MERENUNGI PERJALANAN HIDUP MANUSIA
لْحَمْدُ
للهِ، خَلَقَ الخَلْقَ وَقَدَّرَ الأَشْيَاءَ، وَاصْطَفَى مِنْ عِبَادِهِ
الرُّسُلَ وَالأَنْبِيَاءَ، بِهِمْ نَتَأَسَّى وَنَقْتَدِي، وَبِهُدَاهُمْ
نَهْـتَدِي، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ بِمَا هُوَ لَهُ أَهْـلٌ مِنَ الحَمْدِ
وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ
فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْـلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا
وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، أَنْزَلَ عَلَيْهِ رَبُّهُ
القُرآنَ المُبِينَ؛ بَلاَغًا لِقَوْمٍ عَابِدِينَ، وَجَعَلَ رِسَالَتَهُ رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ، صلى الله عليه وسلم وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ،
وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ أَمَّا بَعْدُ : فيل أيها المسلمون أوصي نفسي
و إياكم بتقوى الله فقد فاز المتقون
Kaum Muslimin Jamaah Sholat Jumat yang dirahmati
Allah
Di tengah kehidupan yang senantiasa bergulir,
jumat demi jumat berlalu, seiring itu juga khutbah demi khutbah kita
perdengarkan dan menyirami sejenak hati yang penuh ketundukan dan mengharapkan keridhoaan Allah. Kesadaran
kemudian muncul dengan tekad untuk menjadi hamba yang Allah yang taat. Namun
kadangkala dengan rutinitas yang kembali mengisi hari-hari kita kesadaran itu
kembali tumpul bahkan luntur. Oleh sebab itulah melalui mimbar jumat ini khotib
kembali mengajak marilah kita berupaya secara sungguh-sungguh memperbaharui
keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah, memperbaharui kembali komitmen kita kepada
Allah yang sering kita ulang-ulang namun jarang diresapi, sebuah komitmen yang
mestinya menyertai setiap langkah kita:
إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأنا من الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah termasuk orang orang
yang menyerahkan diri.
Kaum Muslimin Jamaah Sholat Jumat yang berbahagia
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya
bahwa: Suatu ketika Umar bin Khathab ra bertanya kepada seorang sahabat bernama
Ubay Ibnu Ka’ab ra tentang taqwa walau hal itu merupakan suatu yang hal yang
sangat mereka ketahui, namun bertanya satu sama lainnya di antara mereka dalam
rangka mendalaminya adalah hal yang sangat mereka sukai. Kemudian Ubay balik
bertanya: “Wahai Umar, pernahkah engkau melalui jalan yang di penuhi duri?”
Umar menjawab, "ya, saya pernah melaluinya. Kemudian Ubay bertanya lagi:
“Apa yang akan engkau lakukan saat itu?”. Umar menjawab: “Saya akan berjalan
dengan sangat berhati-hati, agar tak terkena duri itu”. Lalu Ubayberkata:
“Itulah takwa”.
Dari riwayat ini kita dapat mengambil sebuah
pelajaran penting, bahwa takwa adalah kewaspadaan, rasa takut kepada Allah,
kesiapan diri, kehati-hatian agar tidak terkena duri syahwat dan duri syubhat
di tengah perjalanan menuju Allah, menghindari perbuatan syirik, meninggalkan
perbuatan maksiat dan dosa, yang kecil maupun yang besar. Serta berusaha sekuat
tenaga mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah dengan hati yang
tunduk dan ikhlas.
Hadirin Jama’ah sholat jumat rahimakuullah
Setiap orang beriman pasti akan menyadari bahwa
ketika ia hidup di dunia ini, ia akan hidup dalam batas waktu tertentu yang
telah ditetapkan oleh penciptanya, Allah SWT. Usia manusia berbeda satu sama
lainnya, begitu juga amal dan bekalnya. Setiap orang yang berimanpun amat
menyadari bahwa mereka tidak mungkin selamanya tinggal di dunia ini. Mereka
memahami bahwa mereka sedang melalui perjalanan menuju kepada kehidupan yang
kekal abadi. Sungguh sangat berbeda dan berlawanan sekali dengan kehidupan
orang-orang yang tidak beriman. Allah berfirman:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
"Tetapi kamu (orang-orang kafir) lebih
memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih
kekal. (QS. Al-A’la: 16-17)
Sayangnya, kesadaran ini seringkali terlupakan
oleh diri kita sendiri. Padahal, bukan tidak mungkin, hari ini, esok, atau
lusa, perjalanan itu harus kita lalui, bahkan dengan sangat tiba-tiba. Jiwa
manusia yang selalu digoda oleh setan, diuji dengan hawa nafsu, kemalasan
bahkan lupa, kemudian menjadi lemah semangat dalam mengumpulkan bekal dan beribadah,
membuat kita menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah manusia yang selalu
membutuhkan siraman-siraman suci berupa Al-Quran, mutiara-mutiara sabda
Rosulullah, ucapan hikmah para ulama, bahkan saling menasehati dengan penuh
keikhlasan sesama saudara seiman. Sehingga kita tetap berada pada jalan yang
benar, istiqomah melalui sebuah proses perjalanan menuju Allah SWT.
Hadirin Jama’ah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah
Jika kita membuka kembali lembaran kisah salafus
shalih, kita akan menemukan karakteristik amal yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Ada diantara mereka yang konsent pada bidang tafsir, hadits, fiqih,
pembersihan jiwa dan akhlak, atau berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya.
Namun, satu persamaan yang didapat dari para ulama tersebut, yaitu kesungguhan
mereka beramal demi memberikan kontribusi terbaik bagi sesama. Sebuah karya
yang tidak hanya bersifat pengabdian diri seorang hamba kepada Penciptanya
saja, namun juga mempunyai nilai manfaat luar biasa bagi generasi berikutnya.
Marilah kita renungi firman Allah berikut:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ
اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah berbuat kerusakan
di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS. Al Qashash: 77).
Hadirin yang dimuliakan Allah
Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran
penting, tentang beberapa prinsip yang perlu kita sadari bersama akan
keberadaan kita di dunia ini.
Pertama, prinsip mengutamakan kebahagiaan
kehidupan akherat. Prinsip ini menghendaki agar dalam melaksanakan kehidupan di
dunia, kita senantiasa mengutamakan pertimbangan nilai akherat. Namun perlu
dipahami, mengutamakan kebahagiaan akherat bukan berarti dalam mewujudkan
kebahagiaan duniawi diabaikan begitu saja, sebab amal akherat tidak berdiri
sendiri dan terlepas dari amal duniawi. Sungguh amat banyak amalan akherat yang
berhubungan erat dalam mewujudkan kebahagian duniawi.
Umpamanya sholat, seorang yang melaksanakan shalat
dengan tekun dan disiplin bukanlah semata-mata sebagai amal akherat yang tidak
berdampak duniawi, sebab bila shalat itu dilaksanakan menurut tuntutan Allah
dan rasulNya, yang secara berjamaah, niscaya ia akan banyak memberikan hikmah
dalam kehidupan dunia. Dengan shalat yang benar akan dapat mencegah seseorang
dari berbuat keji dan munkar. Dengan demikian manusia akan terhindarnya dari
perbuatan yang dapat merugikan orang lain, sehingga terciptalah ketenteraman
hidup bersama di dunia ini.
Begitu juga dengan infak dan shodaqoh, seorang
yang beramal dengan niatan mulia untuk mendapatkan ganjaran berupa pahala dari
Allah di akherat, maka dengan hartanya tersebut dapat memberikan manfaat bagi
kehidupan orang lain yang membutuhkan.
Kedua prinsip ‘ahsin’ yaitu senantiasa menghendaki
kebaikan. Bila seseorang menanamkan prinsip ini dalam dirinya, niscaya ia akan
menunjukkan diri sebagai orang yang pada dasarnya selalu menghendaki kebaikan.
Ia akan senantiasa berprasangka baik kepada orang lain, selalu berusaha berbuat
baik dan berkata baik dalam pergaulan di
kehidupan sehari-hari.
Maka akan selalu tampillah kebaikan demi kebaikan,
mempersembahkan sebuah karya terbaiknya untuk kemanfaatan masyarakat disekitarnya,
peduli akan kemaslahatan umum, dan meninggalkan sebuah kebaikan yang akan
selalu dapat dikenang oleh orang banyak walaupun ia sudah pergi terlebih dahulu
menuju kehidupan yang abadi.
Ketiga adalah prinsip walaa tabghil fasada fil
ardh’ yaitu prinsip untuk tidak berbuat kerusakan. Bila prinsip ini dipegang
teguh, seseorang akan lebih melengkapi prinsip yang kedua, yakni melengkapi
upayanya berbuat baik dengan upaya menghindari perbuatan yang merusak.
Terjadinya kerusakan alam, kerusakan moral, kerusakan dalam tatanan kehidupan
masyarakat sering kali terjadi karena sudah hilangnya kesadaran akan tujuan
hidup yang sesungguhnya, sehingga seorang lupa bahwa sesungguhnya ia tidak
dibiarkan begitu saja, bahwa ia akan mempertanggung jawabkan segala perbuatannya
ketika ia menghadap Allah di akherat kelak.
Hadirin sidang sholat jumat yang dimuliakan Allah
Allah swt mengingatkan kita dengan firmannya:
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa.” (QS. Al-Baqoroh: 197)
Walaupun ayat di atas menjelaskan tentang bekal
penting dalam perjalanan ibadah haji, namun sesungguhnya ia merupakan gambaran
ketika manusia akan menghadap Allah di padang mahsyar kelak, ibadah haji
merupakan miniatur gambaran manusia yang akan dikumpulkan di padang mahsyar
nanti sebagaimana halnya mereka berkumpul di padang arafah. Maka bekalan utama
yang dapat menyelamatkan itu adalah taqwa.
Firman Allah SWT di atas juga memiliki makna tersirat
bahwa manusia memiliki dua bentuk perjalanan, yakni perjalanan di dunia dan
perjalanan dari dunia. Perjalanan di dunia memerlukan bekal, baik berbentuk
makanan, minuman, harta, kendaraaan dan sebagainya. Sementara perjalanan dari
dunia juga memerlukan bekal.
Namun perbekalan yang kedua yaitu perbekalan
perjalanan dari dunia menuju akhirat, lebih penting dari perbekalan dalam
perjalanan pertama yakni perjalanan di dunia. Imam Fachrurrozi dalam dalam
tafsirnya menyebutkan ada lima perbandingan antara keduanya:
Pertama, perbekalan dalam perjalanan di dunia,
akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang belum tentu terjadi. Tapi
perbekalan untuk perjalanan dari dunia, akan menyelamatkan kita dari
penderitaan yang pasti terjadi.
Kedua, perbekalan dalam perjalanan di dunia,
setidaknya akan menyelamatkan kita dari kesulitan sementara, tetapi perbekalan
untuk perjalanan dari dunia, akan menyelamatkan kita dari kesulitan yang tiada
tara dan tiada habis-habisnya.
Ketiga, perbekalan dalam perjalanan di dunia akan
menghantarkan kita pada kenikmatan dan pada saat yang sama mungkin saja kita
juga mengalami rasa sakit, keletihan dan kepayahan. Sementara perbekalan untuk
perjalanan dari dunia menuju akhirat, akan membuat kita terlepas dari
marabahaya apapun dan terlindung dari kebinasaan yang sia-sia.
Keempat, perbekalan dalam perjalanan di dunia
memiliki karakter bahwa kita akan melepaskan dan meninggalkan sesuatu dalam
perjalanan. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia, memiliki
karakter, kita akan lebih banyak menerima dan semakin lebih dekat dengan
tujuan.
Kelima, perbekalan dalam perjalanan di dunia akan
mengantarkan kita pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu. Sementara perbekalan
untuk perjalanan dari dunia akan semakin membawa kita pada kesucian dan
kemuliaan karena itulah sebaik-baik bekal. (Tafsir Ar-Raazi 5/168)
Sesungguhnya perjalanan itu cukup berat, dan masih
banyak bekal yang perlu disiapkan. Semua kita pasti tahu bekalan yang sudah
kita siapkan masing-masing. Jika kita anggap bekalan itu masih kurang, tentu
kita tidak akan rela seandainya tidak lama lagi ternyata kita harus segera
menempuh perjalanan menuju akhirat itu.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي
الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ
الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ
وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar