Sabtu, 08 Juni 2013

Telaah Kitab Mustadrak

                                     Pendahuluan
Sebagai pakar hadis yang muncul pada abad 4 H, al-Hakim al-Naisaburi (321-405) dengan karya monumentalnya al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain, merupakan tokoh besar yang tidak bisa dinafikan bgitu saja. Meskipun pamor ketenarannya di bawah pengarang-pengarang Kutb al-Sittah, tetapi kiprahnya dalam menghadirkan konsep-konsep teoritis dan praktis tetap memberikan kontribusi yang cukup besar dalam ranah kajian hadis maupun ulum al-hadis pada masa-masa berikutnya.
Untuk itulah laporan (book review) ini akan seklias mengupas secara gobal kitab al-Mustadrak ‘ala Sahihain yang mencakup sekilas bografi al-Hakim (nama dan nasab), dan sekilas tentang al-Mustadrak ‘ala sahihain (latar belakang penyusunan kitab, isi, metode dan krtieria, klasifikasi hadis dan status hadis yang terdapat dalam kita al-Mustadrak).
B.     SEKILAS BIOGRAFI AL-HAKIM
1.      Nama dan Nasab al-Hakim
Al-Hakim yang memiliki nama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu’aim bin al-Bayyi’ al-Dabbi al-Tahmani al-Naisaburi. Beliau dilahirkan di naisabur pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 321 H. Beliau sering disebut dengan Abu ‘Abdullah al-Hakim al-Naisaburi atau Ibn al-Bayyi’ atau al-Hakim Abu Abdullah, untuk menghindari kekeliruan nama al-Hakim lain yang sama, seperti Abu Ahmad al-Hakim, Abu ‘Ali al-Hakim al-Kabir (guru Abu Abdullah al-Hakim), ataupun kalifah Fatimiyah di Mesir, Al-Hakim bin Amrullah.
C.    KITAB AL-MUSTADRAK ‘ALA AL-SAHIHAIN
1.      Latar Belakang Penyusunan
Al-Hakim tidak menyebutkan secara eksplisit tentang latar belakang penyusunan kitab mustadrak ‘ala al-sahihain, yang mulai disusun tahun 373 H. namun secara implisit dapat terekam, bahwa inisiatif penulisan tersebut  berangkat dari asumsi al-Hakim bahwa masih banyak hadis shahih berserakan, baik yang belum di catat oleh para ulama, maupun yang tercantum dalam beberapa kitab hadis yang ada. Disamping itu penegasan pengarang shahihain, Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa tidak semua hadis shahih telah terangkum dalam kitab shahihnya. Dua hal tersebut yang mendorong al-Hakim menyusun kitab berdasar kaedah-kaedah ilmiah dalam menentukan keabsahan sanad dan matan.
2.      Penamaan Kitab
Kitab tulisan al-Hakim dinamakan al-mustadrak artinya ditambahkan atau diususlkan atas shahihain. Secara definisi mustadrak  adalah:
هي كتاب يخرج فيه صاحبه أحاديث لم يخرجها كتاب ما من كتب السنة رغم انها على شرطه
Al-hakim menamakan demkian, karena berasumsi bahwa hadis-hadis yang disusun dalam kitabnya merupakan hadis-hadis shahih atau memenuhi keshahihan Bukhari dan Muslim, dan belum tercantum dalam Shahih Bukhari maupun Shahih Muslim.
3. Isi Kitab
Kitab ini tersusun dalam 4 jilid besar yang bermuatan 8.690 hadis dan mencakup 50 bahasan (kitab). Kitab karya al-Hakim ini termasuk kategori itab al-Jami’, karena muatan hadisnya terdiri dari berbagai dimensi, aqidah, syariah, akhlaq, tafsir, sirah, dsb.
Adapun rincian jumlah hadis dikaitkan dengan temanya adalah: aqidah 251 hadis; ibadah 1277 hadis; hokum halal haram 2519 hadis; takwil mimpi 32 hadis; pengobatan 73 hadis; rasul-rasu 141 hadis; 1218 hadis tentang biografi sahabat; huru-hara dan peperangan 347 hadis; kegoncangan hari kiamat 911 hadis; tafsir 974 hadis; dan fadhail al-Quran 70 hadis.
Adapun sistematika Kitabnya, mengikuti model yang dipakai oleh Bukhari maupun Muslim, dengan membahas berbagai aspek materi dan membaginya dalam kitab-kitab (tema-tema tertentu) dan sub-subnya. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
Jilid I:
1.      Kitab Iman; 287 hadis
2.      Kitab Ilmu; 155 hadis
3.      Kitab Thaharah; 228 hadis
4.      Kitab Shalat; 352 hadis
5.      Kitab al-Jum’ah; 82 hadis
6.      Kitab Salat Idain; 29 hadis
7.      Kitab Salat Witir; 34 hadis
8.      Kitab Salat Tathawuu’; 51 hadis
9.      Kitab al-Sahwi; 13 hadis
10.  Kitab Salat istisqa’; 13 hadis 
11.  Kitab Salat Khusuf; 17 hadis
12.  Kitab Khauf; 9 hadis
13.  Kitab al-Janaiz; 162 hadis
14.  Kitab Zakat; 105 hadis
15.  Kitab Siyam; 77 hadis
16.  Kitab Manasik; 192 hadis
17.  Kitab Doa Takbir dan Tahlil; 219 hadis
18.  Kitab Fadail al-Qur’an; 110 hadis
Jilid II:
19.  Kitab Buyu’; 246 hadis
20.  Kitab Jihad; 209 hadis
21.  Kitab Qism al-Fa’i; 59 hadis
22.  Kitab Qital ahl al-Baghy; 28 hadis
23.  Kitab Nikah; 120 hadis
24.  Kitab Talaq; 49 hadis
25.  Kitab ‘Itq; 18 hadis
26.  Kitab Makatib; 1 hadis
27.  Kitab al-Tafsir; 1.129 hadis
28.  Kitab al-Tarikh; 266 hadis
Jilid III:
29.  Kitab Hijrah; 40 hadis
30.  Kitab al-Magazi; 106 hadis
31.  Kitab Ma’rifah al-sahabah; 2000 hadis
Jilid IV:
            Lanjutan no. 31
32.  Kitab Ahkam;127 hadis
33.  Kitab At’imah; 128 hadis,
34.  Kitab Asyribah; 114 hadis
35.  Kitab al-Birr wa al-Shillah; 114 hadis
36.  Kitab al-Libas; 69 hadis
37.  Kitab al-Tibb; 94 hadis
38.  Kitab al-Adahi; 53 hadis
39.  Kitab al-Zabaih; 31 hadis
40.  Kitab al-Taubah wa Inabah; 78 hadis
41.  Kitab al-Adab; 121 hadis
42.  Kitab al-Aiman wa al-Nuzur; 37 hadis
43.  Kitab al-Riqaq; 104 hadis
44.  Kitab al-Faraidi; 76 hadis
45.  Kitab al-Hudud; 150 hadis
46.  Kitab Ta’bir al-Ru’ya; 95 hadis
47.  Kitab al-Ruqa wa al-Tama’im; 27 hadis
48.  Kitab al-Fitan wa al-Malahim; 383 hadis
49.  Kitab Malahim; 128 hadis
50.  Kitab al-Ahwal; 128 hadis
4.      Metode dan Kriteria al-Hakim
Bagaimanapun juga harus di akui bahwa seorang ulama hadis memiliki kriteria ataupun prinsip-prinsip tersendiri dalam menentukan status kesahihan suatu hadis. Di antara prinsip yang dipegang al-Hakim adalah ijtihad, prinsip status sanad dan prinsip status matan:
a.      Ijtihad
Artinya dalam menentukan kesahihan suatu hadis diperlukan ijtihad. Dalam al-Mustadrak-nya al-Hakim menyatakan secara lugas:
“Aku memohon pertolongan Allah untuk meriwayatkan hadis-hadis yang para rawinya adalah siqah. Al-Bukhari, Muslim, atau salah seorang dari mereka telah menggunakan para rawi semacam itu untuk berhujah dengannya. Ini adalah syarat hadis sahih menurut segenap fuqha Islam, bahwa sesungguhnya tambahan sanad-sanad dan matan-matan dari orang-orang terpercaya dapat di terima.”
b.      Prinsip status sanad
Dalam menentukan status hadis, al-Hakim menerapkan daouble standar, yakni tasyadud (ketat) terhadap hadis-hadis yang terkait dengan aqidah dan syari’ah (hokum halal, haram, muamalah, nikah, dan riqaq) dan tasahul (longgar) terhadap hadis-hadis yang terkait fadhil a’mal, sejarah Rasul dan sahabat, sebagaimana dinyatakan al-Hakim:
“Aku–Insya Allah–dalam hal do’a akan memperlakukan (sesuai) dengan madzhab Abd al-Rahman bin al-Mahdi, yaitu yang engatakan: “ Bila kami meriwayatkan tentang halal dan haram, kami bertindak ketat dalam (menilai) rijal, dan bila kami meriwayatkan tentang keutamaan amal yang mubah, kami longgar dalam menilai sanad-sanad.”
c.       Prinsip status matan
Al-Hakim menyatakan:
“Sesungguhnya hadis sahih itu tidak hanya diketahui dengan kesahihan riwayat, tetapi juga dengan pemahaman, hafalan dan banyak mendengar.”
Prinsip meneliti hadis menuru bliau tidak hany pada aspek sanadnya saja, tetapi juga aspek matannya, yng pada akhirnya akan melahirkan berbagai konsep rajah-marjuh, nasikh-mansukh, mukhtalit hadis, maqlub, mudtarib, mudraj dan ta’arud al-hadis untuk menentukan dan membedakan hadis yang ma’mul bih dang hair ma’mul bih.
5.      Klasifikasi Hadis
Bereda dengan ulama-ulama sebelumnya (pasca Imam Turmuzi), al-Hakim tidak mengklasifikasikan hadis menjadi sahih, hasan, dan da’if. Secara eksplisit, al-Hakim membagi hadis menjadi dua, yakni hadis shahih dan hadis da’if.
6.      Status Hadis
Untuk mengetahui kesahihan hadis di dalam al-Mustadrak, ada beberapa klasifikasi yg ditampilkan:
a.       Berdasarkan syarat rawi
Menurut al-Hakim, di dalam kitab al-Mustadrak jumlah hadis yang memenuhi kriteria sahihain ada 985 hadis, 113 hadis yang memenuhi kriteria Bukhari, 571 hadis memenuh kriteria Muslim, 3447 hadis yang dinilai sahih al-isnad, sedangkan yang lainnya belum sempat mengemukakan komentarnya dalam al-mustadrak,karena kematian yang menjemputnya.
b.      Berdasarkan kualitas rawi
Berdasarkan penelitian terhadap kualitas rawi-rawi dari kitab al-Hakim adalah sebagai berikut:
Jilid I :
Terdapat 45 hadis yang di duga lemah (8 hadis menggunakan sigat maudu’, munkar 23 hadis, matruk 13 hadis, laisa sabit 1 hadis)
Jilid II :
Terdapat 66 hadis yang di duga lemah (maudhu’ 11 hadis, munkar 23 hadis, matruk 23 hadis, kazzab 4 hadis, la yu’arafu 3 hadis, la a’rifu jayyidan 2 hadis)
Jilid III :
Terdapat 47 hadis yang tidak layak di gunakan; maudhu’ 4 hadis, qabbaha Allahu Rafidhiyan iftara’u 1 hadis, ahsibu maudu’an wa azunnu mudhu’an 6 hadis, syibhu maudhu’ 1 hadis, aina sihah wa haramun fihi 1 hadis, munkar 17 hadis, matruk 17 hadis.
Jilid IV :
Terdapat 109 hadis yang tidak layak di gunakan; la aslah lahu 2 hadis, halik 11 hadis, la ihtijja bihi ahadun 1 hadis, la hujjata 1 hadis,  matruk 30 hadis, maudhu’ 22 hadis, munkar 35 hadis, muttaham 4 hadis, muttaham saqit 1 hadis, muttaham ta’lif 1 hadis, nadarun 1 hadis.
Dengan demikian jumlah hadis yang di anggap sangat lemah dalam alMustadrak adalah 3,072% dari 8690 hadis yang ada. Sedang yang lain ada yang sahih, hasan, salih, jayyid, da’if, munkar maupun batil.
Adapun rincian hadis maudu’ adalah:masing-masing satu hadis dalam bab ‘idain, tatawwu’, do’a-do’a, faraid,hudud, buyu’, nikah, jihad, fadhail al-Quran dan al-ahwal. Adapun sejarah peperangan 41 hadis, tafsir 10 hadis, riqaq 5 hadis, al-fitan wa al- malahim 5 hadis, salat 4 hadis, pengobatan 3 hadis dan makanan 2 hadis.
D.    KESIMPULAN
Berdasarkan kupasan di atas ada beberapa hal yang perlu di garis bawahi:
Pertama, meskipun al-Hakim bermaksud menyusun hadis sahih sebagai tambahan yang belum termuat dalam sahih Bukhari dan Muslim dan menggunakan persyaratan shahihain, namun ternyata tidak semua hadis dalam kitabnya berstatus sama (sahih semua).
Kedua, adanya standar ganda yang di gunakan sebagai bentuk ijtihad al-Hakim, yakni tasahul terhadap hadis-hadis fadail amal, sejarah rasul dan sahabat, serta sejarah masa silam. Tasyadud untuk persoalan aqidah dan syariah (halal dan haram, nikah, riqa, mu’amalah), al-Hakim terlalu longgar dalam menerapkan kaedah kesahihan suatu hadis.

Ketiga, al-Hakim mengklasifikasikan hadis menjadi dua, sahih dan da’if.

Rabu, 05 Juni 2013

Antropologi Al-Qur'an

Relevansi Antropologi Agama Terhadap Studi al-Qur’an dan Hadits

Oleh: Anisul Fahmi

I.          Pengertian Antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam, berisikan kumpulan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang menjadi petunjuk [hudan] dan pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka. Sedangkan sunnah adalah cara yang bisa ditempuh (inisiatif) berdasarkan ajaran Nabi Muhammad Saw. Telah disepakati bersama bahwa sebagai sumber hukum Islam Al-Qur’an menempati posisi pertama kemudian diikuti oleh Hadits sebagai sumber kedua.
Tidak henti-hentinya studi atau kajian terhadap Al-Qur’an dan Hadits dilakukan baik oleh ummat Islam sendiri bahkan oleh para intelektual non muslim untuk mengungkapkan tekstualitas maupun kontekstualisasi dari kedua sumber hukum diatas. Dalam perkembangannya, kajian-kajian tersebut berkembang sehingga tidak hanya berkutat pada produk kajian keilmuan yang telah ada sejak masa lampau akan tetapi dikaitkan dengan keilmuan kekinian yang disajikan secara sistematis dan menggunakan pendekatan metode yang akurat.
Salah satu dari baberapa metode dan pendekatan yang akhir-akhir ini sering digunakan dalam kajian Al-Qur’an dan Hadits adalah pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi dan hermeneutis. Dalam makalah ini penulis akan mencoba mengungkapkan Relevansi antropologi agama terhadap Studi Al-Quran dan Hadits.
II.      Al-Qur’an dan Manusia
Al-Qur’an adalah kitab untuk manusia karena seluruhnya berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia. Manusia adalah animal symbolicium atau hewan yang yang mampu menggunakan menciptakan dan mengembangkan simbol-simbol untuk menyampaikan pesan dari individu kepada individu yang lain. Yang membedakan manusia dengan hewan adalah kemampuan berbahasa yang merupakan sebuah sistem pemaknaan. Sementara menurut Jalaludin Rahmat, al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk  biologis,  psikologis  dan  sosial.  Sebagaimana ada hukum-hukum  yang  berkenaan  dengan  karakteristik biologis manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.
Berbicara masalah Antropologi maka yang menjadi objek adalah manusia sebagai makhluk sosial yang secara definisi maupun objek kajiannya hampir sama namun berbeda dengan kajian sosiologi. Kemudian dihadapkan dengan Al-Qur’an dan Hadits yang notabene merupakan sumber primer umat islam dalam beribadah dimana dipastikan bahwa didalamnya akan muncul konsep-konsep sosial manusia maka disanalah Antropologi berperan. Al-Qur’an dan Hadits menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari perwujudan al-Qur’an dan Hadits dalam kegiatan ekonomi, politik bahkan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam beberapa seminar dan diskusi diistilahkan sebagai The Living Qur’an and Hadits. Meskipun belum begitu menarik perhatian untuk dikaji, namun hal ini perlu disikapi sehingga akan selalu lahir pemikiran-pemikiran yang progresif dalam beragama dan berkehidupan sosial.
III.        Al-Qur’an yang Hidup
Berdasarkan asumsi yang dipaparkan diatas al-Qur’an tidak lagi merupakan suatu benda tanpa makna tetapi merupakan:
Sebuah jagad simbolik tersendiri
Salah satu unsur simbolik dari sebuah jagad simbol yang lebih besar [kehidupan manusia itu sendiri].
Terjadi pergeseran paradigma sehingga teks dimaknai dimaknai secara metaforis. Teks merupakan sebuah model karena teks sesungguhnya adalah gejala sosial itu sendiri, bukan sebuah kitab, surat atau ayat. Beberapa paradigma dalam “Mencari Model Penelitian Sosial Budaya Dalam Studi Al-Qur’an dan Hadits” adalah sebagai berikut:
a.      Paradigma Akulturasi
Peneliti akan mencoba mengetahui proses dan hasil interaksi antara ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’an dengan sistem kepercayaan atau budaya lokal dalam suatu masyarakat.
b.      Paradigma Fungsional
Digunakan untuk mengetahui fungsi-fungsi dari suatu gejala sosial budaya. Fungsi ini bisa merupakan fungsi sosial atau fungsi kultural suatu gejala sosial budaya, seperti pola-pola perilaku yang muncul dari pemaknaan-pemaknaan tertentu terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu akan dikatahui juga fungsi sosio-kultural dari al-Qur’an itu sendiri.
c.       Paradigma Struktural
Mengungkap struktur yang ada dibalik gejala-gejala sosial budaya yang dipelajari atau membangun sebuah model yang juga merupakan struktur sehingga akan dipahami gejala pemaknaan al-Qur’an lewat model struktural tertentu.
d.      Paradigma Fenomenologi
Berusaha mengungkap kesadaran atau pengetahuan pelaku mengenai dunia tempat mereka berada, kesadaran mereka mengenai perilaku-perilaku mereka sendiri. Hal ini dianggap penting karena pemahaman atau pengetahuan mengenai dunia inilah yang dianggap sebagai dasar bagi perwujudan pola-pola perilaku tertentu diwujudkan.
e.       Paradigma Hermeneutic (Interpretive)
Paradigma hermeneutic berbeda dengan hermeneutic dalam kajian teks, karena teks bukan lagi sesuatu yang tertulis tetapi gejala sosial itu sendiri. Dalam artian tertentu gejala sosial budaya memang dapat dikatakan sebagai teks, sebab gejala ini terbangun dari sejumlah simbol-simbol, seperti juga halnya sebuah teks. Sebagai sebuah teks maka gejala sosial tersebut kemudian harus dibaca, ditafsir. Oleh karena itu gejala sosial-budaya tidak sama persis. Dengan teks maka mau tidak mau diperlukan metode yang lain untuk membacanya, untuk menafsirnya. Disinilah terletak perbedaan antara hermeneutic.
IV. Antropologi Al-Qur'an (Manusia sebagai Hamba dan Khalifah)
Manusia merupakan makhluk yang misterius sekaligus kompleks. Ia memiliki berbagai dimensi. Ada jiwa dan raga, sisi ruhani dan sisi jasmani, segi sosial dan individual, sebagai hamba dan sebagai penerima tanggungjawab. Kesemuanya itu adalah yang terdapat dalam diri manusia.
Banyak teori yang telah dikemukakan untuk mengetahui tentang manusia. Mulai dari teori evolusi Darwin hingga penciptaan, mulai dari biologi sampai psikologi terpopuler. Seluruhnya mencoba menjelaskan tentang manusia dan hakikatnya.
Berbagai teori mulai dari yang klasik hingga yang paling modern belum dapat secara tuntas membahas tentang manusia. Bilamana pendekatan yang digunakan berbeda, maka hasilnya juga terlihat berbeda. Hal itu menyebabkan seolah-olah teori-teori tersebut saling bertentangan meski yang diperbincangkan adalah satu pokok bahasan, yaitu manusia.
Namun sebagai umat beragama, yang menjadi pijakan hendaknya adalah pengertian yang diberikan oleh agama. Dan Islam telah memiliki penjelasannya sendiri tentang manusia dan kompleksitasnya. Dalam makalah ini yang akan dibahas adalah tentang manusia dalam dimensi sebagai hamba dan sekaligus penerima dan pemikul tanggungjawab sebagai khalifah.  
1.      Manusia sebagai Hamba
Q.S Adz-Dzariyat (51) ayat 56                                                                         
 “dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Allah)”.
Hamba, dalam bahasa Arab adalah ‘abd atau ‘ābid yang secara umum dapat diartikan sebagai tunduk, patuh, dan menghambakan diri. Dengan kata lain, hamba adalah orang yang tunduk, patuh dan menghambakan diri terhadap sesuatu. Sedangkan ketundukan, kepatuhan, dan penghambaaan diri yang dilakukan disebut sebagai ibadah. Dalam Islam, ibadah tersebut hanya patut dilakukan kepada Allah SWT dan sifatnya absolut atau mutlak. Meskipun bersifat mutlak, namun semua ibadah yang diperintahkan Allah adalah untuk kepentingan manusia.
Apabila kita perhatikan kewajiban ibadah yang disyari’atkan Allah semuanya berada dalam batas-batas kemampuan kita (1995: 56). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya semacam rukhshah atau keringanan dalam melaksanakannya jika terdapat keadaan atau situasi yang tidak pada sewajarnya. Misalnya, wudlu dapat digantikan dengan tayammum apabila sama sekali tidak menemukan air, atau ada air namun teramat sangat terbatas. Atau jika tidak dapat melaksanakan shalat dengan berdiri, maka boleh dengan duduk, jika tak mampu duduk maka dengan berbaring, jika berbaringpun masih sulit maka dengan isyarat. Hal itu dikarenakan ibadah bukanlah tujuan akhir dari penetapannya melainkan sebagai tujuan antara saja, karena tujuan akhirnya adalah untuk menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah (1995: 57).
Seperti halnya malaikat, sebagai hamba manusia dibekali kemampuan yang maksimal untuk melaksanakan semua ketentuan Allah SWT. Meski begitu, Allah tidak menafikan adanya keterbatasan yang juga terdapat dalam diri manusia. Malaikat dianugerahi oleh Allah akal dan pemahaman, naluri untuk taat sepenuhnya, kemampuan berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah, dan kemampuan untuk mengerjakan berbagai pekerjaan berat (Shihab, 2000: 140). Ciri-ciri ini seperti juga terdapat dalam Q. S At-Tahrim, 66: 6 (Al-Maraghi 1, 1992: 132) sebagai berikut:
Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Manusia selain diciptakan dengan bekal seperti akal dan  pemahaman serta naluri untuk taat seperti malaikat, yang membedakannya dengan malaikat adalah adanya kebebasannya untuk memilih yang hal tersebut sama sekali tidak ada pada malaikat. Hal ini terdapat dalam Q. S Ar-Ra’d,13 ayat 11 yang sangat populer sebagai dalil tentang kebebasan manusia memilih jalannya, sebagai berikut:
“.....sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.....”
Terdapat juga kecenderungan pada keburukan dalam diri manusia seperti terdapat dalam Q. S Asy-Syams, 91: 8 sebagai berikut:
 “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Kedua ayat tersebut dapat dimaknai bahwa manusia memiliki kecenderungan baik dan buruk dalam dirinya dan nasibnya dipengaruhi oleh pemilihan jalan yang dilakukannya. Jika ia menuruti kecenderungan baik maka konsekuensi logisnya adalah kebaikan yang diperoleh. Sebaliknya, bilamana ia mengikuti bisikan keburukan, maka ia akan memperoleh keburukan. Meski demikian, pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah dengan fitrah. Fitrah tersebut dapat diartikan sebagai kecenderungan manusia pada kebaikan dan menyukai segala hal yang baik.
  Adanya kebebasan manusia untuk memilih jalannya membuat ia memiliki nilai lebih terutama dalam ketaatannya kepada Allah. Berbeda dengan malaikat yang memang ketaatannya adalah mutlak karena Allah telah menciptakan malaikat dengan disain taat dan patuh sepenuhnya tanpa ada naluri lain. Jadi, ketaatan malaikat adalah memang mereka dicipatakan hanya untuk taat semata, bukan karena mereka bisa memilih untuk taat atau tidak seperti halnya manusia.
Dalam ushul fiqh terdapat kaidah umum bahwa dalam hal kebaikan ketika berniat maka Allah mencatat sebagai satu pahala dan jika ia melaksanakan niat baiknya maka dicatat sebagai dua pahala. Namun berbeda dengan keburukan. Dalam keburukan, nilai keburukan akan dicatat sebagai keburukan jika benar-benar telah dilakukan. Jika hanya berhenti pada niat saja maka ia tidak dicatat sebagai keburukan. Dan niat buruk yang benar-benar dilakukan maka hanya dicatat sebagai satu keburukan. Adanya kaidah tersebut dapat dimaknai sebagai motivasi yang besar untuk kebaikan. Sedangkan keburukan baru dapat dinialai sebagai keburukan manakala ia benar-benar telah dilakukan (ada unsur kesengajaan dan kesadaran penuh).
Dalam Q. S Adz-Dzariyat, 51 ayat 56 tersebut di atas bahwa Allah menciptakan jin dan manusia untuk menyembah dan beribadah hanya kepada Allah. Meski begitu, relasi yang dibangun oleh Allah terhadap para makhluk dan para hamba-Nya bukanlah seperti hubungan antara para tuan dengan para budaknya yang saling membutuhkan satu sama lain (Al-Maraghi 27, 1992: 25). Penciptaan makhluk dan perintah untuk beribadah adalah hanya untuk kepentingan hamba semata, bukan untuk kepentingan Allah. Ke-Maha Agungan Allah tidaklah ditentukan oleh taat atau tidaknya hamba, tetapi memang Allah sendiri telah Maha Agung tanpa semua itu. Bahkan bukti ke-Maha Agung-Nya adalah adanya semua ciptaan Allah baik yang di langit maupun di bumi beserta isinya.
2.      Manusia sebagai Khalifah
Q.S Al-Baqarah (2) ayat 30
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Khalifah berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan sebagai yang datang kemudian atau yang menggantikan. Menurut Quraish Shihab, kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya (2000: 140). Kata khalifah dalam Al-Qur’an digunakan bagi siapa saja yang kekuasaan mengelola wilayah baik secara luas maupun terbatas (Sya’roni, Badruddin, Tang, 2000: 111). Sedangkan sebagian besar para mufasir berpendapat bahwa yang dimaksud khalifah dalam ayat 30 dari Q. S Al-Baqarah adalah sebagai pengganti Allah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya kepada manusia (Al-Maraghi I, 1992: 135). Dari sekian pengertian tentang khalifah maka dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah siapa saja yang diberi wewenang untuk mengelola wilayah baik secara luas maupun terbatas sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah sebagai pemberi wewenang tersebut.
Sebagai khalifah manusia telah diberi bekal kemampuan yang sangat penting dan berguna bagi tugasnya tersebut. Ketika manusia dapat menggunakan segala bekal kemampuan tersebut maka tugasnya dapat dilaksanakan dengan optimal. Bekal tersebut diantaranya adalah pengetahuan tentang semua nama, karakteristik, dan fungsi benda-benda (Shihab, 2000: 143). Selain itu, Allah juga memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati (al-af’idah) sebagaimana Q. S As-Sajdah, 32: 9 sebagai berikut:
 “Kemudian Dia (Allah) menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Pendengaran, penglihatan, dan hati dalam penggunaannya harus sesuai dengan perintah Allah terlebih manusia sebagai wakil Allah di bumi dengan tugas memakmurkan bumi tersebut untuk kesejahteraan manusia. Penggunaan ketiganya dapat melahirkan kebijaksaan dalam diri manusia apalagi jika ketiganya diselaraskan dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, Quraish Shihab menulis bahwa kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas ke-khalifah-an (2000: 140). Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa “sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggungjawab ke-khalifah-an di bumi” (Wawasan Al-Qur’an, 1996: 282).
Dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Quraish Shihab berpendapat bahwa setiap aktivitas istikhlaf (pembangunan) baru dapat dinilai sesuai dengan etika agama ketika aktivitas tersebut mengantar manusia menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut (2004: 161). Prof. Mubyarto (dalam Quraish Shihab) mengemukakan beberapa hal untuk mencapai rasa aman tersebut, yaitu:
1.      Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan harus bebas dari bahaya pemerkosaan
2.      Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan menghabiskan tenaganya
3.      Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai cita-citanya
4.      Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya
5.      Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak semata-mata menjadi obyek penentuan orang lain.
Selain sebagai khalifah, manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai hamba-Nya. Hubungan keduanya sangat erat bahkan saling mempengaruhi. Jika manusia sebagai hamba benar-benar melaksanakan kehambaannya sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, maka ketika ia menjadi pemimpin ia akan pula berlaku sesuai dengan petunjuk-Nya. Begitu pula ketika ia menjadi khalifah seyogyanya ia tidak lupa bahwa ia adalah hamba dari yang Maha Kuasa yang memberikannya wewenang. Seperti yang tertuang dalam Q. S. Al-Hajj, 22: 41 sebagai berikut:   
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.
Hubungan antara manusia sebagai hamba dan khalifah melahirkan posisi saling terkait. Sebagai khalifah ia memiliki hak prerogatif dan wewenang dalam kerputusannya untuk mengatur dan mengelola bumi beserta isinya. Sedangkan sebagai hamba, hak dan wewenang tersebut harus disesuaikan dengan aturan yang telah diberikan Allah. jadi, ketika manusia menjadi khalifah, maka ia harus ingat bahwa tujuan penciptaannya adalah hanya untuk mengabdi kepada Allah.
Aisyah bint Syati dalam bukunya yang berjudul Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an menyebutkan bahwa “hakikat Adam bukanlah hakikat malaikat dan bukan pula hakikat iblis” (1999: 19). Ini menyiratkan bahwa manusia –seperti telah disinggung dalam manusia sebagai hamba- memiliki potensi untuk menjadi baik dan taat seperti malaikat namun ia juga memiliki dorongan untuk membangkang seperti iblis. Jika hal ini dikaitkan dengan manusia sebagai khalifah, ketika ia dalam menjadi pemimpin lebih menuruti bisikan keburukan maka ia akan lebih jahat daripada iblis. Sedangkan jika ia meredam dorongan keburukan dan lebih mengutamakan kebaikan maka ia akan lebih mulia derajatnya dibandingkan malaikat.   
“Seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal, dan budayanya terpelihara” (Shihab, 2004: 166). Ia juga menulis bahwa ada lima sifat terpuji yang selayaknya dimiliki oleh pemimpin, yaitu yang pertama, memberikan petunjuk dan arahan terhadap sesuatu; yang kedua adalah mendorong dalam hal kebajikan; yang ketiga, beriman dan bertaqwa kepada Allah; yang keempat, menetapi kebenaran dan keadilan; dan yang kelima adalah sabar, baik terhadap nikmat maupun cobaan dalam ia sebagai hamba meupun dalam kepemimpinannya (2004: 165). Dalam kepemimpinan ada dua hal yang harus ada, yaitu pemimpin dan yang dipimpin. Adanya kedua hal pokok tersebut mengisyaratkan adanya hubungan timbal balik antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Hal itu karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan yang lain dalam hidup dan kehidupannya.       
C.      Kesimpulan
1.      Manusia diciptakan Allah adalah semata-mata untuk menyembah dan mengabdi hanya kepada-Nya.
2.      Penyembahan tersebut bersifat mutlak dan maksimal sesuai dengan kemampuan manusia
3.      Relasi yang dibangun Allah dengan manusia adalah pemilik dengan hamba-Nya. Bukan seperti tuan dengan budak yang saling membutukan satu sama lain
4.      Ibadah yang diperintahkan oleh Allah adalah semata-mata untuk kepentingan dan kebaikan manusia itu sendiri dan bukan untuk kepentingan Allah
5.      Manusia sebagai ­khalifah merupakan wakil Allah untuk melaksanakan segala ketentuan Allah sesuai petunjuk-Nya
6.      Ke-khalifah-an tersebut juga terkait dengan perannya sebagai hamba untuk melaksanakan tugas kehambaannya
D.      Daftar Pustaka
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, 1992, Tafsir Al-Maraghi I (Terjemah), Semarang: CV. Toha Putra
----------, 1992, Tafsir Al-Maraghi 27 (Terjemah), Semarang: CV. Toha Putra
Aisyah bint Syati, 1999, Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus
Biro Bina Mental Spiritual DKI Jakarta, 1995, Tema-tema Pokok Al-Qur’an Bagian I, Jakarta
----------, 1995, Tema-tema Pokok Al-Qur’an Bagian III, Jakarta
M. Sya’roni, Badruddin, M. Tang, 2000, Studi Al-Qur’an (Epistemologi Tafsir dan Pandangan Al-Qur’an, Yogyakarta: Idea Press
M. Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
----------, 2004, Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Bandung: Mizan
----------, 2000, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an), Ciputat: Lentera Hati 




Selasa, 04 Juni 2013

Telaah Agama-Agama Dunia


       Sejarah dan Perkembangan Agama Kon Fu Tse dan Taoisme

                                                           Pendahuluan

         Kita menyaksikan bahwa setelah perang duina II usai, selain kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi, ternyata agama juga memiliki kemajuan yang hebat sekali. Sudah barangtentu fenomena yang semacam ini membantah suatu pendapat yang mengatakan bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan, agama akan mengalami kemunduran. Kenyataannya adalah bukan demikian. ! Sebagai contoh umpamanya baru-baru ini kita dapat membaca tulisan yang menyatakan bahwa rakyat ameika serikat yang dikatakn negara sekuler itu ternyata bahwa dalam pengambilan suara secara acak tentang calon presiden yang akan dating, 90% dari suara yang masuk menentang calon presiden yang ateis. Demikian juga kemajuan agama Kristen di negeri itu terutama di sebelh Selatan, yaitu di kalangan “Southern Baptist”, peningkatan agama sangat menonjol. Bisa saja kita tidak setuju dengan corak kebangkitan agama Kristen di Amerika, karena mengambil betuk “fundamentalisme”, tetapi bagaimanapun juga fenomena yang sedemikian itu merupakan tanda-tanda kebangkitan agama.
          Memang disini tidak akan diperdebatkan tentang definisi agama, karena tidak sedikit orang yang menganggap bahwa animism, konfusianisme, adalah bukan agama, sebagaimana tidak sedikit juga orang yang menganggap bahwa Shito adalah juga bukan agama. Tetapi untuk memudahkan pembahasan ketiga kepercayaan itu dimasukkan dalam bab agama.


A.    Sejarah dan Perkembangan Agama Kon Fu Tse dan Taoisme

1.      Konfusionisme

         Menurut cerita, Konfusius adalah nama latin dari K’ung Tzu, Kong Hu Tsu atau K’ung. Ia dilahirkan di negeri Lu, yang sekarang adalah propinsi Shantung, pada tahun 551 S.M. dari sebuah keluarga yang sederhana, jujur dan setia berbakti kepada Thian. Konon kelahirannya diiringi oleh peristiwa-peristiwa ajaib, dan pada tubuhnya juga tampak tanda-tanda luar biasa. Semua keberhasilannya adalah berkat usaha dan kerja kerasnya sendiri. Kariernya dimulai sebagai pengawas lumbung padi di daerah asalnya, dan akhirnya diserahi tanggungjawab urusan pekerjaan umum.
         Pada tahun 528 S.M. Konfusius berhenti dari pekerjaannya karena kematian ibunya. Selama periode berduka cita lebih kurang tiga tahun, ia mengasingkan diri untuk belajar dan melakukan meditasi. Ahirnya ia muncul dari pengasingannya sebagai seorang guru, dan berhasi menarik sejumlah besar murid yang setia. Kemasyhurannya semakin meningkat. Pada usia 50 tahun memasuki ia memasuki kehidupan masyarakat umum. Ia ditunjuk menjadi Kepala Hakim di kota Chung-Tu, dan segera pul diangkat menjadi menteri Pekerjaan dan Pengadilan. Jabatan-jabatan tersebut telah memberikan kesempatan padanya untuk praktek mengajar dan menyelaenggarakan suatu sistem administrasi yang teratur. Ia berhasil membuat negara menjadi tenteram dan adil, sehingga kejahatan dan kerusakan ahlak menjadi hilang.
         Keadilan yang diterapkan secara tegas menyebabkan musuh-musuh atau lawan-lawannya berusaha dengan sungguh-sungguh  untuk menjatuhkannya. Pada tahun 497 S.M. Konfusius terpaksa meniggalkan negerinya dan pergi mengembara. Selama 14 tahun, bersama-sama dengan sekelompok kecilmuridnya yang setia, ia pergi dari satu tempat ke tempat yang lain. Ketika diizinkan kembali ke negerinya, ia sudah berusia 68 tahun. Sisa hidupnya dihabiskan untuk mengajarkan pahamnya dan meneliti warisan-warisan lama. Ia menghasilkan sebuah karya yang disebut Ch’un-ts’in. Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur. Konfisius meninggal dunia pada tahun 470 S.M. [1]
         Cina adalah sebuah Negara yang mempunyai sejarah cukup panjang, yang konon dimulai sekitar tahun 2.700 S.M.. Pada waktu itu  tradisi dan lembaga-lembaga di cina sudah dibakukan, sudah membudaya dan tersusun secara rapi. Sekalipun demikian, tidak diketahui secara pasti bagaimana semua itu terjadi. Beberapa sumber kuno, seperti Sje-tsing (buku tentang pujian) dan Shu Cing (buku tentang sejarah), memberi kesan bahwa bangsa Cina purba adalah monotei, yakni percaya kepada satu Tuhan. Sedangkan nama yang diberikan kepada Tuhan itu adalah Shang-ti, yang berarti penguasa tertinggi dan Tien, yang berarti Sorga.
          Akan tetapi, bersama perjalanan waktu, agam di cina selanjutnya mengalami kemerosotan. Di samping percaya terhadap Shang-ti, bangsa cina kuno kemudian percya pula terhadap roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang, yang semuanya mereka puja dalam upacara-upacara korban. Cina sudah sedemikian merosot. Kebudayaan dan peradaban yang sebelumnya telah di bangun dengan susah payah oleh dinasti-dinasti sebelumnya, kini hanya tinggal bayangan saja. Dalam situasi seperti itulah lahirlah Konfusius atau Kong Hu Tsu atau K’oeng Foe-tze, yang ajaran-ajarannya kemudian sangat berpengaruh besar dalam kehidupan bangsa cina. Selama hampir dua puluh lima abad Konfusius di anggap sebagai Guru pertama oleh orang-orang cina. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum Konfusius tidak ada guru di Cina, melainkan pengakuan dari bangsa cina bahwa Konfusius berada pada tingkat paling atas dari semua guru tersebut. [2]
2.      Taoisme
        Menurut tradisi, Toisme bersal dari seseorang yang bernama Lao Tzu, yang dikabarkan lahir kira-kira tahun 640 S.M.  Agama Tao adalah Agama yang ber ke-Tuhanan, menjunjung tinggi derajat nenek moyang, menghormati tata tertib, mencintai sesamanya. Dewa-Dewi termasuk yang disembah/dipuja, namun kebanyakan penganutnya masih belum memahami asal usul dan riwayat dewa-dewi yang disembah/dipujanya itu, mereka hanya mengikuti tradisi saja, bahkan keadaannya sudah merupakan suatu tradisi.[3]
          Taoisme adalah agama yang selalu mengalami perkembangan dan evolusi, sehingga selain sulit untuk menentukan waktu kelahirannya, juga sulit untuk menentukan batas-batasnya. Sehingga Livia Kohn mengatakan: “Taoisme tidak pernah merupakan suatu agama yang terpadu, dan terbentuk kombinasi (berbagai) ajaran yang didasarkan atas beraneka macam sumber asli “(lihat buku karyanya yang berjudul “Taoist Mystical Philosophy: The Scripture of Western Ascension,” Albany: State Universty of New York Press, 1991) meskipun tidak dapat menentukan tanggal yang pasti dari kelahiran Taoisme, namun untuk mengetahui asal muasalnya kita dapat kembali pada 5000 tahun yang lalu, tatkala sekelompok suku berdiam di tepi sungai kuning (Huang He) di Tiongkok Utara.[4]
B.       Kitab-kitab Suci
1.        Kitab Suci Agama Konfusionisme
Ada enam buku klasik agama Konfisius yang diyakini ditulis oleh Konfusius sendiri, yaitu:
a.    Shu Ching, buku tentang sejarah, Aslinya mengandung 100 dokumen sejarah dinasti-dinasti kuno Cina, dan mencakup suatu periode yang dimulai dari abad ke-24 S.M. sampai abad 8 S.M.
b.    Shih Cing, buku tentang puisi, yaitu kumpulan sajak-sajak yang populer yang ditulis lima ratus tahu pertama dari dinasti Chan.
c.    Yi Ching, buku tentang perubahan-perubahan
d.   Li Chi, buku tentang upacara-upacara
e.    Yeo, buku tentang music
f.     Chu’un Ch’ii, tentang sejarah musim semi dan musim rontok
2.    Kitab Suci Agama Taoisme
Agama Tao memiliki beberapa kitab suci yang wajib dibaca oleh setiap umat Tao, antara lain ialah:
a.         Tai Shang Lao Jun Zhen Jing ( Kitab Suci Maha Dewa Dai Sang Lao Cin )
b.         Er Lang Shen Zhen Jing ( Kitab Suci Dewa Er Lang Shen )
c.         Fu De Zheng Shen Zhen Jing ( Kitab Suci Dewa Fu Tek Chen Shen )
d.        Dao De Jing ( Kitab Tao Tek / Kitab Budi Pekerti & Hati Nurani Yang Luhur )
e.         Wang Di Zhi Jing ( Empat Kitab Kaisar Kuning )
f.          Dai Bing Jing ( Kitab Dai Bing / Kitab Aman Sentosa )
g.         Qiang Jing Jing ( Kitab Hening Tanpa Pamrih )
h.         Shen Tian De Tao Zhen Jing ( Kitab Suci Demi Mendapat Tao dan Naik ke Langit
         Dari sekian banyak kitab suci bacaan wajib bagi setiap umat Agama Tao, yang paling banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing di seluruh dunia sekarang ini adalah Kitab Tao Tek Ching / Tao Tek Zheng Jing / Lao Zi Wu Jien Wen ( Kitab 5000 Kata Dari Lao Zi ). [5]
C.       Ajaran-ajaran
1.         Ajaran Agama Konfusionisme
Ø  Ketuhanan (delapan pengakuan iman)
·         Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian)
·         Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De)
·         Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang (Cheng Li Ming Ming)
·         Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen)
·         Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi)
·         Sepenuh Iman mengikuti Genta Rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu Duo)
·         Sepenuh Iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing Shu)
·         Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci (Cheng Xing Da Dao)
Ø  Moral
·      Tripusaka : Bijaksana, Cinta Kasih, Berani / Zhi, Ren, Yong
·      Satya Dan Dapat Dipercaya / Zhong Xin
·      Kesusilaan Dan Kebenaran / Li Yi
·      Suci Hati Dan Tahu Malu / Lian Chi
·      Sederhana Dan Suka Mengalah / Qian Rang
·      Memperbaiki Kesalahan / Gai Guo
·      Melaksanakan Ajaran Agama Dengan Sungguh / Gong Xing[6]

2.      Ajaran Agama Taoisme

·      Sifat Qing Jing Wu We
Suatu sifat dimana orang dianjurkan untuk selalu berusaha berbuat sesuatu demi kepentingan bersama, namun tetap menjaga sikap mental yang tulus tanpa pamrih.
·         Wu (kesadaran)
Yaitu kesadaran kita tentang kehidupan yang kita jalani dan kesadaran kita dalam menjalani ajaran Tao. Wu berjalan kalau kita banyak belajar.
·      Ceng Li (logika)
Logika yang dimaksud disini adalah: setiap pemikiran antara yang satu dengan yang lainnya itu pasti berbeda dan tak akan berjalan satu arah.

D.    Ritual Agama

    
E.     Agama Konfusius di Indonesia
         Pada zaman penjajahan, perkembangan agama Konfusius di Indonesia ditandai dengan berdirinya beberapa organisasi yang berusaha untuk memajukan agama tersebut di kalangan pemeluknya. Sebagai misal, pada tahun di Sala berdiri sebuah lembaga agama Kong Hu Cu yang disebut dengan Khong Kauw Hwee. Usaha untuk memajukan dan mempersatukan paham Konfusius di Indonesia ini pada tahun-tahun berikutnya tetap giat dilakukan melalui konprensi-konprensi yang diselenggarakan di beberapa kota, seperti Sala, Yogyakarta, Bandung dan sebagainya. Tetapi dengan meletusnya perang dunia II dan masuknya balatentara Jepang ke Indonesia, kegiata-kegiatan Khong Kauw Hwee secara nasional menjadi praktis terhenti.
          Setelah zaman kemerdekaan, lembaga-lembaga agama Kong Hu Cu mulai memperlihatkan keaktifannya kembali. Dalam konprensi yang diselenggarakan di Sala pada tahun 1954 diputuskan untuk membangkitkan kembali organisasi Khong Kauw Hwee (Lembaga Pusat Agama Konh Hu Cu) yang pernah dibentuk pada tahun 1923. Pda tahun berikutnya, juga dalam konprensi di Sala, diputuskan untuk membentuk lembaga tertinggi agama Khong Hu Cu di Indonesia dengan nama “Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia”, disingkat PKCHI. Terbentuknya organisasi ini menandai awal dari babak baru dalam sejarah agama Konfusius di Indonesia.
          Dalam kongresnya yang keempat, PKCHI memutuskan untuk mengirimkan utusan menghadap Menteri Agama R.I. untuk memohon agar agama Khong Hu Cu dikukuhkan kedudukannya dalam kementrian Agama R.I. di samping memutuskan mengubah nama PKCHI menjadi “Lembaga Agama Sang Khong Hu Cu di Indonesia”, disingkat LASKI. Pada tahun 1963 menjadi “Gabungan Perkumpulan Agama Khong Hu Cu Indonesia”, disingkat GAPAKSI.          Dalam kongres yang kelima, tahun 1964, nama GAPAKSI dirubah menjadi “Gabungan Penghimpunan Agama Khong Hu Cu se Indonesia” dengan singkatan yang sama. Tetapi, tahun kemudian nama ini diubah kembali menjadi “Majelis Tinggi Agama Khong Hu Cu Indonesia”,disingkat MATAKIN. Nama terahir ini tetap dipergunakan sampai sekarang.[7]

PENUTUP
         Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas sekiranya dapat menambah pengetahuan kita akan berkembangnya agama-agama hususnya agama Konfusionis ataupun agama Tao yang keduanya memang sangat erat sekali cakupannya. Tidak cukup sampai disini, kami masih sangat membutuhkan tanggapan, saran maupun kritikan, dari teman-teman terlebih Dosen Pembimbing Matakuliah Agama-agama Dunia , karna makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Ahirnya dari kami kurang lebihnya mohon damaklumi.




KESIMPULAN
          Agama Konfusionis dan Tao adalah suatu agama yang mana mempunyai sejarah dan perkembangan. Disamping itu juga tak bisa dilepaskan bahwa agama ini juga mempunyai ajaran-ajaran, kitab suci dan ritual agama masing-masing. Selanjutnya di Indonesia juga menjadi titik tumpu berkembangnya dua agama ini. Walaupun sebelumnya sedikit mengalami kelumpuhan akibat terjadinya perang dunia II dan masuknya balatentara Jepang ke Indonesisia ahirnya mulai memperlihatkan keaktifannya kembali.
         

DAFTAR PUSTAKA
_Abdurrahman, dkk, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: PT. HANINDITA, 1988)
_Smith Huston, Agama-agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008)

_http://id.wikipedia.org/wiki/ Kitab Suci Agama Tao









[1] Drs. Abdurrahman, Agama-agam di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988 ), hlm. 219
[2] Ibid, hlm. 217-218
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/ Kitab Suci Agama Tao
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu
[7] Drs. Abdurrahman, Agama-agam di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988 ), hlm. 229

Tadarus Salih Ritual Kyai Hasyim Asy’ari

Tadarus Salih Ritual Kyai Hasyim Asy’ari Oleh: Anisul Fahmi Kyai Hasyim Asy’ari sosok figur yang sangat produktif dalam dunia k...