
datang padanya di tengah-tengah kerumunan kaum Quraisy, kemudian berkata: Wahai
tuan, cukuplah ancaman pemanahmu pada kami sampai kami beritahu pada kalian.
Kemudian dia berhenti. Kemudian Abu Sufyan menerima hingga tergantung dengan
apa yang dilakukannya, kemudian dia berkata: Sesungguhnya anda kurang bijak
bila keluar bersama seorang perempuan di hadapan para pembesar kami secara
terang-terangan, dan seakan membelakangi kami. Perbuatan itu menurut kami telah
melecehkan dan merupakan musibah dan bencana kehormatan, yang secara tidak
langsung menunjukkan kelemahan kami dan penghinaan pada kami. Sebenarnya kami
tidak ada kepentingan untuk menahannya untuk bertemu dengan ayahnya, kami juga
tidak punya keuntungan dengan menahannya. Biarlah perempuan itu kembali.
Ketika
suara-suara tentang kepergian Zainab mereda di masyarakat Makkah, saudara
iparnya kembali berangkat bersamanya pada malam hari, dan bertemu dengan utusan
Muhammad, Zaid bin Haritsah dan temannya dari kalangan Anshar, kemudian
menyerahkan Zainab pada mereka berdua.
Kemudian
keduanya membawa Zainab ke hadapan Rasulullah saw di Madinah. Dia terpaksa
berpisah dengan suaminya karena ajaran Islam menghendaki hal itu. Hal itu terus
berlangsung, hingga beberapa saat sebelum terjadi pembukaan kota Makkah bagi
kaum Muslimin. Abu al-‘Ash berangkat ke luar kota Makkah untuk berdagang ke
negeri Syam. Dia dipercayai sebagai orang yang penuh amanah dengan harta yang
dititipkan padanya dari para pembesar Quraisy untuk diperdagangkan olehnya.
Ketika dia selesai berdagang, dia mendekati sebuah rombongan kafilah dan
kemudian bertemu dengan pasukan Rasulullah saw yang menyergap mereka dan
mengalahkan mereka, sehingga membuat kafilah tersebut lari tunggang langgang.
Ketika
pasukan tersebut tiba dengan harta yang mereka peroleh, Abu al-‘Ash mendekati
pemukiman kaum muslimin dan mengunjungi Zainab binti Rasulullah saw. pada malam
hari agar membantunya untuk mengembalikan harta yang telah dia perdagangkan
yang sebelumnya diambil oleh pasukan Muhammad sebagai harta rampasan perang.
Kemudian Zainab membantunya mengembalikan hartanya tadi.
Lalu,
ketika waktu subuh tiba Rasulullah saw keluar untuk melaksanakan sholat. Saat
takbiratul ihram mulai diucapkan dan para makmum sholat mengikutinya untuk
melakukan sholat berjama’ah, tiba-tiba Zainab berteriak di barisan perempuan,
Wahai manusia aku telah memberi Abu Al-‘Ash bin Rabi’ hadiah dengan
mengembalikan hartanya.
Setelah
Rasulullah saw mengakhiri sholatnya dengan salam, beliau menghadap para
jama’ahnya dan berkata: Wahai manusia, apakah kalian mendengar apa yang tadi
aku dengar? Mereka berkata: ya. Beliau bersabda: Sungguh demi Dzat yang
menggenggam jiwa Muhammad, aku belum pernah melakukan sesuatu hingga aku
mendengar apa yang telah kalian dengar bersama bahwa da orang yang memberikan
sesuatu yang semestinya dimiliki oleh kaum muslimin, yang lebih dekat dengan
mereka.
Setelah
mengatakan hal itu, Rasulullah saw beranjak pergi dan menemui anaknya, kemudian
berkata: wahai anakku, apa yang terjadi denganmu, cobalah hormati kediamanku,
kau tidak bisa berbuat seenaknya, sesungguhnya kau tidak boleh melakukan hal
itu sedangkan dirinya masih Musyrik.
Sedangkan
Abu ‘Ash kembali dan tiba di kota Makkah, kemudian menyelesaikan tugasnya
dengan membagi-bagikan harta yang telah dititipkan padanya untuk
diperdagangkan, kemudian dia masuk Islam, dan kembali ke Rasulullah untuk masuk
Islam. Akhirnya, dia benar-benar masuk Islam dan ikut dalam kaum Muhajirin pada
bulan Muharram tahun 7 H. Kemudian Rasulullah saw mengembalikan Zainab padanya
seperti pada pernikahan yang pertama. Namun ada pula riwayat dari Nabi saw yang
menyatakan bahwa dia dinikahkan lagi dengan Suaminya dari mula dan baru.
Suaminya
dikenal benar-benar mencintai Zainab, sehingga pada suatu ketika di sebagian
perjalanannya ke Syam dia menyenandungkan syair:
Selalu
kuingat Zainab saat kunaiki kemuliaan
Kemudian
aku berkata berilah minum
bagi
orang yang tinggal di tanah Haram
Pada
seorang anak perempuan al-Amin
Semoga
Allah memberikan padanya kesalehan
Dan
setiap pasangan akan selalu memujinya bila dia tahu
Zainab
akhirnya meninggal dunia pada tahun kedelapan Hijrah. Rasulullah saw amat
bersedih dengan kepergiannya.
11. Ruqayyah Binti
Muhammad bin Abdullah Saw
Dia
dilahirkan sekitar 20 tahun sebelum masa diperintahkan Hijrah. Dia adalah anak
perempuan tertua Rasulullah saw. Dia menikah dengan ‘Atabah anak dari Abu Lahab
bin Abdul Muthalib sebelum masa kenabian Muhammad saw. Ketika Muhammad diutus
oleh Allah menjadi Rasulullah dan Allah menurunkan ayat (Tabbat yada Abi
lahabi..), kemudian Abu Lahab berkata: Hubungan kita terputus jika kau
tidak menceraikan anak perempuannya Muhammad. Kemudian suaminya itu
menceraikannya, hal itu terjadi sesaat setelah pernikahan, dan belum lagi
disetubuhi.
Ruqayyah
masuk Islam bersamaan ketika Ibunya Khadijah juga memilih Islam, dan dia ikut
membai’at Nabi Saw. Setelah itu Utsman bin Affan menikahinya di Makkah, dan
ikut berhijrah bersama suaminya ke Habsyi dan ikut pula berhijrah ke Madinah
setelah suaminya Utsman ikut hijrah bersama Rasulullah saw. Hingga suatu ketika
Ruqayyah sakit demam berat yang disertai flu dan pilek, sedangkan Rasulullah
saw saat itu sedang bersiap menghadapi perang Badar, kemudian Rasulullah saw
menitipkannya pada Utsman bin ‘Affan. Akhirnya, Ruqayyah wafat, sedangkan
Rasulullah saw saat itu masih ada di medan pertempuran Badar pada Bulan
Ramadhan, sekitar awal 17 bulan pasca hijrahnya Rasulullah saw dari Makkah ke
Madinah.
Ketika
Ruqayyah wafat banyak wanita di Madinah menangis sedih. Kemudian Umar bin
Khattab mengambil cemetinya untuk menghentikan tangisan mereka. Namun,
Rasulullah saw mengambil cemeti Umar yang ada di tangannya, kemudian berkata:
Wahai Umar, biarkanlah mereka menangis. Kemudian beliau bersabda: menangislah
kalian semua, dan berhati-hatilah dengan rintihan Syetan. Sesungguhnya selama
tangisan itu dari hati dan air mata maka hal itu berasal dari Allah dan rasa
kasih. Namun jika tangisan itu berupa tangan dan lisan maka itu berasal dari
Syetan.
Fathimah
terduduk di bibir liang kubur Ruqayyah di samping Rasulullah saw dan menangis.
Melihat puterinya menangis, Rasulullah mengusap air mata Fathimah yang menetes
dengan ujung pakaian Rasul.
Ada
sebuah Riwayat dari Anas bin Malik, dia berkata: Kami melihat prosesi pemakaman
Ruqayyah binti Rasulullah saw. Beliau duduk di atas kuburannya, kemudian
kulihat kedua matanya berlinang air mata. Kemudian beliau berkata: Apakah ada
salah seorang diantara kalian yang tidak melakukan hubungan suami istri
semalam? Abu Talhah berkata: saya. Lalu, Rasulullah saw berkata turunlah ke
dalam liang kuburnya. Kemudian dia turun ke dalam liang kuburnya.
12. Ummi Kultsum
Binti Muhammad Bin Abdullah Saw
Utaibah
bin Abu Lahab bin Abdul Muthalib menikahinya sebelum masa kenabian. Ketika
kemudian datang wahyu menegaskan kenabian dan kerasulan Muhammad saw, dan Allah
menurunkan ayat (tabbat yada abi lahabiw watab...) Abu Lahab berkata
kepada anaknya: kita tidak lagi punya hubungan darah jika kau tidak menceraikan
anak perempuan Muhammad.
Kemudian
Ummi Kultsum diceraikan oleh suaminya, dan pada saat itu dia belum lagi
ditiduri oleh suaminya. Ummi Kultsum tetap tinggal bersama Rasulullah saw
hingga tiba masa perintah Hijrah, dia pergi berhijrah menuju Madinah. Setelah
itu, Utsman bin Affan menikahinya setelah saudara perempuannya, Ruqayyah,
meninggal dunia. Pernikahan itu terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga
Hijrah.
Dia
selalu menemani Utsman bin Affan hingga akhirnya dia juga menemui ajal pada
Bulan Sya’ban tahun kesembilan Hijrah dan belum mempunyai anak dari
pernikahannya dengan Utsman. Rasulullah saw merasa amat sedih atas kewafatan
anak perempuannya. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi Saw ketika Nabi
berada di prosesi pemakamannya, beliau berkata: Tidak seorang pun yang boleh
turun ke dalam liang kuburnya orang yang berhubungan suami istri semalam.
Kemudian beliau berkata: Adakah diantara kalian yang tidak melakukan hubungan
suami istri semalam? Kemudian Abu Talhah berkata: saya wahai Rasulullah.
Kemudian Rasulullah saw berkata: turunlah. Lalu, Abu Talhah turun ke liang
kubur Ummi Kultsum.
13. Fatimah Binti
Muhammad Bin Abdullah Saw
Fatimah
dikenal sebagai seorang wanita termulia di dunia pada masanya. Dia seorang
wanita yang mempunyai pertalian darah kenabian dan keturunan seorang yang
terpilih, anak perempuan manusia yang termulia, Rasulullah saw Abul Qasim
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf al-Quraisyiah
al-Hasyimiyah. Dia seorang Ibu dari kedua anak yang mulia, Hasan dan Husein.
Dia
dilahirkan beberapa saat sebelum Muhammad diutus menjadi seorang Rasulullah.
Ali bin Abu Thalib menikahi Fatimah pada bulan Dzul Qa’dah atau sebelumnya
sesaat sekitar tahun kedua setelah terjadinya perang Badar.
Ibnu
Abdul Bar berkata: Ali bin Abu Thalib mengawininya setelah pertempuran Uhud.
Kemudian Fatimah melahirkan Hasan dan Husein, Muhsinan, Ummi Kultsum, dan
Zainab. Dan diriwayatkan dari ayahnya, dan Husein anaknya meriwayatkan darinya,
selain itu ada pula, Aisyah, Ummu Salamah, Anas bin Malik, dan beberapa orang
selain mereka yang tertulis di dalam Kutubus Sittah (Kitab hadits dari 6
Imam).
Nabi
saw amat menyayanginya dan memuliakannya. Keutamaan dan kebaikannya amat
banyak, dia adalah seorang yang sabar, taat menjalankan agama, baik, bersikap
qana’ah, dan selalu bersyukur kepada Allah. Pernah suatu ketika Rasulullah saw
marah kepada Ali membela Fatimah ketika ada seseorang yang menyampaikan padanya
bahwa Abu Hasan hendak meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Rasul
berkata: Demi Allah, jangan kau kumpulkan anak perempuan Nabi Allah dengan anak
perempuan musuh Allah, karena Fathimah merupakan bagian dariku, aku akan merasa
ragu apa yang dirasakannya ragu, dan aku akan merasa tersakiti bila dia merasa
sakit. Kemudian Ali meninggalkan niat untuk meminang anak perempuan Abu Lahab
untuk menjaga perasaan Fathimah. Dia tidak jadi menikahinya, kemudian setelah
Fatimah meninggal dunia, barulah Ali bin Abu Thalib menikah lagi.
Pada
saat Nabi saw wafat Fatimah merasa amat sedih dan menangis sambil berkata:
Wahai ayahku, kepada jibril kami sampaikan berita duka ini. Wahai ayahku!
Semoga Allah mengabulkan semua permintaan. Wahai ayahku, hanya surga Firdaus
tempat yang layak. Dan dia berkata setelah jasad Nabi dikuburkan: Wahai Anas,
bagaimana diri kalian bertaubat karena menaburkan tanah pada jasad Rasulullah
saw.
Pernah
suatu ketika beliau berkata padanya saat sedang sakit: sesungguhnya aku
tertahan dalam sakitku ini. Kemudian Fatimah menangis. Beliau juga memberi tahu
bahwa dirinya lah yang pertama kali datang menjenguknya, dan juga
memberitahunya bahwa dia adalah wanita yang paling mulia di umat ini, sehingga
membuatnya tertawa dan dia menyembunyikan hal itu – ketika Rasulullah saw telah
wafat, ‘Aisyah bertanya padanya, kemudian baru Fatimah memberi tahukan apa yang
diucapkan Rasul tadi – Kemudian ‘Aisyah ra berkata:
Fatimah
datang dengan berjalan kaki, cara berjalannya itu persis dengan cara berjalan
Rasulullah saw. Lalu ‘Aisyah datang menyambutnya, dan berkata: Selamat datang
wahai anakku.
Ketika
ayahnya wafat, Fatimah berfikir akan mendapatkan harta warisan, sehingga dia
datang pada Abu Bakar dan meminta harta warisan dari Rasul. Kemudian Abu Bakar
memberi tahukan padanya bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda: Kami tidak
meninggalkan warisan, tidak pula meninggalkan harta. Fatimah merasa kesal pada
Abu Bakar kemudian berdiam diri di rumahnya. Ketika Fatimah jatuh sakit, Abu
Bakar datang minta ijin untuk menjenguknya. Kemudian Ali berkata: Wahai Fatimah,
ini Abu Bakar datang meminta izin untuk bisa menjengukmu. Kemudian Fatimah
berkata: Apakah kau senang bila aku memberinya izin? Ali berkata: tentu, aku
senang.
Fatimah
ra mengerti tentang Sunnah Rasul yang mengajarkan agar seorang Istri tidak mengizinkan
seorangpun untuk masuk rumah suaminya kecuali dengan perintah suaminya.
Kemudian Fatimah memberikan izin pada Abu Bakar untuk menjenguknya agar dia
dapat memberikan ketenangan pada Fatimah, kemudian Abu Bakar berkata: Demi
Allah, aku tidak meninggalkan rumah, harta, keluarga dan kerabat kecuali
mencari keridhoan Allah, Rasul-Nya, dan keridhoan kalian ahlul bait, dia
berkata: Abu Bakar berusaha memberikan ketenangan pada Fatimah, sehingga dia
kembali merasa tenang.
Fatimah
wafat setelah Rasulullah saw sekitar 15 bulan dan hidup selama dua puluh lima
tahun, dan dia adalah paling kecil dari Zainab istri Abu al-‘Ash bin Rabi’, dan
dari Ruqayyah istri Utsman bin Affan.
Telah
terputus nasab Nabi saw kecuali dari Fatimah, karena Umamah binti Zainab yang pernah
dibawa Nabi dalam sebuah sholatnya telah menikah dengan Ali bin Abu Thalib
kemudian setelahnya dengan Mughirah bin Naufal bin Harits bin Abdul Muthalib
al-Hasyimi, darinya memang ada beberapa anak terlahir, tapi kemudian meninggal
dunia.
14. Asma’ Binti
Abu Bakar as-Shiddiq
Salah
seorang wanita mulia yang turut serta dalam hijrah ke Madinah. Dia dikenal
sebagai wanita terhormat yang menonjol dalam kecerdasannya, kemuliaan diri, dan
kemauannya yang kuat. Dilahirkan pada 27 tahun sebelum hijrah. Dia lebih tua
sepuluh tahun dari ‘Aisyah ummul mukminin saudara perempuannya. Dia juga
saudara kandung Abdullah bin Abu Bakar. Dia dipanggil dengan julukan Dzu
Nithaqain, karena pernah di suatu saat dia mengambil tali yang dipunyainya,
kemudian dibelah menjadi dua bagian. Dia memberikan satu bagian untuk
perjalanan Rasulullah saw dan lainnya sebagai tali pengikat perbekalannya,
ketika pada suatu malam Rasulullah saw bersama Abu Bakar keluar dari Makkah
menuju ke gua.
Dia
berkata ketika bertemu dengan rombongan jama’ah haji: Bagaimana kau pinjamkan
kepada Abdullah dengan kepunyaan 2 kain pengikat, tentu dulunya aku punya tali
pengikat yag memang harus dipunyai setiap wanita. Dan tali pengikat yang
berfungsi untuk menutupi makanan Rasulullah saw.
Asma’
telah masuk Islam sejak dulu di Makkah setelah 17 orang lainnya masuk Islam
sebelum dirinya. Dia juga ikut membai’at (mengucapkan janji setia) Nabi saw dan
beriman dengan apa yang diajarkan padanya. Iman yang sungguh kuat. Diantara
tanda keislamannya yang baik, bahwa Qatilah binti Abdul ‘Uza mengirimkan pada
anak perempuannya Zainab binti Abu Bakar as-Shiddiq (Abu Bakar telah
menceraikannya pada masa jahiliyah) beberapa hadiah, kismis (anggur kering),
mentega dan anting-anting. Namun dia menolak menerima hadiah yang diberikannya
atau mengijinkannya masuk ke dalam rumahnya. Kemudian dia beranjak menuju
‘Aisyah dan berkata: wahai ‘Aisyah, tanyakanlah pada Rasulullah saw tentang hal
ini. Kemudian Rasulullah saw mengatakan agar Asma menerima hadiah itu dan
mempersilahkan padanya untuk masuk ke dalam rumah.
Pernah
Abu Bakar membawa serta seluruh hartanya ketika keluar bersama Rasulullah saw
berangkat hijrah, nilainya sekitar 5000 dirham atau 6000 dirham. Kemudian Kakek
Asma’ Abu Qahaqah datang padanya, dia seorang kakek yang penglihatannya sudah
tidak sempurna lagi, kemudian dia berkata: Sungguh, aku tidak melihatnya (Abu
Bakar) dia telah membuat kalian sengsara dengan membawa seluruh hartanya,
sebagaimana dia membiarkan kalian sengsara dengan meninggalkan kalian di rumah.
Asma
berkata: Tidak demikian wahai kakek. Sesungguhnya dia meninggalkan harta yang
banyak bagi kami. Kemudian Asma mengambil beberapa batu dan meletakkannya di
dalam sebuah lobang tempat biasanya Abu Bakar (ayahnya) menyimpan hartanya.
Kemudian dia membalutkan kain pada batu-batu itu, kemudian mengambil dengan
tangannya, lalu berkata: Wahai kakek, cobalah letakkan tanganmu di atas harta
ini. Kemudian Abu Qahaqah meletakkan tangannya dan berkata: Ya, tidak mengapa
bila dia telah meninggalkan sejumlah harta ini, sudah lebih dari cukup untuk
memenuhi kebutuhan kalian. Padahal sebenarnya, Abu Bakar sama sekali tidak
meninggalkan apa-apa pada keluarganya. Tapi, dia melakukan hal ini hanya ingin
agar kakeknya merasa tenang dengan keadaan mereka, yang ditinggalkan Abu Bakar.
Asma’
menikah dengan Zubair bin ‘Awwam, seorang yang tidak mempunyai harta apa pun di
dunia ini, tidak pula kekuasaan, atau sesuatu lainnya selain kudanya. Maka dia
mengurus kudanya dengan memberinya makan, menyediakan makanan untuk suaminya,
menghangatkan makanan, menumbuk biji-bijian yang matang, memberinya minum dan
mengadoni bumbu makanan. Dan Zubair dikenal sebagai orang yang tegas padanya.
Kemudian, Asma menjumpai ayahnya dan mengeluh dengan kehidupannya. Kemudian Abu
Bakar berkata: Wahai anakku, bila seorang perempuan mempunyai seorang suami
yang Sholeh kemudian meninggal, dan si perempuan tidak lagi menikah setelahnya,
keduanya akan dikumpulkan oleh Allah di surga.
Kemudian
Asma mengunjungi Rasulullah saw, dan berkata: Wahai Rasulullah, di rumahku
tidak terdapat apa pun kecuali sesuatu yang dihasilkan oleh Zubair. Apakah
boleh aku memberikan sesuatu yang sedikit kepada orang yang mengunjungi
rumahku? Kemudian Rasulullah saw berkata: Kasih saja apa yang bisa kau berikan
dan jangan terlalu bakhil, sehingga kau dianggap orang bakhil. Dan dia adalah
perempuan yang memiliki kedermawanan.
Asma’
juga turut serta dalam pertempuran Yarmuk bersama suaminya Zubair, dan dia
memperoleh kemenangan. Dia mengambil belati sa’id bin al-‘Ash di zaman fitnah, kemudian
meletakkannya di bawah sikunya. Kemudian dia ditanya: Apa yang sedang kau
perbuat? Dia berkata: Bila ada seorang pencuri masuk, perutnya akan
bengkok. Kemudian Umar bin Khattab
memberikan hadiah bagi Asma’ seribu dirham.
Asma’
meriwayatkan sekitar 58 hadits dari Rasulullah saw dan di sebuah riwayat yang
lain disebutkan 56 hadits. Bukhari dan Muslim bersepakat terhadap 14 hadits. 4
hadits lainnya diriwayatkan oleh Bukhari secara sendirian, sedangkan Muslim
juga meriwayatkan sejumlah yang diriwayatkan Bukhari. Dalam sebuah riwayat
hadits-hadist Asma yang sudah ditakhrij mencapai 22 hadits. Diantara yang telah
disepakati Bukhari dan Muslim ada 13, selain itu Bukhari meriwayatkan 5 hadits
dan Muslim meriwayatkan 4 hadits.
Asma
juga dikenal sebagai penyair dan pengarang prosa, mempunyai logika berfikir
yang baik dan jelas. Kemudian dia mengenang suaminya Zubair tatkala terbunuh
oleh Amru bin Jarmuz al-Mujasyi’i di sebuah lembah as-Siba’, dan dia kembali
dari peristiwa Unta. Asma mengenangya dengan kata-kata:
Esok
datang Ibnu Jarmuz dengan seekor kuda penuh semangat
Di
hari kegembiraan meski tanpa nyanyian
Wahai
Amru, bila kau perhatikan, tentu kau dapatkan
Jangan
sembrono, hingga menggetarkan hati
Jangan
kau biarkan tanganmu sembarangan
Karena
ibumu akan kehilanganmu
Bila
kau terbunuh, jadilah seorang yang muslim
Semoga
terbebas dari siksaan yang telah dijanjikan
Dia berkata ketika anaknya Abdullah bin Zubeir terbunuh:
Tiada
bagi kekuasaan Allah yang tidak mungkin terjadi
Setelah
suatu kaum membunuh
antara
zam-zam dan maqam Ibrahim
Mereka
terbunuh oleh kekeringan yang mencekik
Membusuk,
dengan berbagai penyakit dan kusta
Asma
mempunyai jiwa yang dermawan dan mulia tidak pernah menunda sesuatu hingga esok
hari. Pernah suatu ketika dia jatuh sakit, kemudian dia segera membebaskan
(memberikan) seluruh harta yang dipunyainya. Dulu dia pernah berkata pada
anak-anak dan keluarganya: Berinfaklah kalian, dan bersedekahlah, dan jangan
kau menunda keutamaan. Jika kalian menunda keutamaan, kalian tidak akan pernah
mendapatkan keutamaan. Dan jika kalian memberi sedekah, kalian tidak akan
kehilangannya.
Sinar
ketetapan hatinya, kemuliaan hatinya, dan keberaniannya, memberikan kabar pada
kita tentang dirinya dari kata-katanya pada anaknya Abdullah ketika datang
mengunjunginya, sedangkan dia pada saat itu telah cukup tua dan tidak lagi bisa
melihat sempurna, umurnya sekitar 100 tahun. Kemudian Anaknya itu berkata
padanya: Wahai ibunda, apakah yang kau lihat! Orang-orang membiarkan diriku
jatuh, dan keluargaku juga. Kemudian dia berkata: Tidak ada yang mempermainkan
kamu anak-anak Bani Umayyah. Hiduplah mulia, dan matilah secara mulia, dan demi
Allah, aku akan berharap agar pelipur lara hatiku tercurah padamu dengan baik,
setelah kau mengunjungiku atau aku mengunjungimu. Sesungguhnya dalam diriku
terdapat hutan dari dirimu, sehingga aku dapat melihat apa yang terjadi pada
dirimu.
Kemudian
dia berkata: Ya Allah, sayangilah ratapan yang panjang dan kehausan di
tengah-tengah terik panas kota Madinah dan berikanlah kebaikan padanya dengan
Ibundanya. Ya Allah, sesungguhnya aku telah menyerahkan di dalamnya bagi
perkaramu aku relakan padanya dengan keputusan-Mu, maka berilah pahala padaku
karena Abdullah pahala orang-orang yang senantiasa bersyukur.
Kemudian
sang anak membalasnya dengan mengatakan: wahai ibunda, janganlah kau berdoa
dengan doa padaku sebelum aku mati dan tidak pula sesudahnya. Aku tidak akan
mendoakannya pada Allah. Maka barang siapa yang mati atas kebatilan maka
sungguh engkau meninggal atas kebenaran. Kemudian dia keluar.
Dan
mereka kemudian menyebutkan: Bahwa rombongan jama’ah haji mengunjungi Asma
binti Abu Bakar, kemudian dia berkata padanya: Sesungguhnya anakmu telah
berlaku telah melakukan ingkar di rumah ini, dan sesungguhnya Allah akan
memberinya siksa yang amat pedih, dan Dia melakukannya dan melakukan.
Kemudian
Asma berkata padanya: kau berbohong, dia telah berbuat baik pada kedua orang
tua lagi rajin berpuasa, tapi demi Allah, Rasulullah saw telah memberikan kabar
pada kita, bahwa akan keluar dari orang yang pandai sebagai penipu bagi yang
lain, diatara keduanya jelek bagi yang lain yang pertama, sedangkan dia orang
yang berbuat baik. Kemudian al-Hajjaj berkata pada Asma setelah membunuh
Abdullah: Bagaimana kau melihatku setelah apa yang kuperbuat pada anakmu? Asma
berkata: Kau telah merusak dunianya, dan telah rusak akhiratmu.
Asma
meninggal dunia di Makkah setelah anaknya Abdullah bin Zubair terbunuh pada
malam hari, Dan pada saat itu terbunuhnya dia pada hari selasa tanggal 17 pada
bulan Jumadil Ula tahun 73 H. Dan Asma pada saat itu berumur seratus tahun,
namun tidak ada satu pun giginya yang tanggal dan tidak pula pikun.
15. Arwa Binti
Abdul Muthalib
Arwa
binti Abdul Muthalib masuk Islam di Makkah. Dia juga ikut hijrah ke Madinah.
Sebelum masuk Islam, dia juga mendukung Nabi saw. Kemudian mereka menyebutkan:
Bahwa anaknya Kalib bin Umair masuk Islam di Darul Arqam bin Abu al-Arqam
al-Makhzumi, kemudian keluar, dan mengunjungi ibunya Arwa binti Abdul Muthalib,
kemudian Kalib berkata: Aku mengikuti Muhammad dan masuk Islam karena Allah.
Kemudian
Arwa berkata pada anaknya: Sungguh benar jika kau mendukung dan membantu
sepupumu Muhammad, demi Allah, kalau saja kita mampu apa yang dilakukan oleh
para lelaki itu mendukungnya, tentu kita akan mengikutinya dan membelanya.
Kemudian Kalib berkata: Lalu, apa lagi yang menghalangimu untuk masuk Islam,
dan mengikuti Muhammad, padahal saudaramu Hamzah telah juga masuk Islam?
Kemudian Arwa berkata: aku sedang melihat apa yang diperbuat oleh
saudara-saudara perempuanku, kemudian aku akan menjadi salah seorang dari
mereka.
Lalu
Kalib berkata: Maka sesungguhnya aku memintamu karena Allah, agar kau mau
datang pada Muhammad, masuk Islam, membenarkannya dan bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah.
Kemudian
dia termasuk salah seorang yang mendukung Nabi saw dengan
perkataan-perkataannya, dan juga mengajak anaknya untuk menolong Muhammad dan mengerjakan
apa yang diajarkan Muhammad dan akhirnya dia benar-benar masuk Islam.
Pernah
suatu kali Abu Jahal dan beberapa pembesar kaum Kafir bersikap keras hingga
menyakiti Nabi saw. Kalib bin Umair sengaja datang ke tempat Abu Jahal dan
memukulnya dengan keras di kepalanya, kemudian orang-orang yang ada di sekitar
Abu Jahal segera meringkusnya dan memegangnya kuat-kuat. Kemudian Abu Lahab
mendekatinya hingga melepaskannya.
Kemudian
kejadian itu dikatakan pada Arwa: Apakah kau tidak melihat anakmu si Kalib itu
sekarang dirinya menjadi kasar berdekatan dengan Muhammad? Kemudian Arwa
menjawab: aku melihat bahwa beberapa hari ini dia semakin baik setelah dia
mengisi harinya dengan selalu membela sepupunya Muhammad, sungguh Muhammad
membawa ajaran yang benar dari sisi Allah.
Kemudian
mereka berkata: Apakah kau juga telah menjadi pengikut Muhammad? Arwa berkata:
benar. Kemudian sebagian mereka keluar menemui Abu Lahab dan memberi kabar
tentang keislaman Arwa.
Kemudian
setelah menerima kabar tersebut, Abu Lahab beranjak menemui Arwa dan berkata:
Sungguh mengherankan dirimu ini ya Arwa, mengapa kau menjadi pengikut Muhammad
dan kau tinggalkan agama Abdul Muthalib. Kemudian Arwa berkata: Memang seperti
itulah keadaannya, maka cobalah kau dukung keponakanmu itu dan bantu dirinya,
dan bela dirinya. Bila dia memberikan suatu ajaran, maka kau punya dua pilihan,
apakah kau masuk ke dalam Islam bersamanya atau kau tetap memegang agamamu itu.
Apabila dia yang benar, maka aku minta maaf karena telah memilih masuk ke dalam
golongan keponakanmu Muhammad. Abu Lahab berkata: Kami mempunyai kekuasaan dan
kekuatan besar di Arab yang secara bersama-sama menentang kedatangan agama
beru. Kemudian dia beranjak pergi.
Dia
sedih dengan kematian Nabi saw dan menulis puisi ratapannya terhadap beliau:
Wahai
Rasulullah, bukankah kau harapan kami
Kehadiranmu
bagi kami adalah kebaikan
Dan
jangan kau biarkan menjadi kering
Setiap
detak jantungku hanya mengingat Muhammad
Dan
betapa kesedihan menahan rindu
Terkumpul
dalam diriku setelah kau tiada, Nabi
Dia
meninggal dunia sekitar tahun 15 H.
16. Ummu Kultsum
Binti Ali Bin Abu Thalib
Dia
termasuk salah seorang wanita mulia di zamannya. Dilahirkan sebelum Rasulullah
saw meninggal dunia. Umar bin Khattab datang pada Ali bin Abu Thalib untuk melamarnya.
Lalu Ali berkata: Dia masih kecil. Kemudian Umar berkata: Nikahkanlah diriku
dengannya wahai Abu Hasan. Aku hanya ingin memperoleh kemuliaan dirinya, yang
tidak diperoleh orang lain. Kemudian Ali berkata padanya, Baiklah, aku akan
kirimkan dia kepadamu, jika dia rela, maka kau nikah dengannya.
Kemudian
Ali bin Abu Thalib mengirimkan anaknya yang hendak dipinang tadi pada Umar bin
Khattab. Lalu Umar berkata pada Ummi Kultsum: katakan pada ayahmu, kau telah
rela. Dan Umar meletakkan tangannya di lutut Ummi Kultsum, kemudian membukanya.
Lalu Ummi Kultsum berkata: Mengapa kau melakukan hal ini, kalau saja kau bukan
Amirul Mukminin, tentu aku akan meninju hidungmu hingga patah.
Tak
lama kemudian, Ummi Kultsum keluar, menemui ayahnya dan menceritakan kejadian
yang baru dialaminya. Ummi Kultsum berkata: Kau telah mengirimkan diriku pada
orang tua yang jahat. Ali berkata: Wahai anakku dia itu suamimu. Kemudian Umar
bin Khattab segera beranjak menuju majelis kaum Muhajirin yang bertempat
diantara kuburan dan mimbar Nabi, untuk mengadakan pertemuan. Tidak lama
kemudian Ali datang, disusul Ustman, Zubeir, Talhah, dan Aburrahman bin Auf.
Telah menjadi kebiasaan, bila Umar datang menemui mereka dan mengundang mereka
untuk menemuinya, maka dia akan meminta nasehat pada mereka dalam suatu
perkara.
Lalu
Umar berkata: dukunglah aku. Kemudian mereka berkata: dengan siapa ya amirul
Mukminin? Dia berkata: dengan anak perempuan Ali Bin Abu Thalib. Dia
melanjutkan, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: setiap nasab, sebab
dan periparan akan terputus pada hari kiamat, kecuali nasabku, sebabku, dan
menantuku. Aku telah mempunyai hubungan nasab dan sebab pada Rasulullah saw,
dan aku hanya ingin mengumpulkan ketiganya dengan menjadi menantunya. Kemudian
mereka mendukungnya.
Umar
akhirnya benar-benar menikahi Ummi Kultsum pada bulan Dzul Qa’dah tahun 17
Hijriyah. Dia menjadi istri Umar hingga akhir hayat Umar yang terbunuh. Ummi
Kultsum melahirkan Zaid bin Umar al-Akbar, dan Ruqayyah binti Umar. Dan dia
dikenal sebagai seorang orator ulung yang berbakat.
17. Ummi Kultsum
Binti Abu Bakar as-Shiddiq
Merupakan
salah seorang wanita utama pada zamannya. Pernah dipinang oleh Umar bin
Khattab, namun tidak jadi dinikahinya. Awalnya, itu dikarenakan ada seorang
lelaki Quraisy berkata pada Umar bin Khattab: Maukah kau menikahi Ummi Kultsum
Binti Abu Bakar. Kau bisa menjaga kemuliaannya setelah Abu Bakar meninggal dan
menggantikannya dalam keluarganya. Kemudian umar berkata: Boleh, aku suka itu.
Pergilah kau pada ‘Aisyah dan sebutkan apa yang kumaksud (meminang Ummi
Kultsum). Lalu kembalilah padaku dengan jawabannya.
Kemudian
datanglah seorang utusan pada ‘Aisyah dengan membawa pesan Umar. ‘Aisyah
menjawab apa yang ditanyakan Umar, dan berkata padanya: sungguh suatu
kemuliaan. Tak lama berselang Mu’irah bin Sya’bah datang dan melihat ‘Aisyah
gelisah. Kemudian dia bertanya pada ‘Aisyah: Ada apa denganmu wahai ummul
mukminin? ‘Aisyah menceritakan apa yang terjadi barusan tentang seorang utusan
Umar yang hendak meminang Ummi Kultsum.
Kemudian
dia berkata: dia baru saja menjalani hidupnya. Dan aku ingin bersikap lemah
lembut pada anak ini, aku khawatir dengan sikap Umar yang keras terhadapnya.
Kemudian Mu’irah berkata pada ‘Aisyah: Aku akan menyampaikannya pada Umar,
sebagai utusanmu. Dia berangkat menuju Umar, lalu berkata: Semoga anda hidup
damai dan diberkahi dengan banyak anak! Aku baru saja berkunjung dari ‘Aisyah
dan aku mendengar anda meminang Ummi Kultsum.
Umar
menjawab: ya benar demikian adanya. Mu’irah berkata: Bukankah kau orang yang
keras dalam bersikap terhadap keluargamu, wahai Amirul Mukminin. Dan orang yang
hendak anda pinang ini masihlah anak yang berumur kecil. Dia masih belum tahu
apa-apa. Bila suatu saat kau bersikap kasar padanya, tentu dia akan berteriak
menangis. Dan hal itu tentu akan membuatmu khawatir. ‘Aisyah juga akan merasa
sakit perasaannya. Mereka akan teringat Abu Bakar, lalu mereka menangis,
sehingga musibah akan terus berlangsung pada keluarga mereka, yang masanya
saling berdekatan di setiap harinya.
Lalu
Umar berkata: Kapan kau datang dari ‘Aisyah dan katakanlah jujur padaku.
Kemudian dia berkata: baru saja. Umar berkata: Aku tahu mereka tidak suka
padaku. Mereka menginginkan agar aku mencabut apa yang telah aku minta tadi.
Dan Sungguh aku memaafkan mereka. Mu’irah kembali ke ‘Aisyah dan mengatakan
kabar yang barusan diperolehnya dari Umar. Umar tetap berpegang pada
pendapatnya dan dia tidak jadi meminang Ummi Kultsum.
Beberapa
orang meriwayatkan hadits dari Ummi Kultsum, seperti: saudara perempuannya
‘Aisyah ummul Mukminin, anaknya Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Abu Rabi’ah bin
Abdullah al-Anshari, Talhah bin Yahya bin Talhah, dan Mughirah bin Hakim
as-Shaghani. Dan beberapa imam juga meriwayatkan haditsnya, diantara mereka:
Muslim dan Tirmizi.
18. ‘Aisyah Binti
Utsman Bin Affan
Salah
seorang perempuan yang menguasai ilmu bahasa dan kefasihan. Pada saat ayahnya
terbunuh dan Ali bin Abu Thalib dibai’at menggantikan ayahnya, dia berkata:
Sesungguhnya kita ini milik Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali. Dirinya
telah meninggal dengan darah yang mengalir di Haram (tempat yang dimuliakan)
Rasulullah saw.
Dan
dia melarang orang menguburkan jasad Utsman. Ya Allah, kalau saja dia
menginginkan tentu akan dihindari. Mendapatkan Allah sebagai hakim, dari
orang-orang Muslim sebagai penolong, dan kaum muhajirin sebagai saksi hingga
kebenaran datang terhadap orang yang menolaknya.
Mu’awiyah
datang ke Madinah setelah tahun persatuan, yaitu tahun 41 Hijriyah. Kemudian
dia mengunjungi rumah Utsman bin Affan. Di dalamnya dia melihat Aisyah binti
Ustman berteriak dan menangis, sambil memanggil-manggil ayahnya. Kemudian Mu’awiyah
berkata: Wahai anak saudaraku, sesungguhnya manusia, telah memberikan ketaatan
mereka pada kita. Dan kita memberikan rasa aman pada mereka, dan kita tunjukkan
rasa santun (yang di bawahnya ada rasa marah) kita pada mereka. Dan mereka
menunjukkan kerendahan diri (yang dibawahnya ada rasa dengki) pada kita. Setiap
manusia mempunyai pedangnya dan dia melihat kedudukan rekan-rekannya. Maka jika
kita mengganggu mereka, tentu mereka akan mengganggu kita. Kita sendiri tidak
mengerti, apakah mereka menyerang kita atau bersama kita. Dan kau menjadi
sepupu Amirul Mukminin lebih baik dari pada menjadi seorang perempuan dari
kalangan manusia biasa. Dia adalah seorang yang mempunyai perilaku yang baik
dan teguh dalam beragama.
19. Fatimah Binti
Husein Bin Ali Bin Abi Thalib
Salah
seorang periwayat hadits dari kalangan perempuan yang meriwayatkan hadits dari
neneknya, Fatimah secara mursal, dan dari ayahnya dan bibinya Zainab binti Ali
dan Bilal sang Muadzin, Abdullah bin Abbas, Asma binti Umais, Aisyah ummul Mukminin,
Ali bin Husein dan Zainal Abidin bin Ali.
Anak-anaknya
meriwayatkan hadits darinya seperti Abdullah, Ibrahim dan Husein. Selain itu,
Ummu Ja’far Banu Hasan bin Hasan bin Ali, Hamad bin Abdullah bin Umar bin
Utsman, ‘Aisyah binti Talhah, Imarah bin ‘Uzmah, Hisyam bin Ziyad, Yahya bin
Abi Yu’la dan Syabibah ibnu Nu’amah.
Abu
al-Miqdam bin Ziyad dari ayahnya, dan dikatakan dari Ibunya, menggunakan hadits
diriwayatkan darinya (Fatimah Binti Husein). Hadits yang diriwayatkan olehnya
juga digunakan oleh beberapa Imam hadits, diantara mereka: Abu Daud, Tirmidzi,
dan Ibnu Majah. Bahkan Ibnu Habban menyebutkan dirinya termasuk dalam salah
seorang tsiqat (orang yang terpercaya).
Ketika
ayahnya (Husein) terbunuh, Fatimah berkata: Wahai Yazid, apakah keturunan
(cucu-cucu perempuan) Rasulullah saw dijadikan tawanan? Yazid berkata: Tidak,
bahkan dimuliakan. Bergabunglah kau dengan anak-anak perempuan pamanmu
(sepupu). Kau bebas berbuat apa saja, kau akan melihat mereka melakukan apa
yang juga kamu lakukan seperti biasanya. Kemudian Fatimah bergabung bersama
mereka (sepupunya) dan dia melihat mereka sedang berhijab sambil menangis.
Hasan
bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib menikahi dirinya. Kemudian ketika Fatimah
ditinggal Abdullah bin Amru bin Utsman bin Affan karena meninggal dunia,
Abdurrahman bin al-Dlahak al-Fahri datang melamarnya, dia adalah seorang
petugas di Madinah. Fatimah berkata: demi Allah, aku tidak ingin menikah lagi.
Dan Sungguh dia telah direpotkan dengan merawat dan membesarkan anak. Fatimah
bin Husein juga pernah dipinang Umar bin Aziz karena dirinya mempunyai
kemuliaan sebagai keturunan Rasulullah saw. Bahkan dikatakan oleh orang: dia
sama sekali tidak mengenal kejahatan. Kemudian Umar berkata: dia tidak
mengetahui kejahatan, padahal di sampingnya ada kejahatan. Dia meninggal pada
tahun 110 Hijriyah.
20. Rabi’ah Binti
Isma’il al-‘Adawiyah
Seorang
sufi besar dan ahli ‘ibadah yang terkenal. Dia adalah salah seorang yang
menguasai kedalaman tasawuf, sehingga banyak para sufi besar di masanya bertanya
padanya. Sufyan as-Tsauri berkata: Kami disarankan agar berguru pada seorang
pengajar dan aku tidak mendapatkan orang yang dapat membuat hatiku tentram bila
aku tidak lagi belajar padanya. Dan diriwayatkan pula bahwa ketika Sufyan ada
di hadapannya berkata: Duhai betapa sedihnya. Rabi’ah berkata: jangan berdusta,
tapi katakanlah kesedihanmu hanya sedikit.
Dialah
Rabi’ah binti Isma’il bin Hasan bin Zaid bin Ali bin Abu Thalib. Ibnu Jauzi
berkata: Rabi’ah adalah seorang yang berfikiran cerdas. Dari kata-katanya
selalu menunjukkan kekuatan pemahamannya. Ucapan astaghfirullah yang
keluar dari mulutnya benar-benar bernilai dalam. Seakan ucapan astaghfirullah
dari mulutku hanya mengandung ketulusan yang sedikit.
Seorang
Orientalis mengungkapkan pendapatnya mengenai Rabi’ah al-‘Adawiyah dan Rabi’ah
al-Qaisiyah: Kedua orang ini merupakan orang yang bersikap zuhud. Dan keduanya
merupakan pengikut madzhab al-Basri. Semangat mereka berdua untuk hidup dalam
keadaan zuhud mengantarkan mereka pada pembenahan kondisi kaum sufi yang
mempunyai beragam aliran dan juga kehidupan zuhud yang mereka lakukan untuk
mengkaji lebih detail kewajiban-kewajiban agama dalam amal perbuatan
sehari-hari dan keyakinan keberagamaan (‘aqidah).
Rabi’ah
dikenal sebagai orang yang banyak menangis. Pernah suatu saat seseorang sedang
membaca ayat-ayat al-Quran di sampingnya yang menceritakan tentang api neraka,
kemudian dia berseru dan terjatuh. Selain itu, dia rajin melakukan sholat
malam. Ketika fajar mulai terbit di ufuk Timur, dia duduk dengan tenang di
Musholanya hingga matahari mulai menampakkan sinarnya.
Pernah
suatu saat seseorang datang padanya dengan membawa 40 dinar, kemudian dia
berkata: Ya Rabi’ah, pergunakanlah uang ini untuk memenuhi kebutuhanmu.
Kemudian Rabi’ah menangis dan mengangkat kepalanya ke langit lalu berkata: Dia
Mahatahu bahwa diriku malu pada-Nya untuk meminta dunia, sedangkan Dia Dzat
yang memiliki Dunia. Bagaimana aku menginginkan dunia pada orang yang tidak
memilikinya?
Bila
sedang mengingat kematian tubuhnya bergetar dan berguncang hebat. Bila
melintasi suatu kaum, mereka mengerti bahwa dia sedang melakukan ibadah.
Setelah mencapai umur delapan puluh, Rabi’ah tidak lagi kuat, seakan-akan dia
rapuh, bila berjalan hampir saja roboh.
Ada
sebuah ucapan yang dinisbahkan para sejarawan pada Rabi’ah, dalam sebuah
munajat kepada Allah, “Sesungguhnya aku beribadah pada-Mu bukan mengharap
surga-Mu dan tidak pula takut akan neraka-Mu, akan tetapi aku beribadah karena
mencintai-Mu.” Ini tidak benar, karena yang mengatakan ini hanyalah orang kafir
yang berlawanan dengan firman Allah yang berbunyi, (Mereka berdoa pada
Tuhan, dengan penuh ketakutan dan pengharapan) dan firman-Nya (Mereka
mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut akan siksa-Nya)
Pun
tidak seperti yang digambarkan di film bahwa dia seorang wanita pesolek,
pezina, atau wanita yang mempunyai latar belakang maksiat. Gambaran semacam ini
mengenai dirinya juga tidak dapat dibenarkan.
Tidak
juga benar penggambaran dirinya sebagai orang yang berzuhud berlebih-lebihan
yang merusak ‘aqidah, seperti kecintaan pada Allah dengan mengabaikan syari’at
atau kefanaan diri menyatu dengan Tuhan, atau menyaksikan Allah dengan matanya,
serta beberapa sikap sufi berlebihan lainnya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi
tidak terjangkau oleh makhluk-Nya, dan tidak dapat terlihat oleh mata.
Pendapat-pendapat semacam ini merupakan salah satu cara untuk menggelincirkan
kaum Muslimin dalam syirik, yang diambil dari ajaran-ajaran agama-agama masa
lalu. Para pemeluk agama masa lalu, menyerupakan Allah dengan makhluknya,
padahal Allah Mahatinggi dari semua yang mereka serupakan. (Muhaqqiq)
Ketika
ajal akan tiba menjemputnya, dia memanggil pelayannya Ubdah dan berkata: Wahai
Ubdah, janganlah kau merasa sedih dengan kematianku. Dan pakaikan kain kafanku
di dalam jubahku ini. Dan itu adalah jubah dari sehelai rambut yang dia gunakan
ketika mata telah meredup. Kemudian Ubdah memakaikan kain kafan pada Jubah itu
dan di dalam kain wol yang dipakainya. Kemudian dia dikuburkan di Baitul Maqdis
pada tahun 135 Hijriyah.
[1] Maksud dari kuda yang tidak dicocok hidungnya
adalah kemuliaan seorang yang merdeka. Karena bila kuda
telah dikekang (dicocok hidungnya) hilanglah kemuliaannya.
[2] Sirah Ibnu Hisyam
[3] Shahih Bukhari
[4] Al-Isti’ab, karya Abdul Bar
[5] Dikatakan: tahun keempat sebelum Hijriyah, ada pula yang mengatakan
tahun keenam sebelum Hijriyah.
[6] Dikatakan: Saat itu dia berumur 64 tahun 6 bulan
[7] Sirah Nabawiyah, karya Zaini Dahlan
[8] Hujun: sebuah gunung di dataran tinggi kota Mekkah, di situlah
terletak pemakaman keluarganya.