Relevansi
Antropologi Agama Terhadap Studi al-Qur’an dan Hadits
Oleh: Anisul
Fahmi
I.
Pengertian Antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari
tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal
dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat
istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.Antropologi lebih
memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti
kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti
sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan
kehidupan sosialnya.
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam, berisikan kumpulan kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang menjadi petunjuk [hudan]
dan pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka. Sedangkan sunnah adalah
cara yang bisa ditempuh (inisiatif) berdasarkan ajaran Nabi Muhammad Saw. Telah
disepakati bersama bahwa sebagai sumber hukum Islam Al-Qur’an menempati posisi
pertama kemudian diikuti oleh Hadits sebagai sumber kedua.
Tidak henti-hentinya studi atau kajian terhadap Al-Qur’an dan
Hadits dilakukan baik oleh ummat Islam sendiri bahkan oleh para intelektual non
muslim untuk mengungkapkan tekstualitas maupun kontekstualisasi dari kedua
sumber hukum diatas. Dalam perkembangannya, kajian-kajian tersebut berkembang
sehingga tidak hanya berkutat pada produk kajian keilmuan yang telah ada sejak
masa lampau akan tetapi dikaitkan dengan keilmuan kekinian yang disajikan
secara sistematis dan menggunakan pendekatan metode yang akurat.
Salah satu dari baberapa metode dan pendekatan yang akhir-akhir ini
sering digunakan dalam kajian Al-Qur’an dan Hadits adalah pendekatan sosiologi,
antropologi, psikologi dan hermeneutis. Dalam makalah ini penulis akan mencoba
mengungkapkan Relevansi antropologi agama terhadap Studi Al-Quran dan Hadits.
II.
Al-Qur’an dan
Manusia
Al-Qur’an adalah kitab untuk manusia karena seluruhnya berbicara
untuk manusia atau berbicara tentang manusia. Manusia adalah animal symbolicium
atau hewan yang yang mampu menggunakan menciptakan dan mengembangkan
simbol-simbol untuk menyampaikan pesan dari individu kepada individu yang lain.
Yang membedakan manusia dengan hewan adalah kemampuan berbahasa yang merupakan
sebuah sistem pemaknaan. Sementara menurut Jalaludin Rahmat, al-Qur’an
memandang manusia sebagai makhluk
biologis, psikologis dan
sosial. Sebagaimana ada
hukum-hukum yang berkenaan
dengan karakteristik biologis
manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk
psikologis dan makhluk sosial.
Berbicara masalah Antropologi maka yang menjadi objek adalah
manusia sebagai makhluk sosial yang secara definisi maupun objek kajiannya
hampir sama namun berbeda dengan kajian sosiologi. Kemudian dihadapkan dengan
Al-Qur’an dan Hadits yang notabene merupakan sumber primer umat islam dalam
beribadah dimana dipastikan bahwa didalamnya akan muncul konsep-konsep sosial
manusia maka disanalah Antropologi berperan. Al-Qur’an dan Hadits menjadi
pegangan dalam kehidupan sehari-hari perwujudan al-Qur’an dan Hadits dalam
kegiatan ekonomi, politik bahkan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam
beberapa seminar dan diskusi diistilahkan sebagai The Living Qur’an and Hadits.
Meskipun belum begitu menarik perhatian untuk dikaji, namun hal ini perlu
disikapi sehingga akan selalu lahir pemikiran-pemikiran yang progresif dalam
beragama dan berkehidupan sosial.
III.
Al-Qur’an yang
Hidup
Berdasarkan asumsi yang dipaparkan diatas al-Qur’an tidak lagi
merupakan suatu benda tanpa makna tetapi merupakan:
Sebuah jagad simbolik tersendiri
Salah satu unsur simbolik dari sebuah jagad simbol yang lebih besar
[kehidupan manusia itu sendiri].
Terjadi pergeseran paradigma sehingga teks dimaknai dimaknai secara
metaforis. Teks merupakan sebuah model karena teks sesungguhnya adalah gejala
sosial itu sendiri, bukan sebuah kitab, surat atau ayat. Beberapa paradigma
dalam “Mencari Model Penelitian Sosial Budaya Dalam Studi Al-Qur’an dan Hadits”
adalah sebagai berikut:
a.
Paradigma
Akulturasi
Peneliti akan mencoba mengetahui proses dan hasil interaksi antara
ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’an dengan sistem kepercayaan atau budaya
lokal dalam suatu masyarakat.
b.
Paradigma
Fungsional
Digunakan untuk mengetahui fungsi-fungsi dari suatu gejala sosial
budaya. Fungsi ini bisa merupakan fungsi sosial atau fungsi kultural suatu
gejala sosial budaya, seperti pola-pola perilaku yang muncul dari pemaknaan-pemaknaan
tertentu terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu akan dikatahui juga fungsi
sosio-kultural dari al-Qur’an itu sendiri.
c.
Paradigma
Struktural
Mengungkap struktur yang ada dibalik gejala-gejala sosial budaya
yang dipelajari atau membangun sebuah model yang juga merupakan struktur
sehingga akan dipahami gejala pemaknaan al-Qur’an lewat model struktural
tertentu.
d.
Paradigma
Fenomenologi
Berusaha mengungkap kesadaran atau pengetahuan pelaku mengenai
dunia tempat mereka berada, kesadaran mereka mengenai perilaku-perilaku mereka
sendiri. Hal ini dianggap penting karena pemahaman atau pengetahuan mengenai
dunia inilah yang dianggap sebagai dasar bagi perwujudan pola-pola perilaku
tertentu diwujudkan.
e.
Paradigma
Hermeneutic (Interpretive)
Paradigma hermeneutic berbeda dengan hermeneutic dalam kajian teks,
karena teks bukan lagi sesuatu yang tertulis tetapi gejala sosial itu sendiri.
Dalam artian tertentu gejala sosial budaya memang dapat dikatakan sebagai teks,
sebab gejala ini terbangun dari sejumlah simbol-simbol, seperti juga halnya
sebuah teks. Sebagai sebuah teks maka gejala sosial tersebut kemudian harus
dibaca, ditafsir. Oleh karena itu gejala sosial-budaya tidak sama persis.
Dengan teks maka mau tidak mau diperlukan metode yang lain untuk membacanya,
untuk menafsirnya. Disinilah terletak perbedaan antara hermeneutic.
IV. Antropologi Al-Qur'an (Manusia sebagai Hamba dan Khalifah)
Manusia merupakan makhluk yang misterius sekaligus kompleks. Ia
memiliki berbagai dimensi. Ada jiwa dan raga, sisi ruhani dan sisi jasmani,
segi sosial dan individual, sebagai hamba dan sebagai penerima tanggungjawab.
Kesemuanya itu adalah yang terdapat dalam diri manusia.
Banyak teori yang telah dikemukakan untuk mengetahui tentang
manusia. Mulai dari teori evolusi Darwin hingga penciptaan, mulai dari biologi
sampai psikologi terpopuler. Seluruhnya mencoba menjelaskan tentang manusia dan
hakikatnya.
Berbagai teori mulai dari yang klasik hingga yang paling modern
belum dapat secara tuntas membahas tentang manusia. Bilamana pendekatan yang
digunakan berbeda, maka hasilnya juga terlihat berbeda. Hal itu menyebabkan
seolah-olah teori-teori tersebut saling bertentangan meski yang diperbincangkan
adalah satu pokok bahasan, yaitu manusia.
Namun sebagai umat beragama, yang menjadi pijakan hendaknya adalah
pengertian yang diberikan oleh agama. Dan Islam telah memiliki penjelasannya
sendiri tentang manusia dan kompleksitasnya. Dalam makalah ini yang akan
dibahas adalah tentang manusia dalam dimensi sebagai hamba dan sekaligus
penerima dan pemikul tanggungjawab sebagai khalifah.
1. Manusia sebagai Hamba
Q.S
Adz-Dzariyat (51) ayat 56
“dan Aku (Allah) tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
(Allah)”.
Hamba, dalam bahasa Arab adalah ‘abd atau ‘ābid yang secara umum
dapat diartikan sebagai tunduk, patuh, dan menghambakan diri. Dengan kata lain,
hamba adalah orang yang tunduk, patuh dan menghambakan diri terhadap sesuatu.
Sedangkan ketundukan, kepatuhan, dan penghambaaan diri yang dilakukan disebut
sebagai ibadah. Dalam Islam, ibadah tersebut hanya patut dilakukan kepada Allah
SWT dan sifatnya absolut atau mutlak. Meskipun bersifat mutlak, namun semua
ibadah yang diperintahkan Allah adalah untuk kepentingan manusia.
Apabila kita perhatikan kewajiban ibadah yang disyari’atkan Allah
semuanya berada dalam batas-batas kemampuan kita (1995: 56). Hal tersebut
ditunjukkan dengan adanya semacam rukhshah atau keringanan dalam
melaksanakannya jika terdapat keadaan atau situasi yang tidak pada sewajarnya.
Misalnya, wudlu dapat digantikan dengan tayammum apabila sama sekali tidak
menemukan air, atau ada air namun teramat sangat terbatas. Atau jika tidak
dapat melaksanakan shalat dengan berdiri, maka boleh dengan duduk, jika tak
mampu duduk maka dengan berbaring, jika berbaringpun masih sulit maka dengan
isyarat. Hal itu dikarenakan ibadah bukanlah tujuan akhir dari penetapannya
melainkan sebagai tujuan antara saja, karena tujuan akhirnya adalah untuk
menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah (1995: 57).
Seperti halnya malaikat, sebagai hamba manusia dibekali kemampuan
yang maksimal untuk melaksanakan semua ketentuan Allah SWT. Meski begitu, Allah
tidak menafikan adanya keterbatasan yang juga terdapat dalam diri manusia. Malaikat
dianugerahi oleh Allah akal dan pemahaman, naluri untuk taat sepenuhnya,
kemampuan berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah, dan kemampuan untuk
mengerjakan berbagai pekerjaan berat (Shihab, 2000: 140). Ciri-ciri ini seperti
juga terdapat dalam Q. S At-Tahrim, 66: 6 (Al-Maraghi 1, 1992: 132) sebagai
berikut:
Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Manusia selain diciptakan dengan bekal seperti akal dan pemahaman serta naluri untuk taat seperti
malaikat, yang membedakannya dengan malaikat adalah adanya kebebasannya untuk
memilih yang hal tersebut sama sekali tidak ada pada malaikat. Hal ini terdapat
dalam Q. S Ar-Ra’d,13 ayat 11 yang sangat populer sebagai dalil tentang
kebebasan manusia memilih jalannya, sebagai berikut:
“.....sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.....”
Terdapat juga kecenderungan pada keburukan dalam diri manusia
seperti terdapat dalam Q. S Asy-Syams, 91: 8 sebagai berikut:
“Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Kedua ayat tersebut dapat dimaknai bahwa manusia memiliki
kecenderungan baik dan buruk dalam dirinya dan nasibnya dipengaruhi oleh
pemilihan jalan yang dilakukannya. Jika ia menuruti kecenderungan baik maka
konsekuensi logisnya adalah kebaikan yang diperoleh. Sebaliknya, bilamana ia
mengikuti bisikan keburukan, maka ia akan memperoleh keburukan. Meski demikian,
pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah dengan fitrah. Fitrah tersebut
dapat diartikan sebagai kecenderungan manusia pada kebaikan dan menyukai segala
hal yang baik.
Adanya kebebasan manusia
untuk memilih jalannya membuat ia memiliki nilai lebih terutama dalam
ketaatannya kepada Allah. Berbeda dengan malaikat yang memang ketaatannya
adalah mutlak karena Allah telah menciptakan malaikat dengan disain taat dan
patuh sepenuhnya tanpa ada naluri lain. Jadi, ketaatan malaikat adalah memang
mereka dicipatakan hanya untuk taat semata, bukan karena mereka bisa memilih
untuk taat atau tidak seperti halnya manusia.
Dalam ushul fiqh terdapat kaidah umum bahwa dalam hal kebaikan
ketika berniat maka Allah mencatat sebagai satu pahala dan jika ia melaksanakan
niat baiknya maka dicatat sebagai dua pahala. Namun berbeda dengan keburukan.
Dalam keburukan, nilai keburukan akan dicatat sebagai keburukan jika
benar-benar telah dilakukan. Jika hanya berhenti pada niat saja maka ia tidak
dicatat sebagai keburukan. Dan niat buruk yang benar-benar dilakukan maka hanya
dicatat sebagai satu keburukan. Adanya kaidah tersebut dapat dimaknai sebagai
motivasi yang besar untuk kebaikan. Sedangkan keburukan baru dapat dinialai
sebagai keburukan manakala ia benar-benar telah dilakukan (ada unsur
kesengajaan dan kesadaran penuh).
Dalam Q. S Adz-Dzariyat, 51 ayat 56 tersebut di atas bahwa Allah
menciptakan jin dan manusia untuk menyembah dan beribadah hanya kepada Allah.
Meski begitu, relasi yang dibangun oleh Allah terhadap para makhluk dan para
hamba-Nya bukanlah seperti hubungan antara para tuan dengan para budaknya yang
saling membutuhkan satu sama lain (Al-Maraghi 27, 1992: 25). Penciptaan makhluk
dan perintah untuk beribadah adalah hanya untuk kepentingan hamba semata, bukan
untuk kepentingan Allah. Ke-Maha Agungan Allah tidaklah ditentukan oleh taat
atau tidaknya hamba, tetapi memang Allah sendiri telah Maha Agung tanpa semua
itu. Bahkan bukti ke-Maha Agung-Nya adalah adanya semua ciptaan Allah baik yang
di langit maupun di bumi beserta isinya.
2. Manusia sebagai
Khalifah
Q.S Al-Baqarah (2) ayat 30
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Khalifah berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan sebagai yang
datang kemudian atau yang menggantikan. Menurut Quraish Shihab, kata khalifah
pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang
datang sebelumnya (2000: 140). Kata khalifah dalam Al-Qur’an digunakan bagi
siapa saja yang kekuasaan mengelola wilayah baik secara luas maupun terbatas
(Sya’roni, Badruddin, Tang, 2000: 111). Sedangkan sebagian besar para mufasir
berpendapat bahwa yang dimaksud khalifah dalam ayat 30 dari Q. S Al-Baqarah
adalah sebagai pengganti Allah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya kepada
manusia (Al-Maraghi I, 1992: 135). Dari sekian pengertian tentang khalifah maka
dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah siapa saja yang diberi wewenang untuk
mengelola wilayah baik secara luas maupun terbatas sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Allah sebagai pemberi wewenang tersebut.
Sebagai khalifah manusia telah diberi bekal kemampuan yang sangat
penting dan berguna bagi tugasnya tersebut. Ketika manusia dapat menggunakan
segala bekal kemampuan tersebut maka tugasnya dapat dilaksanakan dengan
optimal. Bekal tersebut diantaranya adalah pengetahuan tentang semua nama,
karakteristik, dan fungsi benda-benda (Shihab, 2000: 143). Selain itu, Allah
juga memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati (al-af’idah) sebagaimana Q.
S As-Sajdah, 32: 9 sebagai berikut:
“Kemudian Dia (Allah)
menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur”.
Pendengaran, penglihatan, dan hati dalam penggunaannya harus sesuai
dengan perintah Allah terlebih manusia sebagai wakil Allah di bumi dengan tugas
memakmurkan bumi tersebut untuk kesejahteraan manusia. Penggunaan ketiganya
dapat melahirkan kebijaksaan dalam diri manusia apalagi jika ketiganya
diselaraskan dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, Quraish Shihab
menulis bahwa kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah
pelanggaran terhadap makna dan tugas ke-khalifah-an (2000: 140). Lebih lanjut,
ia juga mengatakan bahwa “sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar
manusia memikul tanggungjawab ke-khalifah-an di bumi” (Wawasan Al-Qur’an, 1996:
282).
Dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Quraish Shihab berpendapat bahwa setiap
aktivitas istikhlaf (pembangunan) baru dapat dinilai sesuai dengan etika agama
ketika aktivitas tersebut mengantar manusia menjadi lebih bebas dari
penderitaan dan rasa takut (2004: 161). Prof. Mubyarto (dalam Quraish Shihab)
mengemukakan beberapa hal untuk mencapai rasa aman tersebut, yaitu:
1. Kebutuhan dasar
setiap masyarakat harus terpenuhi dan harus bebas dari bahaya pemerkosaan
2. Manusia terjamin
dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan menghabiskan tenaganya
3. Manusia bebas untuk
memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai cita-citanya
4. Ada kemungkinan untuk
mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya
5. Partisipasi dalam
kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak semata-mata menjadi obyek
penentuan orang lain.
Selain sebagai khalifah, manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai
hamba-Nya. Hubungan keduanya sangat erat bahkan saling mempengaruhi. Jika
manusia sebagai hamba benar-benar melaksanakan kehambaannya sesuai dengan
petunjuk Allah dan Rasul-Nya, maka ketika ia menjadi pemimpin ia akan pula
berlaku sesuai dengan petunjuk-Nya. Begitu pula ketika ia menjadi khalifah
seyogyanya ia tidak lupa bahwa ia adalah hamba dari yang Maha Kuasa yang
memberikannya wewenang. Seperti yang tertuang dalam Q. S. Al-Hajj, 22: 41
sebagai berikut:
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah
kembali segala urusan”.
Hubungan antara manusia sebagai hamba dan khalifah melahirkan
posisi saling terkait. Sebagai khalifah ia memiliki hak prerogatif dan wewenang
dalam kerputusannya untuk mengatur dan mengelola bumi beserta isinya. Sedangkan
sebagai hamba, hak dan wewenang tersebut harus disesuaikan dengan aturan yang
telah diberikan Allah. jadi, ketika manusia menjadi khalifah, maka ia harus
ingat bahwa tujuan penciptaannya adalah hanya untuk mengabdi kepada Allah.
Aisyah bint Syati dalam bukunya yang berjudul Manusia dalam
Perspektif Al-Qur’an menyebutkan bahwa “hakikat Adam bukanlah hakikat malaikat
dan bukan pula hakikat iblis” (1999: 19). Ini menyiratkan bahwa manusia
–seperti telah disinggung dalam manusia sebagai hamba- memiliki potensi untuk
menjadi baik dan taat seperti malaikat namun ia juga memiliki dorongan untuk
membangkang seperti iblis. Jika hal ini dikaitkan dengan manusia sebagai
khalifah, ketika ia dalam menjadi pemimpin lebih menuruti bisikan keburukan
maka ia akan lebih jahat daripada iblis. Sedangkan jika ia meredam dorongan
keburukan dan lebih mengutamakan kebaikan maka ia akan lebih mulia derajatnya
dibandingkan malaikat.
“Seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu
wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya
dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal, dan
budayanya terpelihara” (Shihab, 2004: 166). Ia juga menulis bahwa ada lima
sifat terpuji yang selayaknya dimiliki oleh pemimpin, yaitu yang pertama,
memberikan petunjuk dan arahan terhadap sesuatu; yang kedua adalah mendorong
dalam hal kebajikan; yang ketiga, beriman dan bertaqwa kepada Allah; yang
keempat, menetapi kebenaran dan keadilan; dan yang kelima adalah sabar, baik
terhadap nikmat maupun cobaan dalam ia sebagai hamba meupun dalam
kepemimpinannya (2004: 165). Dalam kepemimpinan ada dua hal yang harus ada,
yaitu pemimpin dan yang dipimpin. Adanya kedua hal pokok tersebut
mengisyaratkan adanya hubungan timbal balik antara yang memimpin dengan yang
dipimpin. Hal itu karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang akan
selalu membutuhkan yang lain dalam hidup dan kehidupannya.
C. Kesimpulan
1. Manusia diciptakan
Allah adalah semata-mata untuk menyembah dan mengabdi hanya kepada-Nya.
2. Penyembahan tersebut
bersifat mutlak dan maksimal sesuai dengan kemampuan manusia
3. Relasi yang dibangun
Allah dengan manusia adalah pemilik dengan hamba-Nya. Bukan seperti tuan dengan
budak yang saling membutukan satu sama lain
4. Ibadah yang diperintahkan
oleh Allah adalah semata-mata untuk kepentingan dan kebaikan manusia itu
sendiri dan bukan untuk kepentingan Allah
5. Manusia sebagai
khalifah merupakan wakil Allah untuk melaksanakan segala ketentuan Allah
sesuai petunjuk-Nya
6. Ke-khalifah-an
tersebut juga terkait dengan perannya sebagai hamba untuk melaksanakan tugas
kehambaannya
D. Daftar Pustaka
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, 1992, Tafsir Al-Maraghi I (Terjemah),
Semarang: CV. Toha Putra
----------, 1992, Tafsir Al-Maraghi 27 (Terjemah), Semarang: CV.
Toha Putra
Aisyah bint Syati, 1999, Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an,
Jakarta: Pustaka Firdaus
Biro Bina Mental Spiritual DKI Jakarta, 1995, Tema-tema Pokok
Al-Qur’an Bagian I, Jakarta
----------, 1995, Tema-tema Pokok Al-Qur’an Bagian III, Jakarta
M. Sya’roni, Badruddin, M. Tang, 2000, Studi Al-Qur’an
(Epistemologi Tafsir dan Pandangan Al-Qur’an, Yogyakarta: Idea Press
M. Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
----------, 2004, Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat), Bandung: Mizan
----------, 2000, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an), Ciputat: Lentera Hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar