Rabu, 05 Juni 2013

Antropologi Al-Qur'an

Relevansi Antropologi Agama Terhadap Studi al-Qur’an dan Hadits

Oleh: Anisul Fahmi

I.          Pengertian Antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam, berisikan kumpulan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang menjadi petunjuk [hudan] dan pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka. Sedangkan sunnah adalah cara yang bisa ditempuh (inisiatif) berdasarkan ajaran Nabi Muhammad Saw. Telah disepakati bersama bahwa sebagai sumber hukum Islam Al-Qur’an menempati posisi pertama kemudian diikuti oleh Hadits sebagai sumber kedua.
Tidak henti-hentinya studi atau kajian terhadap Al-Qur’an dan Hadits dilakukan baik oleh ummat Islam sendiri bahkan oleh para intelektual non muslim untuk mengungkapkan tekstualitas maupun kontekstualisasi dari kedua sumber hukum diatas. Dalam perkembangannya, kajian-kajian tersebut berkembang sehingga tidak hanya berkutat pada produk kajian keilmuan yang telah ada sejak masa lampau akan tetapi dikaitkan dengan keilmuan kekinian yang disajikan secara sistematis dan menggunakan pendekatan metode yang akurat.
Salah satu dari baberapa metode dan pendekatan yang akhir-akhir ini sering digunakan dalam kajian Al-Qur’an dan Hadits adalah pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi dan hermeneutis. Dalam makalah ini penulis akan mencoba mengungkapkan Relevansi antropologi agama terhadap Studi Al-Quran dan Hadits.
II.      Al-Qur’an dan Manusia
Al-Qur’an adalah kitab untuk manusia karena seluruhnya berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia. Manusia adalah animal symbolicium atau hewan yang yang mampu menggunakan menciptakan dan mengembangkan simbol-simbol untuk menyampaikan pesan dari individu kepada individu yang lain. Yang membedakan manusia dengan hewan adalah kemampuan berbahasa yang merupakan sebuah sistem pemaknaan. Sementara menurut Jalaludin Rahmat, al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk  biologis,  psikologis  dan  sosial.  Sebagaimana ada hukum-hukum  yang  berkenaan  dengan  karakteristik biologis manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.
Berbicara masalah Antropologi maka yang menjadi objek adalah manusia sebagai makhluk sosial yang secara definisi maupun objek kajiannya hampir sama namun berbeda dengan kajian sosiologi. Kemudian dihadapkan dengan Al-Qur’an dan Hadits yang notabene merupakan sumber primer umat islam dalam beribadah dimana dipastikan bahwa didalamnya akan muncul konsep-konsep sosial manusia maka disanalah Antropologi berperan. Al-Qur’an dan Hadits menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari perwujudan al-Qur’an dan Hadits dalam kegiatan ekonomi, politik bahkan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam beberapa seminar dan diskusi diistilahkan sebagai The Living Qur’an and Hadits. Meskipun belum begitu menarik perhatian untuk dikaji, namun hal ini perlu disikapi sehingga akan selalu lahir pemikiran-pemikiran yang progresif dalam beragama dan berkehidupan sosial.
III.        Al-Qur’an yang Hidup
Berdasarkan asumsi yang dipaparkan diatas al-Qur’an tidak lagi merupakan suatu benda tanpa makna tetapi merupakan:
Sebuah jagad simbolik tersendiri
Salah satu unsur simbolik dari sebuah jagad simbol yang lebih besar [kehidupan manusia itu sendiri].
Terjadi pergeseran paradigma sehingga teks dimaknai dimaknai secara metaforis. Teks merupakan sebuah model karena teks sesungguhnya adalah gejala sosial itu sendiri, bukan sebuah kitab, surat atau ayat. Beberapa paradigma dalam “Mencari Model Penelitian Sosial Budaya Dalam Studi Al-Qur’an dan Hadits” adalah sebagai berikut:
a.      Paradigma Akulturasi
Peneliti akan mencoba mengetahui proses dan hasil interaksi antara ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’an dengan sistem kepercayaan atau budaya lokal dalam suatu masyarakat.
b.      Paradigma Fungsional
Digunakan untuk mengetahui fungsi-fungsi dari suatu gejala sosial budaya. Fungsi ini bisa merupakan fungsi sosial atau fungsi kultural suatu gejala sosial budaya, seperti pola-pola perilaku yang muncul dari pemaknaan-pemaknaan tertentu terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu akan dikatahui juga fungsi sosio-kultural dari al-Qur’an itu sendiri.
c.       Paradigma Struktural
Mengungkap struktur yang ada dibalik gejala-gejala sosial budaya yang dipelajari atau membangun sebuah model yang juga merupakan struktur sehingga akan dipahami gejala pemaknaan al-Qur’an lewat model struktural tertentu.
d.      Paradigma Fenomenologi
Berusaha mengungkap kesadaran atau pengetahuan pelaku mengenai dunia tempat mereka berada, kesadaran mereka mengenai perilaku-perilaku mereka sendiri. Hal ini dianggap penting karena pemahaman atau pengetahuan mengenai dunia inilah yang dianggap sebagai dasar bagi perwujudan pola-pola perilaku tertentu diwujudkan.
e.       Paradigma Hermeneutic (Interpretive)
Paradigma hermeneutic berbeda dengan hermeneutic dalam kajian teks, karena teks bukan lagi sesuatu yang tertulis tetapi gejala sosial itu sendiri. Dalam artian tertentu gejala sosial budaya memang dapat dikatakan sebagai teks, sebab gejala ini terbangun dari sejumlah simbol-simbol, seperti juga halnya sebuah teks. Sebagai sebuah teks maka gejala sosial tersebut kemudian harus dibaca, ditafsir. Oleh karena itu gejala sosial-budaya tidak sama persis. Dengan teks maka mau tidak mau diperlukan metode yang lain untuk membacanya, untuk menafsirnya. Disinilah terletak perbedaan antara hermeneutic.
IV. Antropologi Al-Qur'an (Manusia sebagai Hamba dan Khalifah)
Manusia merupakan makhluk yang misterius sekaligus kompleks. Ia memiliki berbagai dimensi. Ada jiwa dan raga, sisi ruhani dan sisi jasmani, segi sosial dan individual, sebagai hamba dan sebagai penerima tanggungjawab. Kesemuanya itu adalah yang terdapat dalam diri manusia.
Banyak teori yang telah dikemukakan untuk mengetahui tentang manusia. Mulai dari teori evolusi Darwin hingga penciptaan, mulai dari biologi sampai psikologi terpopuler. Seluruhnya mencoba menjelaskan tentang manusia dan hakikatnya.
Berbagai teori mulai dari yang klasik hingga yang paling modern belum dapat secara tuntas membahas tentang manusia. Bilamana pendekatan yang digunakan berbeda, maka hasilnya juga terlihat berbeda. Hal itu menyebabkan seolah-olah teori-teori tersebut saling bertentangan meski yang diperbincangkan adalah satu pokok bahasan, yaitu manusia.
Namun sebagai umat beragama, yang menjadi pijakan hendaknya adalah pengertian yang diberikan oleh agama. Dan Islam telah memiliki penjelasannya sendiri tentang manusia dan kompleksitasnya. Dalam makalah ini yang akan dibahas adalah tentang manusia dalam dimensi sebagai hamba dan sekaligus penerima dan pemikul tanggungjawab sebagai khalifah.  
1.      Manusia sebagai Hamba
Q.S Adz-Dzariyat (51) ayat 56                                                                         
 “dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Allah)”.
Hamba, dalam bahasa Arab adalah ‘abd atau ‘ābid yang secara umum dapat diartikan sebagai tunduk, patuh, dan menghambakan diri. Dengan kata lain, hamba adalah orang yang tunduk, patuh dan menghambakan diri terhadap sesuatu. Sedangkan ketundukan, kepatuhan, dan penghambaaan diri yang dilakukan disebut sebagai ibadah. Dalam Islam, ibadah tersebut hanya patut dilakukan kepada Allah SWT dan sifatnya absolut atau mutlak. Meskipun bersifat mutlak, namun semua ibadah yang diperintahkan Allah adalah untuk kepentingan manusia.
Apabila kita perhatikan kewajiban ibadah yang disyari’atkan Allah semuanya berada dalam batas-batas kemampuan kita (1995: 56). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya semacam rukhshah atau keringanan dalam melaksanakannya jika terdapat keadaan atau situasi yang tidak pada sewajarnya. Misalnya, wudlu dapat digantikan dengan tayammum apabila sama sekali tidak menemukan air, atau ada air namun teramat sangat terbatas. Atau jika tidak dapat melaksanakan shalat dengan berdiri, maka boleh dengan duduk, jika tak mampu duduk maka dengan berbaring, jika berbaringpun masih sulit maka dengan isyarat. Hal itu dikarenakan ibadah bukanlah tujuan akhir dari penetapannya melainkan sebagai tujuan antara saja, karena tujuan akhirnya adalah untuk menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah (1995: 57).
Seperti halnya malaikat, sebagai hamba manusia dibekali kemampuan yang maksimal untuk melaksanakan semua ketentuan Allah SWT. Meski begitu, Allah tidak menafikan adanya keterbatasan yang juga terdapat dalam diri manusia. Malaikat dianugerahi oleh Allah akal dan pemahaman, naluri untuk taat sepenuhnya, kemampuan berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah, dan kemampuan untuk mengerjakan berbagai pekerjaan berat (Shihab, 2000: 140). Ciri-ciri ini seperti juga terdapat dalam Q. S At-Tahrim, 66: 6 (Al-Maraghi 1, 1992: 132) sebagai berikut:
Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Manusia selain diciptakan dengan bekal seperti akal dan  pemahaman serta naluri untuk taat seperti malaikat, yang membedakannya dengan malaikat adalah adanya kebebasannya untuk memilih yang hal tersebut sama sekali tidak ada pada malaikat. Hal ini terdapat dalam Q. S Ar-Ra’d,13 ayat 11 yang sangat populer sebagai dalil tentang kebebasan manusia memilih jalannya, sebagai berikut:
“.....sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.....”
Terdapat juga kecenderungan pada keburukan dalam diri manusia seperti terdapat dalam Q. S Asy-Syams, 91: 8 sebagai berikut:
 “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Kedua ayat tersebut dapat dimaknai bahwa manusia memiliki kecenderungan baik dan buruk dalam dirinya dan nasibnya dipengaruhi oleh pemilihan jalan yang dilakukannya. Jika ia menuruti kecenderungan baik maka konsekuensi logisnya adalah kebaikan yang diperoleh. Sebaliknya, bilamana ia mengikuti bisikan keburukan, maka ia akan memperoleh keburukan. Meski demikian, pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah dengan fitrah. Fitrah tersebut dapat diartikan sebagai kecenderungan manusia pada kebaikan dan menyukai segala hal yang baik.
  Adanya kebebasan manusia untuk memilih jalannya membuat ia memiliki nilai lebih terutama dalam ketaatannya kepada Allah. Berbeda dengan malaikat yang memang ketaatannya adalah mutlak karena Allah telah menciptakan malaikat dengan disain taat dan patuh sepenuhnya tanpa ada naluri lain. Jadi, ketaatan malaikat adalah memang mereka dicipatakan hanya untuk taat semata, bukan karena mereka bisa memilih untuk taat atau tidak seperti halnya manusia.
Dalam ushul fiqh terdapat kaidah umum bahwa dalam hal kebaikan ketika berniat maka Allah mencatat sebagai satu pahala dan jika ia melaksanakan niat baiknya maka dicatat sebagai dua pahala. Namun berbeda dengan keburukan. Dalam keburukan, nilai keburukan akan dicatat sebagai keburukan jika benar-benar telah dilakukan. Jika hanya berhenti pada niat saja maka ia tidak dicatat sebagai keburukan. Dan niat buruk yang benar-benar dilakukan maka hanya dicatat sebagai satu keburukan. Adanya kaidah tersebut dapat dimaknai sebagai motivasi yang besar untuk kebaikan. Sedangkan keburukan baru dapat dinialai sebagai keburukan manakala ia benar-benar telah dilakukan (ada unsur kesengajaan dan kesadaran penuh).
Dalam Q. S Adz-Dzariyat, 51 ayat 56 tersebut di atas bahwa Allah menciptakan jin dan manusia untuk menyembah dan beribadah hanya kepada Allah. Meski begitu, relasi yang dibangun oleh Allah terhadap para makhluk dan para hamba-Nya bukanlah seperti hubungan antara para tuan dengan para budaknya yang saling membutuhkan satu sama lain (Al-Maraghi 27, 1992: 25). Penciptaan makhluk dan perintah untuk beribadah adalah hanya untuk kepentingan hamba semata, bukan untuk kepentingan Allah. Ke-Maha Agungan Allah tidaklah ditentukan oleh taat atau tidaknya hamba, tetapi memang Allah sendiri telah Maha Agung tanpa semua itu. Bahkan bukti ke-Maha Agung-Nya adalah adanya semua ciptaan Allah baik yang di langit maupun di bumi beserta isinya.
2.      Manusia sebagai Khalifah
Q.S Al-Baqarah (2) ayat 30
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Khalifah berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan sebagai yang datang kemudian atau yang menggantikan. Menurut Quraish Shihab, kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya (2000: 140). Kata khalifah dalam Al-Qur’an digunakan bagi siapa saja yang kekuasaan mengelola wilayah baik secara luas maupun terbatas (Sya’roni, Badruddin, Tang, 2000: 111). Sedangkan sebagian besar para mufasir berpendapat bahwa yang dimaksud khalifah dalam ayat 30 dari Q. S Al-Baqarah adalah sebagai pengganti Allah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya kepada manusia (Al-Maraghi I, 1992: 135). Dari sekian pengertian tentang khalifah maka dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah siapa saja yang diberi wewenang untuk mengelola wilayah baik secara luas maupun terbatas sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah sebagai pemberi wewenang tersebut.
Sebagai khalifah manusia telah diberi bekal kemampuan yang sangat penting dan berguna bagi tugasnya tersebut. Ketika manusia dapat menggunakan segala bekal kemampuan tersebut maka tugasnya dapat dilaksanakan dengan optimal. Bekal tersebut diantaranya adalah pengetahuan tentang semua nama, karakteristik, dan fungsi benda-benda (Shihab, 2000: 143). Selain itu, Allah juga memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati (al-af’idah) sebagaimana Q. S As-Sajdah, 32: 9 sebagai berikut:
 “Kemudian Dia (Allah) menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Pendengaran, penglihatan, dan hati dalam penggunaannya harus sesuai dengan perintah Allah terlebih manusia sebagai wakil Allah di bumi dengan tugas memakmurkan bumi tersebut untuk kesejahteraan manusia. Penggunaan ketiganya dapat melahirkan kebijaksaan dalam diri manusia apalagi jika ketiganya diselaraskan dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, Quraish Shihab menulis bahwa kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas ke-khalifah-an (2000: 140). Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa “sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggungjawab ke-khalifah-an di bumi” (Wawasan Al-Qur’an, 1996: 282).
Dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Quraish Shihab berpendapat bahwa setiap aktivitas istikhlaf (pembangunan) baru dapat dinilai sesuai dengan etika agama ketika aktivitas tersebut mengantar manusia menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut (2004: 161). Prof. Mubyarto (dalam Quraish Shihab) mengemukakan beberapa hal untuk mencapai rasa aman tersebut, yaitu:
1.      Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan harus bebas dari bahaya pemerkosaan
2.      Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan menghabiskan tenaganya
3.      Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai cita-citanya
4.      Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya
5.      Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak semata-mata menjadi obyek penentuan orang lain.
Selain sebagai khalifah, manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai hamba-Nya. Hubungan keduanya sangat erat bahkan saling mempengaruhi. Jika manusia sebagai hamba benar-benar melaksanakan kehambaannya sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, maka ketika ia menjadi pemimpin ia akan pula berlaku sesuai dengan petunjuk-Nya. Begitu pula ketika ia menjadi khalifah seyogyanya ia tidak lupa bahwa ia adalah hamba dari yang Maha Kuasa yang memberikannya wewenang. Seperti yang tertuang dalam Q. S. Al-Hajj, 22: 41 sebagai berikut:   
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.
Hubungan antara manusia sebagai hamba dan khalifah melahirkan posisi saling terkait. Sebagai khalifah ia memiliki hak prerogatif dan wewenang dalam kerputusannya untuk mengatur dan mengelola bumi beserta isinya. Sedangkan sebagai hamba, hak dan wewenang tersebut harus disesuaikan dengan aturan yang telah diberikan Allah. jadi, ketika manusia menjadi khalifah, maka ia harus ingat bahwa tujuan penciptaannya adalah hanya untuk mengabdi kepada Allah.
Aisyah bint Syati dalam bukunya yang berjudul Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an menyebutkan bahwa “hakikat Adam bukanlah hakikat malaikat dan bukan pula hakikat iblis” (1999: 19). Ini menyiratkan bahwa manusia –seperti telah disinggung dalam manusia sebagai hamba- memiliki potensi untuk menjadi baik dan taat seperti malaikat namun ia juga memiliki dorongan untuk membangkang seperti iblis. Jika hal ini dikaitkan dengan manusia sebagai khalifah, ketika ia dalam menjadi pemimpin lebih menuruti bisikan keburukan maka ia akan lebih jahat daripada iblis. Sedangkan jika ia meredam dorongan keburukan dan lebih mengutamakan kebaikan maka ia akan lebih mulia derajatnya dibandingkan malaikat.   
“Seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal, dan budayanya terpelihara” (Shihab, 2004: 166). Ia juga menulis bahwa ada lima sifat terpuji yang selayaknya dimiliki oleh pemimpin, yaitu yang pertama, memberikan petunjuk dan arahan terhadap sesuatu; yang kedua adalah mendorong dalam hal kebajikan; yang ketiga, beriman dan bertaqwa kepada Allah; yang keempat, menetapi kebenaran dan keadilan; dan yang kelima adalah sabar, baik terhadap nikmat maupun cobaan dalam ia sebagai hamba meupun dalam kepemimpinannya (2004: 165). Dalam kepemimpinan ada dua hal yang harus ada, yaitu pemimpin dan yang dipimpin. Adanya kedua hal pokok tersebut mengisyaratkan adanya hubungan timbal balik antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Hal itu karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan yang lain dalam hidup dan kehidupannya.       
C.      Kesimpulan
1.      Manusia diciptakan Allah adalah semata-mata untuk menyembah dan mengabdi hanya kepada-Nya.
2.      Penyembahan tersebut bersifat mutlak dan maksimal sesuai dengan kemampuan manusia
3.      Relasi yang dibangun Allah dengan manusia adalah pemilik dengan hamba-Nya. Bukan seperti tuan dengan budak yang saling membutukan satu sama lain
4.      Ibadah yang diperintahkan oleh Allah adalah semata-mata untuk kepentingan dan kebaikan manusia itu sendiri dan bukan untuk kepentingan Allah
5.      Manusia sebagai ­khalifah merupakan wakil Allah untuk melaksanakan segala ketentuan Allah sesuai petunjuk-Nya
6.      Ke-khalifah-an tersebut juga terkait dengan perannya sebagai hamba untuk melaksanakan tugas kehambaannya
D.      Daftar Pustaka
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, 1992, Tafsir Al-Maraghi I (Terjemah), Semarang: CV. Toha Putra
----------, 1992, Tafsir Al-Maraghi 27 (Terjemah), Semarang: CV. Toha Putra
Aisyah bint Syati, 1999, Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus
Biro Bina Mental Spiritual DKI Jakarta, 1995, Tema-tema Pokok Al-Qur’an Bagian I, Jakarta
----------, 1995, Tema-tema Pokok Al-Qur’an Bagian III, Jakarta
M. Sya’roni, Badruddin, M. Tang, 2000, Studi Al-Qur’an (Epistemologi Tafsir dan Pandangan Al-Qur’an, Yogyakarta: Idea Press
M. Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
----------, 2004, Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Bandung: Mizan
----------, 2000, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an), Ciputat: Lentera Hati 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tadarus Salih Ritual Kyai Hasyim Asy’ari

Tadarus Salih Ritual Kyai Hasyim Asy’ari Oleh: Anisul Fahmi Kyai Hasyim Asy’ari sosok figur yang sangat produktif dalam dunia k...