Sabtu, 21 September 2013

Proposal Buletin

I. Pendahuluan
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan nafas (diri) dan menyempurnakan ciptaan-Nya, yang telah mengilhamkan kedurhakaan dan ketaqwaan, dan memuji orang-orang yang senantiasa mengagungkan ajaran-Nya.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada junjunan nabi besar kita, nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya, serta kita semua sebagai umatnya.
Rahmat yang senantiasa harus disyukuri oleh setiap insan manusia ialah ketika ia memiliki kemampuan untuk berpikir dan mempunyai akal yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Inilah yang menjadi tolak ukur pula manusia senantiasa mempunyai derajat yang lebih tinggi dan dimuliakan oleh Allah SWT.
Kemampuan akal dan pikir, tentu tidak akan berguna jika kita tidak bisa meng aktualisasikannya. Maka agar kemampuan yang luar biasa ini dapat terfungsikan secara maksimal, manusia harus mencari jalan untuk mencurahkan segala pemikirannya. Dan salah satu jalan tersebut ialah dengan cara menulis.
Dengan menulis, kita dapat menuangkan segala pemikiran kita, apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan dan apa yang ingin kita ceritakan. Dalam konteks menulis ini, tidak penting seseorang menulis dengan semerautan, karena yang terpenting adalah ketika orang tersebut mau dan mampu untuk mengaktualisasikan kemampuan yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya sebagai seorang manusia.
II. LATAR BELAKANG
“Pada hakekatnya setiap manusia adalah penulis. Dan dibalik setiap kata yang diciptakan seorang penulis terdapat sebuah dunia yang menunggu untuk diceritakan. Maka, Ketika seorang penulis menuangkan pemikirannya dalam sebuah tulisan, ia tengah menggoyang dunia”. ( Emerson, 1968)
Mahasiswa sebagai insan akademis yang senatiasa dituntut untuk bisa mengaktualisasikan kemampuan yang telah dianugerahkan Tuhan tersebut, tentu memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi untuk dapat mewujudkannya serta menghasilkan tulisan-tulisan yang brilian dan dapat membangun dunia.

Dalam rangka pengembangan kreativitas mahasiswa di bidang jurnalistik, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta akan menerbitkan Buletin kampus. Buletin kampus ini diharapkan dapat menjadi sarana penyaluran bakat jurnalistik sekaligus sumber informasi bagi dosen, mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai perkembangan kampus khususnya, maupun perkembangan Agama, bangsa dan negara.
III. TUJUAN
1. Mengembangkan bakat serta kemampuan menulis dalam wadah yang edukatif.
2. Menghadirkan sarana yang mumpuni bagi seluruh mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk aktif, kritis, dan dinamis dalam kemajuan teknologi kepenulisan serta kepekaan dalam mengolah data dan berita.
3. Menciptakan motivasi yang berkesinambungan untuk seluruh masyarakat kampus untuk terus mengasah kemampuan serta kecintaannya pada menulis.
4. Membangun citra kampus, sebagai satu-satunya kampus yang menyediakan lapangan pendidikan perguruan tinggi yang peduli terhadap perkembangan Pers dan Jurnalistik di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
IV. NAMA KEGIATAN
“Pembuatan Buletin Ushul News Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”
V. PANITIA
Akan menyusul kemudian
VI. WAKTU  KEGIATAN
Buletin Ushul News Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terbit bulan Juli.
VII. PESERTA
1.      Civitas Akademika Fakultas Ushuluddin Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta
2.      Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
VIII. SUMBER DANA
-BOPTN/BLU
IX. PENUTUP
Demikian proposal Pengadaan Buletin kampus ini kami buat dengan maksud memohon ijin serta partisipasi dari semua pihak guna terlaksana dan suksesnya kegiatan ini. Besar harapan kami proposal kegiatan ini dapat ditindak lanjuti sebagaimana mestinya.
Semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini dan berjalan lancar seperti yang diharapkan. Serta mendapat ridho dari Tuhan Yang Maha Esa, terimakasih.





Sejarah Kabupaten Brebes


Ada beberapa pendapat mengenai asal - usul nama Brebes yang di antaranya berasal dari kata di antaranya Brebes berasal dari kata "Bara" dan "Basah", bara berarti hamparan tanah luas dan basah berarti banyak mengandung air. Keduanya cocok dengan keadaan daerah Brebes yang merupakan dataran luas yang berair.Karena perkataan bara di ucapkan bere sedangkan basah di ucapkan besah maka untuk mudahnya di ucapkan Brebes. Dalam Bahasa Jawa perkataan Brebes atau mrebes berarti tansah metu banyune yang berarti selalu keluar airnya.
Nama Brebes muncul sejak zaman Mataram. Kota ini berderet dengan kota-kota tepi pantai lainnya seperti Pekalongan, Pemalang, danTegal. Brebes pada saat itu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tegal.

Pada tanggal 17 Januari 1678 di Jepara diadakan pertemuan Adipati Kerajaan Mataram se Jawa Tengah, termasuk Arya Martalaya, Adipati Tegal dan Arya Martapura, Adipati Jepara. Karena tidak setuju dengan acara penandatanganan naskah kerjasama antara Amangkurat Admiral dengan Belanda terutama dalam menumpas pemberontakan Trunajaya dengan imbalan tanah-tanah milik Kerajaan Mataram, maka terjadi perang tanding antara kedua adipati tersebut. Peristiwa berdarah ini merupakan awal mula terjadinya Kabupaten Brebes dengan Bupati berwenang .Sehari setelah peristiwa berdarah tersebut yaitu tanggal 18 Januari 1678, Sri Amangkurat II yang berada di Jepara mengangkat beberapa Adipati/ Bupati sebagai pengagganti Adipati-adipati yang gugur. Untuk kabupaten Brebes di jadikan kabupaten mandiri dengan adipati Arya Suralaya yang merupakan adik dari Arya Martalaya. Pengangkatan Arya Suralaya sekaligus titimangsa pemecahan Kadipaten Tegal menjadi dua bagian yaitu Timur tetap di sebut Kadipaten Tegal dan bagian barat di sebut Kabupaten Brebes.

Minggu, 15 September 2013

Khutbah Jum'at

                              MERENUNGI PERJALANAN HIDUP MANUSIA

   لْحَمْدُ للهِ، خَلَقَ الخَلْقَ وَقَدَّرَ الأَشْيَاءَ، وَاصْطَفَى مِنْ عِبَادِهِ الرُّسُلَ وَالأَنْبِيَاءَ، بِهِمْ نَتَأَسَّى وَنَقْتَدِي، وَبِهُدَاهُمْ نَهْـتَدِي، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ بِمَا هُوَ لَهُ أَهْـلٌ مِنَ الحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْـلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، أَنْزَلَ عَلَيْهِ رَبُّهُ القُرآنَ المُبِينَ؛ بَلاَغًا لِقَوْمٍ عَابِدِينَ، وَجَعَلَ رِسَالَتَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ، صلى الله عليه وسلم وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ    أَمَّا بَعْدُ : فيل أيها المسلمون أوصي نفسي و إياكم بتقوى الله فقد فاز المتقون
Kaum Muslimin Jamaah Sholat Jumat yang dirahmati Allah
Di tengah kehidupan yang senantiasa bergulir, jumat demi jumat berlalu, seiring itu juga khutbah demi khutbah kita perdengarkan dan menyirami sejenak hati yang penuh ketundukan  dan mengharapkan keridhoaan Allah. Kesadaran kemudian muncul dengan tekad untuk menjadi hamba yang Allah yang taat. Namun kadangkala dengan rutinitas yang kembali mengisi hari-hari kita kesadaran itu kembali tumpul bahkan luntur. Oleh sebab itulah melalui mimbar jumat ini khotib kembali mengajak marilah kita berupaya secara sungguh-sungguh memperbaharui keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah, memperbaharui kembali komitmen kita kepada Allah yang sering kita ulang-ulang namun jarang diresapi, sebuah komitmen yang mestinya menyertai setiap langkah kita:
إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ  لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأنا من الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah termasuk orang orang yang menyerahkan diri.
Kaum Muslimin Jamaah Sholat Jumat yang berbahagia
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya bahwa: Suatu ketika Umar bin Khathab ra bertanya kepada seorang sahabat bernama Ubay Ibnu Ka’ab ra tentang taqwa walau hal itu merupakan suatu yang hal yang sangat mereka ketahui, namun bertanya satu sama lainnya di antara mereka dalam rangka mendalaminya adalah hal yang sangat mereka sukai. Kemudian Ubay balik bertanya: “Wahai Umar, pernahkah engkau melalui jalan yang di penuhi duri?” Umar menjawab, "ya, saya pernah melaluinya. Kemudian Ubay bertanya lagi: “Apa yang akan engkau lakukan saat itu?”. Umar menjawab: “Saya akan berjalan dengan sangat berhati-hati, agar tak terkena duri itu”. Lalu Ubayberkata: “Itulah takwa”.
Dari riwayat ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran penting, bahwa takwa adalah kewaspadaan, rasa takut kepada Allah, kesiapan diri, kehati-hatian agar tidak terkena duri syahwat dan duri syubhat di tengah perjalanan menuju Allah, menghindari perbuatan syirik, meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa, yang kecil maupun yang besar. Serta berusaha sekuat tenaga mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah dengan hati yang tunduk dan ikhlas.
Hadirin Jama’ah sholat jumat rahimakuullah
Setiap orang beriman pasti akan menyadari bahwa ketika ia hidup di dunia ini, ia akan hidup dalam batas waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh penciptanya, Allah SWT. Usia manusia berbeda satu sama lainnya, begitu juga amal dan bekalnya. Setiap orang yang berimanpun amat menyadari bahwa mereka tidak mungkin selamanya tinggal di dunia ini. Mereka memahami bahwa mereka sedang melalui perjalanan menuju kepada kehidupan yang kekal abadi. Sungguh sangat berbeda dan berlawanan sekali dengan kehidupan orang-orang yang tidak beriman. Allah berfirman:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا .  وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
"Tetapi kamu (orang-orang kafir) lebih memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Al-A’la: 16-17)
Sayangnya, kesadaran ini seringkali terlupakan oleh diri kita sendiri. Padahal, bukan tidak mungkin, hari ini, esok, atau lusa, perjalanan itu harus kita lalui, bahkan dengan sangat tiba-tiba. Jiwa manusia yang selalu digoda oleh setan, diuji dengan hawa nafsu, kemalasan bahkan lupa, kemudian menjadi lemah semangat dalam mengumpulkan bekal dan beribadah, membuat kita menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah manusia yang selalu membutuhkan siraman-siraman suci berupa Al-Quran, mutiara-mutiara sabda Rosulullah, ucapan hikmah para ulama, bahkan saling menasehati dengan penuh keikhlasan sesama saudara seiman. Sehingga kita tetap berada pada jalan yang benar, istiqomah melalui sebuah proses perjalanan menuju Allah SWT.
Hadirin Jama’ah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah
Jika kita membuka kembali lembaran kisah salafus shalih, kita akan menemukan karakteristik amal yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada diantara mereka yang konsent pada bidang tafsir, hadits, fiqih, pembersihan jiwa dan akhlak, atau berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya. Namun, satu persamaan yang didapat dari para ulama tersebut, yaitu kesungguhan mereka beramal demi memberikan kontribusi terbaik bagi sesama. Sebuah karya yang tidak hanya bersifat pengabdian diri seorang hamba kepada Penciptanya saja, namun juga mempunyai nilai manfaat luar biasa bagi generasi berikutnya.
Marilah kita renungi firman Allah berikut:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash: 77).
Hadirin yang dimuliakan Allah
Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran penting, tentang beberapa prinsip yang perlu kita sadari bersama akan keberadaan kita di dunia ini.
Pertama, prinsip mengutamakan kebahagiaan kehidupan akherat. Prinsip ini menghendaki agar dalam melaksanakan kehidupan di dunia, kita senantiasa mengutamakan pertimbangan nilai akherat. Namun perlu dipahami, mengutamakan kebahagiaan akherat bukan berarti dalam mewujudkan kebahagiaan duniawi diabaikan begitu saja, sebab amal akherat tidak berdiri sendiri dan terlepas dari amal duniawi. Sungguh amat banyak amalan akherat yang berhubungan erat dalam mewujudkan kebahagian duniawi.
Umpamanya sholat, seorang yang melaksanakan shalat dengan tekun dan disiplin bukanlah semata-mata sebagai amal akherat yang tidak berdampak duniawi, sebab bila shalat itu dilaksanakan menurut tuntutan Allah dan rasulNya, yang secara berjamaah, niscaya ia akan banyak memberikan hikmah dalam kehidupan dunia. Dengan shalat yang benar akan dapat mencegah seseorang dari berbuat keji dan munkar. Dengan demikian manusia akan terhindarnya dari perbuatan yang dapat merugikan orang lain, sehingga terciptalah ketenteraman hidup bersama di dunia ini.
Begitu juga dengan infak dan shodaqoh, seorang yang beramal dengan niatan mulia untuk mendapatkan ganjaran berupa pahala dari Allah di akherat, maka dengan hartanya tersebut dapat memberikan manfaat bagi kehidupan orang lain yang membutuhkan.
Kedua prinsip ‘ahsin’ yaitu senantiasa menghendaki kebaikan. Bila seseorang menanamkan prinsip ini dalam dirinya, niscaya ia akan menunjukkan diri sebagai orang yang pada dasarnya selalu menghendaki kebaikan. Ia akan senantiasa berprasangka baik kepada orang lain, selalu berusaha berbuat baik dan  berkata baik dalam pergaulan di kehidupan sehari-hari.
Maka akan selalu tampillah kebaikan demi kebaikan, mempersembahkan sebuah karya terbaiknya untuk kemanfaatan masyarakat disekitarnya, peduli akan kemaslahatan umum, dan meninggalkan sebuah kebaikan yang akan selalu dapat dikenang oleh orang banyak walaupun ia sudah pergi terlebih dahulu menuju kehidupan yang abadi.
Ketiga adalah prinsip walaa tabghil fasada fil ardh’ yaitu prinsip untuk tidak berbuat kerusakan. Bila prinsip ini dipegang teguh, seseorang akan lebih melengkapi prinsip yang kedua, yakni melengkapi upayanya berbuat baik dengan upaya menghindari perbuatan yang merusak. Terjadinya kerusakan alam, kerusakan moral, kerusakan dalam tatanan kehidupan masyarakat sering kali terjadi karena sudah hilangnya kesadaran akan tujuan hidup yang sesungguhnya, sehingga seorang lupa bahwa sesungguhnya ia tidak dibiarkan begitu saja, bahwa ia akan mempertanggung jawabkan segala perbuatannya ketika ia menghadap Allah di akherat kelak.
Hadirin sidang sholat jumat yang dimuliakan Allah
Allah swt mengingatkan kita dengan firmannya:
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqoroh: 197)
Walaupun ayat di atas menjelaskan tentang bekal penting dalam perjalanan ibadah haji, namun sesungguhnya ia merupakan gambaran ketika manusia akan menghadap Allah di padang mahsyar kelak, ibadah haji merupakan miniatur gambaran manusia yang akan dikumpulkan di padang mahsyar nanti sebagaimana halnya mereka berkumpul di padang arafah. Maka bekalan utama yang dapat menyelamatkan itu adalah taqwa.
Firman Allah SWT di atas juga memiliki makna tersirat bahwa manusia memiliki dua bentuk perjalanan, yakni perjalanan di dunia dan perjalanan dari dunia. Perjalanan di dunia memerlukan bekal, baik berbentuk makanan, minuman, harta, kendaraaan dan sebagainya. Sementara perjalanan dari dunia juga memerlukan bekal.
Namun perbekalan yang kedua yaitu perbekalan perjalanan dari dunia menuju akhirat, lebih penting dari perbekalan dalam perjalanan pertama yakni perjalanan di dunia. Imam Fachrurrozi dalam dalam tafsirnya menyebutkan ada lima perbandingan antara keduanya:

Pertama, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang belum tentu terjadi. Tapi perbekalan untuk perjalanan dari dunia, akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang pasti terjadi.

Kedua, perbekalan dalam perjalanan di dunia, setidaknya akan menyelamatkan kita dari kesulitan sementara, tetapi perbekalan untuk perjalanan dari dunia, akan menyelamatkan kita dari kesulitan yang tiada tara dan tiada habis-habisnya.

Ketiga, perbekalan dalam perjalanan di dunia akan menghantarkan kita pada kenikmatan dan pada saat yang sama mungkin saja kita juga mengalami rasa sakit, keletihan dan kepayahan. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia menuju akhirat, akan membuat kita terlepas dari marabahaya apapun dan terlindung dari kebinasaan yang sia-sia.

Keempat, perbekalan dalam perjalanan di dunia memiliki karakter bahwa kita akan melepaskan dan meninggalkan sesuatu dalam perjalanan. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia, memiliki karakter, kita akan lebih banyak menerima dan semakin lebih dekat dengan tujuan.

Kelima, perbekalan dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia akan semakin membawa kita pada kesucian dan kemuliaan karena itulah sebaik-baik bekal. (Tafsir Ar-Raazi 5/168)

Sesungguhnya perjalanan itu cukup berat, dan masih banyak bekal yang perlu disiapkan. Semua kita pasti tahu bekalan yang sudah kita siapkan masing-masing. Jika kita anggap bekalan itu masih kurang, tentu kita tidak akan rela seandainya tidak lama lagi ternyata kita harus segera menempuh perjalanan menuju akhirat itu.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

  

Jumat, 13 September 2013

Mahasiswa Tafsir Hadits Menjawab
Problematika Kekinian dalam Perspektif Syariat
Hasil analisis problematika ditengah masyarakat modern
disusun untuk memenuhi persyaratan Ujian Akhir Semester Mata Kuliyah Praktikum Ibadah

Dosen Pembimbing:
Dr. Lilik Umi Kultsum, MA

Oleh:
Anisul Fahmi
1112034000138
Description: Description: Description: Description: D:\Logo\logo uin jkt.jpg
Prodi Tafsir Hadits
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2013

                      


Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq, hidayah serta inayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan nabi agung Muhammad Saw, keluarga, sahabat, dan para pengikut setia beliau.

Dengan segenap upaya serta kemampuan yang terbatas akhirnya kami mampu menghadirkan makalah ini untuk mata kuliah Praktikum Ibadah semester II  Prodi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif  Hidayatullah Jakarta, terkhusus makalah ini kami persembahkan kepada dosen pembimbing kami yang terhormat Ibu Dr. Lilik Umi Kultsum, MA, meski kami menyadari akan keterbatasan dan kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruksif  sangat kami harapkan.

Kami hanya mengharapkan do’a beliau serta ilmu, bimbingan, arahan, nasihat-nasihat  dan wacana Ilmiah yang selalu kami tunggu sehingga kami bisa melepaskan semua kebodohan yang membelenggu dialam pikiran, serta mendapatkan kesegaran dalam ruh, dan sebagai penawar kehausan dalam memahami khazanah Islam klasik dan modern, serta memperkaya wacana,

Semoga makalah ini bermanfa’at  fiddin wal ahirat. Amin.
                                                              
                                                                                 Ciputat,  09 Juni 2013 M.
Penyusun




Problematika  Takbirotul Ihram Dalam Shalat Jenazah
Tak dapat dipungkiri perbedaan pendapat, faham, dan aktifitas dalam beribadah niscaya terjadi di tengah-tengah masyarakat, seperti  orang-orang berbeda pendapat dalam masalah mengangkat kedua tangan dengan disertai beberapa takbir dalam shalat jenazah. Sebagian orang berpendapat bahwa kedua tangan harus diangkat seiring dengan pembacaan setiap takbir. Sedangkan sebagian yang lainnya berkata: “Kedua tangan tidak perlu diangkat. Kecuali, pada takbir pertama saja.” Hal ini dialami oleh sebagian masyarakat Jawa sampai sekarang.
Imam Tirmidzi berkata: “Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian besar ulama yang berasal dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kalangan lainnya berpendapat bahwa kedua tangan harus diangkat setiap kali mengucapkan takbir.” Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibnu Mubarak, imam Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Sedangkan sebagian ulama lain berpendapat: “Kedua tangan tidak perlu diangkat kecuali pada takbir yang pertama.” Pendapat tersebut merupakan pendapat imam Tsauri dan Ahli Kufah.[1]
Ibnu Qayyim berkata: “Adapun dalam masalah mengangkat kedua tangan, imam Syafi’i berkata: “Hendaknya kedua tangan diangkat pada setiap takbir. Hal tersebut sesuai dengan atsar dan penggunaan metodologi qiyas (analogi) terhadap sunnah yang menunjukkan tentang tata cara takbir dalam shalat jenazah. Karena, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengangkat kedua tangannya dalam setiap takbir yang ia lakukan dalam shalat jenazah dalam keadaan berdiri.”
Komentar Penulis :
“Yang dimaksud dengan atsar adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Anas bin Malik, dimana keduanya mengangkat kedua tangan mereka setiap kali melakukan takbir dalam shalat jenazah.  Abdullah berkata dalam kitab: “Masail” miliknya, pada halaman 139: “Saya bertanya kepada ayah saya tentang bagaimana cara menshalatkan jenazah. Saya berkata kepada ayah: ‘Apakah kita harus mengangkat kedua tangan dalam setiap takbir?’ Ayah saya menjawab: ‘Benar.” Riwayat tersebut datang dari Ibnu Umar.
 “Atsar yang datang dari Ibnu Umar adalah atsar yang shahih. Atsar tersebut diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam juz: “Raf’u al Yadain” (110). Selain itu, atsar tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah (3/180), Ibnu Mundzir dalam kitab: “Al Awsath” (5/456), Baihaqi (4/44). Adapun atsar dari Anas bin Malik telah dicatat oleh imam Baihaqi (4/44). Dan disebutkan dari Anas bin Malik, ia mengangkat kedua tangannya setiap kali melakukan takbir dalam shalat jenazah.[2]
Dan termasuk ke dalam orang-orang yang mengangkat kedua tangannya setiap kali melakukan takbir adalah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma. Dalam kitab: “Talkhish al Kabir” (2/147) al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Benar, memang Ibnu Abbas selalu mengangkat kedua tangannya setiap kali melakukan takbir dalam shalat jenazah.”
Dan telah disebutkan juga beberapa atsar shahih dari sebagian tabi’in, bahwa mereka semua mengangkat tangan mereka dalam setiap kali takbir shalat jenazah.
Dari termasuk ke dalam beberapa ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah al ‘Alamah Ibnu Baaz Rahimahullah.
Dan termasuk ke dalam orang-orang yang berpegang pada pendapat kedua tangan hanya diangkat pada takbir pertama saja adalah imam Ibnu Hazm, yang tercatat dalam kitabnya: “Al Muhalla”, imam Syaukani dalam kitabnya: “Nail al Authar”, Syaikh Albani dalam kitabnya: “Ahkam al janaiz” dan syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya: “Fiqh as Sunnah”
Ringkasnya: permasalahan ini masih menjadi perdebatan para ulama. Kita tidak perlu memperbesar perbedaan yang terdapat pada diri manusia. Sehingga, orang yang satu, tidak perlu membantah pendapat orang yang lainnya. Karena: “Tiap-tiap ummat memiliki kiblatnya (sendiri), dimana mereka mengarahkan dirinya ke arah tersebut.” Wallahu A’lam.
Shalat Jenazah Bagi Orang Yang Bunuh Diri
Fenomena ini terjadi di daerah Jawa Tengah sebagian Ulama setempat  berpendapat bahwa orang yang melakukan aksi bunuh diri tidak dapat dishalatkan. Dengan alasan, mereka telah termasuk orang-orang kafir yang akan abadi di api neraka. Para ulama tersebut telah mempergunakan beberapa hadits sebagai dalil yang menguatkan pendapat mereka, di antaranya adalah:
1. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa yang bunuh diri dengan mempergunakan besi, maka besi di tangannya akan tertancap di perutnya di neraka nanti. Mereka akan hidup abadi di dalam neraka tersebut selamanya (dengan kondisi besi tertancap di perut). Dan barang siapa yang bunuh diri dengan meminum racun, maka ia akan terus meminumnya di neraka jahannam. Mereka akan hidup abadi di dalam neraka selamanya (dengan kondisi meminum racun). Dan barang siapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari puncak gunung, maka ia akan dilemparkan ke dalam api neraka Jahannam. Dan mereka akan hidup di dalam neraka tersebut selamanya.”[3]
2. Dari Tsabit bin Dhahhak al-Anshari bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu, maka Allah akan menyiksanya dengan materi yang sama di neraka Jahannam.”[4]
3. Dari Hasan, ia berkata: “Jundab Radhiyallahu ‘Anhu berbicara kepada kami di masjid ini. Kami tidak akan melupakan kata-katanya dan kami tidak khawatir ia akan memalsukan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ia berkata: “Seorang laki-laki memiliki luka. Maka ia-pun membunuh dirinya. Maka, Allah-pun berfirman: ‘Hambaku telah mempercepat ajalnya sendiri, maka aku akan mengharamkan surga baginya.”[5]
Ini merupakan beberapa hadits yang dijadikan sebagai sandaran para ulama yang berpendapat bahwa orang yang bunuh diri tidak perlu dishalatkan. Dengan alasan, mereka telah termasuk ke dalam golongan orang-orang kafir. Dan mereka akan abadi di neraka Jahannam.
Dan para ulama lain telah berusaha untuk mengcounter hadits ini:
Imam Nawawi berkata: “Imam Abu Abdurrahman Abdullah bin Mubarak Radhiyallahu ‘Anhu berpendapat dalam menyoroti masalah seperti ini. Pada dasarnya, tindakan pentakfiran terhadap orang-orang yang berbuat dosa itu hanya dilakukan sebagai bagian dari peringatan dan larangan.”[6]
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Maka ia akan berada di dalam api neraka Jahannam abadi dan selamanya.” Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: bahwa pendapat ini telah diusung oleh kalangan ulama Muktazilah dan ulama lain yang berkeyakinan bahwa orang-orang yang berbuat maksiat akan abadi di dalam api neraka. Kemudian, kalangan Ahli Sunnah menjawab berbagai pendapat mereka tersebut dengan beberapa jawaban, di antaranya: “Dalam hadits tersebut diklaim adanya tambahan.
Setelah melakukan studi terhadap hadits-hadits tersebut, imam Tirmidzi berkata: diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Ajalan dari Sa’id al Maqbari, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dalam hadits tersebut tidak pernah disebutkan kalimat: “Khaalidan Mukhalladaa” yang artinya abadi selamanya. Begitupula yang diriwayatkan oleh Abu Zunad dari A’raj, dari Abu Hurairah yang menunjuk pada periwayatan hadits yang terdapat dalam bab ini, ia berkata: Hadits ini lebih shahih. Karena, riwayat yang ada juga benar keberadaannya. Bahwasanya orang-orang yang mengesakan Allah akan disiksa dan kemudian dikeluarkan dari neraka. Jadi, mereka tidak abadi berada di neraka Jahannam.
Kemudian, kalangan yang lain berusaha untuk menjawab bahwa perbuatan tersebut telah menempatkannya pada satu kedudukan, orang kafir. Dan tidak diragukan lagi bahwasanya orang kafir akan hidup abadi di neraka. Dan ada juga sebagian pendapat yang mengatakan bahwa hadits tersebut menempati hadits-hadits yang memberikan peringatan dan larangan. Akan tetapi, ada sebagian lain yang mengatakan bahwa hadits tersebut menerangkan balasan yang akan Allah berikan kepada orang-orang yang melakukan bunuh diri.
Akan tetapi, Allah telah mengagungkan orang-orang yang mengesakan-Nya. Oleh karena itu, Ia telah berjanji untuk mengangkat mereka dari api neraka karena pengesaan tersebut. Ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa keputusannya dikembalikan kepada Allah Subhaanahu Wata’aala. Dan ada juga ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan abadi di sini adalah beberapa saat yang sangat lama. Akan tetapi, tidak bersifat selamanya. Seakan-akan, Rasulullah bersabda: ‘Kalian akan abadi di dalamnya selama beberapa waktu yang telah ditentukan.”[7]
Komentar Penulis:
 “Berdasarkan berbagai keterangan tersebut, maka oleh analisis kami adalah: Orang yang melakukan tindakan bunuh diri dianggap sebagai orang fasik dan bukan orang kafir. Sehingga, orang tersebut harus tetap dishalatkan. Dalil yang menguatkan pendapat tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, dari Jabir bahwasanya Thufail bin ‘Amr al Dausi datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka ia-pun berkata: “Wahai Rasulullah! Apakah anda berkenan untuk tinggal di benteng kami yang kuat dan tangguh? —yaitu, benteng suku ad Dausi yang ada pada masa Jahiliyyah— Sayangnya, Rasulullah tidak berkenan memenuhi permintaan tersebut. Karena, beliau yakin terhadap ketangguhan yang telah ditanamkan Allah di hati kaum Anshar di Madinah.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hijrah ke Madinah, maka Tuhufail bin Amr ikut pula berhijrah. Ia membawa serta seorang laki-laki dari kaumnya. Akan tetapi, udara Madinah tidak cocok bagi mereka. Sehingga, teman Thufail sakit dan tidak sabar menahan derita tersebut. Karena itu, ia-pun mengambil senjatanya. Lalu, dipotonglah tangannya. Sehingga, darahpun mengucur dengan derasnya. Sehingga, akhirnya ia meninggal.
Suatu malam, Thufail bermimpi melihat temannya tersebut dalam keadaan segar bugar dengan tangan terbungkus. Akhirnya, Thufail bertanya kepadanya: “Apakah yang diperbuat Tuhan terhadapmu?’ teman-nya itu-pun menjawab: “Allah telah mengampuni dosa-dosaku. Karena aku telah ikut hijrah mengikuti jejak Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.’ Kemudian, Thufail bertanya kembali: ‘Aku lihat tanganmu terbungkus, kenapa?’ Temannya tersebut menjawab: ‘Allah telah berkata bahwasanya Ia tidak akan memperbaiki apa yang telah kamu rusak sendiri.’ Mimpi Thufail itu-pun diceritakan kepada Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu berliau berdoa: ‘Ampunilah dia ya Allah. Karena dia telah memotong tangannya.”[8]
Imam Nawawi berkata: “Adapun mengenai hukum-hukum hadits, di dalamnya terdapat argumen untuk sebuah kaidah yang sangat agung milik golongan Ahli Sunnah: bahwa barang siapa yang membunuh dirinya atau melakukan dosa lainnya dan kemudian meninggal tanpa melakukan taubat terlebih dahulu, maka ia bukanlah termasuk ke dalam orang-orang kafir. Dan ia juga belum pasti akan masuk ke dalam neraka. Jadi, hukum dan ketetapannya akan kembali kepada kehendak Allah. Dan saya rasa, keterangan dan penjelasan kaidah ini telah disebutkan sebelumnya. Hadits ini merupakan keterangan untuk beberapa hadits yang telah disebutkan sebelumnya yang menyatakan bahwa orang-orang yang melakukan bunuh diri dan para pelaku dosa besar lainnya akan menjadi ahli neraka dan hidup abadi di dalamnya. Di dalamnya juga terdapat penetapan hukuman untuk sebagian orang-orang yang melakukan perbuatan dosa. Seperti orang di atas, ia menerima hukuman pada kedua tangannya. Dan di dalamnya terdapat bantahan terhadap golongan Murji’ah yang berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan dosa tidak berdampak apa-apa.[9]
Dan apabila orang-orang yang membunuh dirinya tetap dishalatkan, maka hendaknya orang-orang terpandang dan para agamawan tidak perlu menshalatkannya. Hal tersebut bertujuan agar orang-orang tidak dengan berani melakukan perbuatan-perbuatan dosa dengan seenak hatinya. Adapun dalil yang dapat memperkuat pendapat kita ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim dari Jabir bin Samrah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Ada seorang jenazah laki-laki yang dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Laki-laki tersebut membunuh dirinya dengan panah yang memiliki kepala yang sangat lebar. Akan tetapi, pada saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menshalatkannya.”[10]
Imam Nawawi berkata: “Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil bagi orang-orang yang berpendapat bahwa orang yang bunuh diri tidak perlu dishalatkan. Karena, dosa yang telah dilakukannya. Dan pendapat ini juga menjadi pendapat para pengikut Umar bin Abdul ‘Aziz dan imam Auza’i. Akan tetapi, segolongan ulama, seperti: imam Hasan, Nakha’i, Qatadah, Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan para ulama lainnya berpendapat bahwa jenazah orang yang bunuh diri tetap harus dishalatkan. Dan mereka berusaha untuk memberikan argumen bantahan untuk keterangan hadits di atas. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memang sengaja tidak menshalatkan orang yang bunuh diri tersebut, sebagai bentuk peringatan terhadap manusia agar mereka tidak melakukan perbuatan orang yang bunuh diri tersebut.
Benar, pada saat itu Rasulullah tidak menshalatkannya. Akan tetapi, para sahabat telah menggantikannya untuk menshalatkan jenazah tersebut. Dan hal tersebut sama dengan perlakuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada orang-orang yang memilki hutang. Pada awalnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menshalatkan mereka. Karena, mereka dianggap terlalu mudah meminjam dan mengabaikan janjinya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menshalatkannya dan meminta para sahabat untuk menshalatkan orang tersebut: “Shalatkanlah sahabat kalian itu.”
Al-Qadhi berkata: “Para ulama berpendapat bahwa setiap muslim wajib dishalatkan; Orang yang mendapatkan hukum had, rajam, bunuh diri ataupun anak hasil zina. Dan diriwayatkan dari imam Malik dan ulama yang lainnya bahwa seorang pemimpin tidak perlu ikut menshalatkan orang yang dibunuh karena menjalani hukum had. Dan orang-orang yang terhormat atau memiliki kedudukan tidak perlu menshalatkan orang-orang fasik. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk peringatan terhadap mereka.[11]
Zakat fitrah menggunakan Rupiah
I.     Syarat zakat fitrah:
1.      Islam
2.      Merdeka
3.      Memenuhi akhir Ramadhan (sebelum matahari tenggelam sempurna diufuk barat) dan awal Syawal (saat matahari tenggelam sempurna di ufuk barat).
4.      Memilik biaya hidup sandang, pangan, dan papan bagi diri sendiri dan orang-orang islam yang wajib dinafkahinya pada malam dan siang hari raya.[12]
II.  Kadar dan Jenis Zakat Fitrah.
Bila seseorang telah memenuhi syarat-syarat zakat fitrah diatas, maka ia wajib membayar zakat fitrah bagi dirinya sendiri dan orang-orang islam yang wajib dinafkahinya ialah orang-orang islam yang memiliki hubungan dengannya karena pernikahan, yaitu istri (termasuk istri yang tertalak raj’i atau tertolak ba’in dalam keadaan hamil), hubungan kepemilikan yaitu budak, dan hubungan darah (kerabat) namun hanya orang tua seatasnya dan anak sebawahnya yang belum mampu bekerja, oleh sebab itu andaikan anak tersebut sudah mampu bekerja maka zakat fitrahnya tidak menjadi kewajiban orang tua lagi. Sehingga kewajiban membayar zakat fitrah baginya gugur bila ia tidak mampu membayar sendiri.[13]
Kadar zakat untuk setiap kepala adalah satu sha’ makanan pokok yang biasa dikonsumsi di daerah ia tinggal, seperti beras, jagung, dan sejenisnya, sebagaimana keterangan dalam hadits, ukuran satu sha’ menurut konversi mayoritas ulama adalah 2,751 kg.[14]
Sedangkan menurut ulama lain satu sha’ 2,720 kg ditambah dalam keterangan kitab Mukhtasar Tasyyid al-Bunyan adalah 2,5 kg.
Namun akhir-akhir ini yang terjadi bukan demikian karena alasan lebih mudah dan praktis, para orang kaya ketika zakat fitrah memilih mengeluarkan zakat fitrahnya dengan uang. Disamping itu, uang tersebut lebih leluasa untuk ditasarufkan oleh pihak penerima zakat, bahkan permasalahan ini sempat difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia Bandung.  Apakah yang demikian diperbolehkan?
Komentar Penulis:
Berpijak pendapat Ulama madzhab Syafi’i tidak diperbolehkan, sedangkan menurut madzhab Hanafi diperbolehkan, karena hakikat zakat dengan menggunakan uang, penerima zakat akan lebih leluasa untuk membelanjakannya. Sementara uang yang harus dikeluarkan seharga setengah sho’ burr (gandum), yakni 1,9 kg gandum  (meskipun bagi penduduk Indonesia yang makanan pokoknya menggunakan beras, karena dalam hal ini beras distandarkan dengan gandum dalam madzhab hanafi) dan yang lebih menarik bahwa ada satu pendapat dari kalangan pengikut madzhab Syafi’i yang mengikuti pendapat madzhab Hanafi.[15] Dengan kesimpulan menurut madzhab Hanafi,dan sebagian madzhab Syafi’i zakat fitrah boleh dikeluarkan berupa uang yang setara dengan harga setengah sha’ atau 1,9 kg gandum (satu sha’ dalam konversi madzhab Hanafi adalah 3,8 kg). Begitulah pula bila dibayarkan dengan beras, maka harus dengan sejumlah beras yang harganya setara dengan harga setengah sha’ gandum (1,9 kg) pula. Hal demikian mengingat tidak ditemukan nash syar’i secara tegas tentang zakat fitrah dengan uang dan beras, sebagaimana konsep dalam metodologi penggalian hukum (Ushul fiqh),[16]
Miskin pemalas bolehkah menerima zakat
Orang-orang  yang berhaq menerima zakat sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat At-Taubah: 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Dari ayat ini sangat jelas bahwa zakat hanya boleh diberikan pada delapan golongan, yaitu:
1.      Kaum Fakir
2.      Kaum Miskin
3.      Amil Zakat
4.      Mu’allaf
5.      Riqab
6.      Gharimin
7.      Sabilillah
8.      Ibn sabil
I.     Pengertian Fakir dan Miskin
     Fakir dalam fiqh diartikan sebagai orang yang tidak mempunyai harta dan atau pekerjaan yang layak baginya, mencukupi kebutuhan sendiri, dan orang-orang yang wajib dinafkahi olehnya sesuai dengan standar kelayakan, atau mempunyai arta dan atau pekerjaan yang layak baginya namun tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan orang yang wajib dinafkahi sesuai setandar kelayakan, selama sisa umur ghalib (usia manusia secara umum, yaitu 60 tahun)[17]
Sedangkan miskin adalah orang yang mempunyai harta atau pekerjaan yang layak baginya dan hampir mencukupi kebutuhan hidup diri dan orang yang wajib dinafkahinya sesuai standar kelayakan, selama sisa umur ghalib.
a.    Kerangka masalah:
Banyak kita jumpai komunitas masyarakat pengangguran, yang semestinya mereka mempunyai potensi untuk bekerja dan mencari nafkah, terbukti lapangan pekerjaan masih terbentang luas. Apakah mereka berhak mendapatkan zakat fitrah?
b.    Komentar Penulis:
Bisa dapat disimpulkan dari pengertian fakir dan miskin, bahwa masyarakat pengangguran yang semestinya mampu untuk bekerja dan mencari nafkah dengan pertimbangan lapangan pekerjaan terbentang luas, maka ia tidak boleh menerima zakat, karena tidak termasuk kategori fakir, miskin.
Sebagaimana ketika seseorang dalam kondisi fakir miskin namun kebutuhan hidupnya telah dicukupi oleh anak, orang tua, atau suami, maka ia tidak berhak menerima zakat.[18] Berbeda kondisinya seorang yang lagi belajar ilmu agama, maka ia berhak menerima zakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mengingat ilmunya akan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan begitu pula untuk orang lain.[19]
BPKB atau Sertifikat digadaikan
Sering terjadi dimasyarakat, ketika dalam kondisi sangat membutuhkan dana, meminjam BPKB atau sertifikat tanah kepada tetangganya, Kemudian BPKB atau sertifikat tanah tersebut digadaikan ke Bank untuk meminjam uang, Bolehkah BPKB atau sertifikat tanah hasil pinjaman dijadikan sebagai barang gadaian, bagaimana menyikapi kasus demikian dalam perspektif syariat ?
Syarat Penyitaan barang  gadaian
Praktek  pegadaian yang terjadi di masyarakat bermacam-macam modelnya, Contoh saja, pihak pemilik jasa gadai mensyaratkan terhadap penggadai, jika tidak mampu membayar hutang dalam tempo waktu yang membayar hutang dalam tempo waktu yang telah ditentukan, maka barang gadaian akan disita dan menjadi milik penggadaian sebagai ganti dari hutangnya, sahkah  model  transaksi semacam diatas ?
      Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan  dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat di ambil kembali sejumlah harta yang di maksudkan sesudah di tebus.
Komentar Penulis:
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan diatas, penulis mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam sebagai berikut.
a.    Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut.
Manjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.”[20]
b.    Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut.
Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang , untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang  tidak sanggup membayar utangnya.”[21]
c.    Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut.
Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).”[22]
d.   Ahmad Azhar Basyir
Rahn perjanjian menahan sesuatu barang sebagi tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[23]
e.    Muhammad Syafi’I Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas uatang / pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau menerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.[24]
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di atas, penulis berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas  pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menerima (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.
I.     Rukun dan Syarat sahnya perjanjian
Rukun dan syarat sahnya perjanjian gadai adalah sebagai berikut:
1.    Ijab qabul (shighot)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak.
2.    Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan mutthahin (penerima gadai) adalah:
a. Telah dewasa;
b. Berakal;
c. Atas keinginan sendiri.
3. Adanya barang yang digadai (Marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah:
a. Dapat diserah terimakan;
b. Bermanfaat;
c. Milik rahin (orang yang menggadaikan).
d. Jelas;
e. Tidak bersatu dengan harta lain;
f. Dikuasai oleh rahin;
g. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
4. Marhun bih (utang)
Menurut ulama Hanafiyah dan Safiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah:
a. Berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan;
b. Utang harus lazim pada waktu akad;
c. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
II. Hak dan kewajiban penerima dan pemberi gadai
1. Hak dan kewajiban penerima gadai
    Hak penerima gadai :
a. Penerima gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan harta benda gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
b. Penerima gadai berhak mendapat penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk manjaga keselamatan harta benda gadai (marhun).
c. Selama pinjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai berhak menahan harta benda gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
Berdasarkan hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
a. Penerima gadai bertanggung jawab  atas hilang atau merosotnya harta benda gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
b. Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya.
c. Penerima gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan harta benda gadai.
2. Hak dan kewajiban pemberi gadai (Rahin)
Hak pemberi gadai:
a. Pemberi gadai berhak mendapat pengembalian harta benda yang digadaikan sesudah ia melunasi pinjaman utangnya.
b. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan dan/atau hilangnya harta benda yang digadaikan, bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
c. Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda  gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
d. Pemberi gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila penerima gadai diketahui menyalahgunakan harta benda gadainya.
Berdasarkan hak-hak pemberi gadai diatas  maka muncul kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Pemberi gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
b. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda gadainya, bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi utang pinjamannya.
Kesimpulan :
Komentar penulis, dalam persyaratan yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin ialah barang milik ia sendiri namun hal ini diperbolehkan pemberi gadai (rahin) menyerahkan barang gadaiannya yang berstatus pinjaman seperti dalam permasalahan diatas.[25]  Sedangkan untuk permasalahan yang kedua hukumnya tidak sah, karena ada unsur membatasi dengan waktu pada akad gadai dan menggantungkan akad jual beli (mengkaitkannya dengan hal lain)[26]
Legalitas Kawin Lari
Rahmat dan neng Salma merupakan remaja yang dirundung asmara. Jalinan cinta mereka terbilang cukup lama dan bahkan sudah berjanji akan sehidup semati. Karena mereka tidak mau berpisah dan ingin cepat merasakan manisnya buah cinta, Rahmat memberanikan diri melamar kekasihnya, namun entah dengan alasan apa, cinta mereka kandas tidak direstui oleh keluarga neng Salma. Akhirnya  mereka sepakat untu kawin lari. Mereka berdua menemui seorang kyai disuatu tempat dan ingin menjadikannya sebagai wali nikah. Sahkah akad pernikahan tersebut ?
Saksi Nikah Lewat HP 3G
Disuatu daerah terdapat sebuah kejadian yang cukup menarik, dimana orang menjadi saksi nikah, tidak ada ditempat berlangsungnya akad nikah. Untuk melihat dan berkomunikasi, hanya menggunakan via telepon, semisal HP 3G, sedangkan orangnya ada diluar negeri sana, Apakah saksi nikah dianggap cukup hanya dengan mendengar dan melihat prosesi akad nikah dari kejahuan menggunakan HP  ?
Komentar Penulis:
I.     Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.


II.   Hukum Perkawinan
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
a. Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b. Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.
c. Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
d. Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e. Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.
III. Rukun dan Syarat Perkawinan
1. Rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Calon suami
b. Calon istri
2. Syarat – syarat calon mempelai :
1) Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama,  jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
2)   Keduanya sama-sama beragama islam.
3)   Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
4)   Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan mengawininya.
5)   Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
3.  Wali nikah dari mempelai perempuan
a. Syarat – syarat wali :
1)   Telah dewasa dan berakal sehat
2)   Laki – laki. Tidak boleh perempuan.
3)   Muslim
4)   Orang merdeka
5)   Tidak berada dalam pengampuan
6)   Berpikiran baik
7)   Adil
8)   Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
4. Dua orang saksi
a. Syarat – syarat saksi :
1)   Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
2)   Kedua saksi itu adalah bergama islam.
3)   Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
4)   Kedua saksi itu adalah laki – laki.
5)   Kedua saksi itu bersifat adil.
6)   Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
5.  Ijab dan Qabul
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
6. Syarat – syarat akad nikah :
1)   Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
2)   Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda.
3)   Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4)   Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.


Kesimpulan.
Untuk permasalahan yang pertama tidak sah, jika pihak KUA masih bersedia menikahkan mereka berdua dan tidak memungut biaya yang memberatkan
.[27]
Permasalahan yang kedua Belum cukup, artinya saksi harus hadir langsung ditempat prosesi pernikahan.[28]
Suami Terjerat Hukum, Istri minta cerai
Disuatu daerah, ada seorang tokoh masyarakat yang dipenjara disebabkan kasus korupsi, Istrinya pun merasa malu melihat suaminya dipenjara, ditambah lagi cemoohan dari masyarakat yang bertubi-tubi. Akhirnya sang istri mengajukan gugatan cerai (Fasakh n-Nikah) kepada pihak pengadilan setempat. Bolehkah bagi seorang istri minta Faskh  disebabkan sang suami dipenjara?
Komentar penulis:
Tidak diperbolehkan, kecuali jika dengan dipenjaranya sang suami, sang istri tidak ada yang mencukupi kebutuhan sehari-harinya.[29]
Menolak perjodohan Orang tua
Anak muda zaman sekarang, tidak ada yang belum pernah merasakan yang namanya pacaran. Sehingga tak jarang, gara-gara ulah yang mereka lakukan, berdampak konflik  diantara keluarga dengan sang anak,  seperti apa yang terjadi pada neng  Nafis yang enggan dijodohkan  dengan seorang laki-laki pilihan orang tuanya, karena dia sudah mempunyai pilihan sendiri, bagiamana menurut syariat  menyikapi kasus diatas ?
Komentar penulis:
Jika calon suami pilihana ortu dengan pilihan sang anak sama dalam segi levelnya (sekufu), maka neng Nafis harus patuh pada pilihan ortu, sebab orang tua lebih tahu mana yang lebih maslahah baginya. Menurut pendapat Imam as-Subki, pilihan sang anak harus dikedepankan, untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Sehingga sang ortu harus menuruti pilihan sang anak. Sementara menurut Imam al-Adra’i, jika pilihan sang anak mempunyai nilai lebih dalam hal ketampanannya dan kekayaannya, maka sang ortu harus memenuhi permintaan sang anak.[30]
Menikah tanpa menunggu Iddah selesai
Belakangan Ini, masalah-masalah yang telah dirumuskan oleh syara’ mulai diragukan kevalidannya oleh kalangan kedokteran, seperti yang ahir-ahir ini terjadi, bahwa ada seorang wanita yang baru dicerai oleh suaminya. Dia mengaku, bahwa setelah berkonsultasi ke dokter dan diteliti dengan alat canggih, ternyata dia bebas dari hamil. Sehingga jika dia diteliti dengan alat canggih, ternyata dia bebas dari hamil, sehingga jika dia mau kawin, menurut dokter tidak masalah, sebab sperma suami yang pertama tidak mungkin tercampur dengan suami yang kedua. Apakah boleh menikahi tanpa menunggu iddah selesai, karena menurut dokter dia tidak hamil ?
Komentar penulis: Tidak boleh, karena dia harus menjalankan iddah, walaupun oleh dokter divonis tidak hamil[31]
Obat Pelancar Haidl
Perkembangan tekhnologi saat ini begitu pesat, sampai-sampai seorang wanita yang sedang menjalani masa iddah dengan tiga sucian, berinisiatif mempercepat iddahnya dengan mengkonsumsi obat pelancar haidl. Bagaimana setatus iddahnya seorang wanita yang minum obat pelancar haidl, agar iddahnya cepat selesai ?
Komentar penulis: Iddahnya sudah dianggap selesai.[32]
Sikap Suami ketika istri kondisi Hamil (ngidam)
Bagi para pengantin baru, jangan kaget ketika sang istri yang sedang hamil ngidam minta sesuatu yang aneh-aneh. Sebab dalam keadaan seperti ini, terkadang permintaan istri tidak lumrah. Bayangkan saja, belum musimnya mangga, dia minta mangga. Yang lebih parah lagi, sudah mencarinya sulit, ternyata setelah mendapatkan dengan susah payah, dia kadang tidak mau, malah minta yang lain. Apakah wajib bagi seorang suami memenuhi permintaan istri ketika hamil muda (baca; Ngidam ) ?
Komentar penulis: Wajib, jika hal tersebut sudah mentradisi.[33]
Mempertontonkan pengantin wanita
sudah menjadi hal yang lumrah ketika mengadakan resepsi pernikahan, seorang pengantin wanita dirias secantik mungkin dengan beraneka ragam cara, seperti berbusana yang transparan, buka aurat, bahkan memakai baju toples. Lebih dari itu, pengantin wanita  tersebut dipertontonkan dihadapan para tamu. Padahal umumnya tamu undangan tidak lepas dari kaum laki-laki. Apakah hal tersebut dibenarkan menurut syariat ?
Komentar penulis: Mempertontonkan pengantin wanita dihadapkan laki-laki dengan dirias, membuka aurat dan memakai busana yang menimbulkan gairah, hukumnya haram,[34]
Dada terbuka ketika menyusi anak
Sering kita temui, bahwa para ibu yang sedang menyusui anaknya akan membuka bagian dadanya agar lebih leluasa menyusui anaknya. Namun ironisnya, praktek demikian ini dilakukan didepan umum. Apakah yang demikian diperbolehkan, mengingat hal tersebut bertujuan menyusui anaknya?
Komentar penulis: Haram, karena termasuk aurat.[35]
Konsep anak diperbolehkan tidur bersama ortu
Sebut saja pak Ijo, yang sudah tiga puluh tahun menjalani pernikahan dengan istri tercintannya. Alhamdulillah beliau sekarang sudah dikaruniai lima anak, dua perempuan dan yang tiga laki-laki. Pak ijo sangat bahagia dengan kehadiran anak-anaknya tersebut. Hanya saja, beliau sempat bingung pada anak terahir (bungsu), sebab ketika tidur, si bungsu ini sering bareng sama ibunya, padahal dia sudah dewasa. Adakah konsep dalam Islam yang mengatur masalah lawan jenis, terkait masalah diatas?
Komentar penulis: Ada, yakni anak laki-laki atau perempuan sudah berumur 10 tahun maka tempat tidur sang anak harus dipisah dari ibunya, bapaknya saudara laki-laki atau perempuannya.[36]
Berkata kasar pada suami
Dalam berumah tangga, pertengkaran yang terjadi antara suami-istri merupakan hal yang tak dapat dihindari, meskipun motifnya terkadang sangat remeh, hal itu merupakan bumbu kehidupan bagi mereka berdua, sehingga tak jarang dalam bertengkarnya tersebut, mereka sampai berkata yang pantas diungkapkan, terkadang juga, biasanya sang istri kalau bertengkar dengan suaminya, langsung masuk kamar dan menguncinya dan lain sebagainya. Dimana semua itu pada intinya adalah saling meluapkan kebencian dia antara mereka. Namun menariknya, setelah pertengkaran itu, jelang beberapa waktu mereka sudah akur kembali seperti biasa.
Pertanyaan:
Apakah perkataan seorang istri pada suaminya dapat menjadikannya nusyuz (tidak patuh)?
Apabila istri yang tidak membuka pintu kamar termasuk dala kategori nusyuz?
Komentar penulis: a. Tidak, meskipun hal itu menyebabkan sang istri berdosa.[37]
b . Ya, termasuk nusyuz.[38]
Tidak mempunyai uang saat diundang walimah
Suatu hari pak Ahmad  mendapatkan undangan walimah al-ursy. Namun sayangnya acara itu bertepatan denga hari boke-nya pak Ahmad. Padahal sudah menjadi tradisi didaerahnya, jika menghadiri acara walimah, para tamu selalu menyumbang tuan rumah. Tidak menghadiri undangan tersebut hukumnya dosa, namun menghadiri tanpa memberi sumbangan akan menjatuhkan harga dirinya. Apakah kasus seperti diatas termasuk udzur yang dapat menggugurkan kewajiban menghadiri acara walimah ?
Komentar penulis: Termasuk kategori udzur dengan pertimbangan;
@ Harga diri dalam urusan walimah sangat dipertimbangkan
@ Ada maksud mengharapkan sumbangan (thama’) dari tuan rumah, padahal tujuan demikian tidak dibenarkan dan dapat menggugurkan kewajiban menghadiri walimah.
Namun jika sebelumnya Pak Ahmad sudah pernah mengundang dan disumbang oleh tuan rumah, maka pak Ahmad wajib mngembalikan apa yang dulu pernah disumbangkannya, mengingat uang sumbangan tradisinya berstatus hutang yang wajib dikembalikan[39].



Daftar Pustaka

Abd al-Ghaffar, Al-Sayyid Ahmad, Qadha Fi Ulum al_Qur’an, Mesir: Dar al-Mar’rifah al-Jami’yyah, 1999.
Al-Harbi, Husain bin ‘Ali bin Husain, Qawaid al-Tarjih ‘inda al-Mufassirin, Riyadh: Dar al-Qasim, 1996.
Athiah, Dr. Jamaluddin, Nahwa Taf‘īl Maqāshid al-Syarī‘ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001).
Raysūni, Ahmad al-, Maqāshid al-Syarī’ah Ta’rīfāt wa Muqaddimāt: Muhādharat fī Maqāshid al-Syarī’ah li al-Ustādz al-Raysūni,
Faris bin Zakariya, Abu al-Husain Ahmad bin, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr).
Āsyūr, Muhammad al-Thāhir ibn, Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Tunis: Dar al-Salam, 2009)
Maisāwi, Muhammad al-Thāhir al-, dalam pengantarnya terhadap karya Muhammad al-Thāhir ibn Āsyūr, Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Oman: Dar al-Nafa‘is, 2001).
Ghali, Dr. Balqasim al-, Syaikh al-Jāmi al-A’zham Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr: Hayātuhu wa Ātsaruhu  (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1996)
Umar, Dr. Umar bin Shalih bin, Mulakkhash al-Fiqh al-Maqshadi li al-Hadīts al-Nabawi,









[1] Lihat: “Sunan al Tirmidzi” (3/379).
[2] Lihat: “Zaad al Ma’ad” (1/408-409).
[3] Hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan Nasa’I (4/60, 61), Thahawi dalam kitab: “Syarh Ma’aani al Atsar” (1/291), Hakim (3/595-596) dan Baihaqi (4/15 & 16).
[4] Hadits ini merupakan hadits hasan yang diriwayatkan oleh al Thahawi dalam kitab: “Ma’ani al Atsar” (1/290).
[5] Hadits ini merupakan hadits hasan yang diriwayatkan Abu Dawud (3137).
[6] Lihat: “Ahkam al Janaiz”, h: 83
[7]   Lihat: “Fathu al Bari” (3/269)
[8]   HR. Muslim dalam kitab: “Al Iman” (307), pada bab: “Ad Dalil ‘Ala Anna Qatil Nafsihi La Yukaffar”
[9]   Lihat: “Syarh An Nawawi ‘Ala Shahih Muslim” (1/314), Cet: Daar al Ma’rifah – Beirut.
[10]   HR. Muslim dalam kitab: “Al Janaiz” (2259), pada bab: “Tarku as Shalat ‘Ala Qatil Nafsihi”
[11] lihat: “Syarh an Nawawi’Ala Shahih Muslim” (7/51)
[12] Ibn Qasim al-Ghazali dan Ibrahim al-Bajuri, Fathal Qorib, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz I, h. 289-290.
[13] Ibn Qasim al-Ghazali dan Ibrahim al-Bajuri, Fathal Qorib, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz I, h. 289-290.
[14] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr), Juz I, h. 119.
[15] Ashab as-Syafi’iyyah, al-Fiqh al-Manhaji, (Beirut: Dar al-Fikr)
[16] al-Fiqhu al-islami.(Maktabah as-Syamilah al-Isdar as-Tsani). Juz 4 h. 272
[17] Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Tuhfah al-Habib  ‘ala Syarh al-Khatib, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz II, h. 359-360
[18] Nihayah al-Muhtaj illa syarah al-Minhaj. Juz 6 h. 152
[19] Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Tuhfah al-Habib  ‘ala Syarh al-Khatib, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz II, h. 359-360
[20] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam, op.cit.,188.
[21] Abi Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ibnu Qudamah, Al-Mughny ‘ala Mukhtashar Al-Kharqiy, (Beirut: Ad-Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994), jilid 4, hlm.234.
[22] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam, op.cit., 4208.
[23]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, (Bandung: Al-Maarif, 1983), hlm. 50.     
[24] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 128.
[25] Mughni al-Muhtaj illa ma’rifat al-Fadz al-Minhaj. Juz 3 h. 53
[26] Hasyiyah Qulyubi wa Umaira. (Maktabah dar Ihya al-kutub al-Arobiyyah). Juz 3 h.82.
[27] Hasiyah al-Jamal.(Maktab dar al-Fikr). Juz 4 h.144
[28] al-Fiqhu al-islami.(Maktabah as-Syamilah al-Isdar as-Tsani). Juz 7  h. 5174-5175
[29] al-Fiqhu al-islami.(Maktabah as-Syamilah al-Isdar as-Tsani). Juz 13 h. 49
[30] Tuhfah al-Muhtaj Fi Syarhi al-Minhaj.(Maktabah Dar Ihya At-Turats al-arobi). Juz 7 h. 253.
[31] I’anah at-Tholibin.(Maktabah al-Haramain). Juz 4 h. 37-38
[32] al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra (Maktabah al-Islamiyyah). Juz. 4 h. 200

[33] Sulaiman bin Muhammad bin umar al-Bujairami al-Mishri as-Syafi’i, Hasiyah al-Bujairami.(Bairut; Dar al-kutub) vol. 4  h.89
[34] Is’ad ar-Rofiq Juz 2 h. 136
[35] Mughni al-Muhtaj illa ma’rifat al-Fadz al-Minhaj. Juz 1 h. 156
[36] Abu Bakar bin Muhammad bin abdul Mu’min bin hariz bin ma’la al-Husain. Kifayatul al-Akhyar (Bairut; Maktabah dar Ihya al-Kutub al-Arobiyyah) Juz. 2 h. 46
[37] Mughni al-Muhtaj illa ma’rifat al-Fadz al-Minhaj. Juz 4 h. 75.
[38] Mughni al-Muhtaj illa ma’rifat al-Fadz al-Minhaj. Juz 4 h. 75.
[39] Nihayah al-Muhtaj illa syarah al-Minhaj. Juz 6 h. 373.

Tadarus Salih Ritual Kyai Hasyim Asy’ari

Tadarus Salih Ritual Kyai Hasyim Asy’ari Oleh: Anisul Fahmi Kyai Hasyim Asy’ari sosok figur yang sangat produktif dalam dunia k...