Mahasiswa
Tafsir Hadits Menjawab
Problematika
Kekinian dalam Perspektif Syariat
Hasil analisis
problematika ditengah masyarakat modern
disusun untuk
memenuhi persyaratan Ujian Akhir Semester Mata Kuliyah Praktikum Ibadah
Dosen
Pembimbing:
Dr. Lilik Umi
Kultsum, MA
Oleh:
Anisul Fahmi
1112034000138

Prodi Tafsir
Hadits
Fakultas
Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri
Syarif
Hidayatullah Jakarta
2013
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq, hidayah serta inayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta
salam semoga tercurahkan kepada junjungan nabi agung Muhammad Saw, keluarga,
sahabat, dan para pengikut setia beliau.
Dengan segenap upaya serta
kemampuan yang terbatas akhirnya kami mampu menghadirkan makalah ini untuk mata
kuliah Praktikum Ibadah semester II Prodi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, terkhusus makalah ini kami persembahkan kepada
dosen pembimbing kami yang terhormat Ibu Dr. Lilik Umi Kultsum, MA, meski
kami menyadari akan keterbatasan dan kekurangan dalam makalah ini, oleh karena
itu kritik dan saran yang konstruksif
sangat kami harapkan.
Kami hanya mengharapkan do’a beliau
serta ilmu, bimbingan, arahan, nasihat-nasihat
dan wacana Ilmiah yang selalu kami tunggu sehingga kami bisa melepaskan
semua kebodohan yang membelenggu dialam pikiran, serta mendapatkan kesegaran
dalam ruh, dan sebagai penawar kehausan dalam memahami khazanah Islam klasik
dan modern, serta memperkaya wacana,
Semoga makalah ini bermanfa’at fiddin wal ahirat. Amin.
Ciputat, 09 Juni 2013 M.
Penyusun
Problematika Takbirotul Ihram Dalam Shalat Jenazah
Tak dapat dipungkiri perbedaan
pendapat, faham, dan aktifitas dalam beribadah niscaya terjadi di tengah-tengah
masyarakat, seperti orang-orang berbeda
pendapat dalam masalah mengangkat kedua tangan dengan disertai beberapa takbir
dalam shalat jenazah. Sebagian orang berpendapat bahwa kedua tangan harus
diangkat seiring dengan pembacaan setiap takbir. Sedangkan sebagian yang
lainnya berkata: “Kedua tangan tidak perlu diangkat. Kecuali, pada takbir
pertama saja.” Hal ini dialami oleh sebagian masyarakat Jawa sampai sekarang.
Imam Tirmidzi berkata: “Para ulama
berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian besar ulama yang berasal dari
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kalangan lainnya
berpendapat bahwa kedua tangan harus diangkat setiap kali mengucapkan takbir.”
Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibnu Mubarak, imam Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sedangkan sebagian ulama lain berpendapat: “Kedua tangan tidak perlu diangkat
kecuali pada takbir yang pertama.” Pendapat tersebut merupakan pendapat imam
Tsauri dan Ahli Kufah.[1]
Ibnu Qayyim berkata: “Adapun dalam
masalah mengangkat kedua tangan, imam Syafi’i berkata: “Hendaknya kedua tangan
diangkat pada setiap takbir. Hal tersebut sesuai dengan atsar dan penggunaan
metodologi qiyas (analogi) terhadap sunnah yang menunjukkan tentang tata cara
takbir dalam shalat jenazah. Karena, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
mengangkat kedua tangannya dalam setiap takbir yang ia lakukan dalam shalat
jenazah dalam keadaan berdiri.”
Komentar Penulis :
“Yang dimaksud dengan atsar adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Anas bin Malik, dimana keduanya
mengangkat kedua tangan mereka setiap kali melakukan takbir dalam shalat
jenazah. Abdullah berkata dalam kitab: “Masail”
miliknya, pada halaman 139: “Saya bertanya kepada ayah saya tentang
bagaimana cara menshalatkan jenazah. Saya berkata kepada ayah: ‘Apakah kita
harus mengangkat kedua tangan dalam setiap takbir?’ Ayah saya menjawab:
‘Benar.” Riwayat tersebut datang dari Ibnu Umar.
“Atsar yang datang dari Ibnu Umar adalah atsar
yang shahih. Atsar tersebut diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam juz: “Raf’u
al Yadain” (110). Selain itu, atsar tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu
Syaibah (3/180), Ibnu Mundzir dalam kitab: “Al Awsath” (5/456), Baihaqi
(4/44). Adapun atsar dari Anas bin Malik telah dicatat oleh imam Baihaqi
(4/44). Dan disebutkan dari Anas bin Malik, ia mengangkat kedua tangannya
setiap kali melakukan takbir dalam shalat jenazah.[2]
Dan termasuk ke dalam orang-orang
yang mengangkat kedua tangannya setiap kali melakukan takbir adalah Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘Anhuma. Dalam kitab: “Talkhish al Kabir” (2/147) al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata: “Benar, memang Ibnu Abbas selalu mengangkat kedua tangannya setiap
kali melakukan takbir dalam shalat jenazah.”
Dan telah disebutkan juga beberapa
atsar shahih dari sebagian tabi’in, bahwa mereka semua mengangkat tangan mereka
dalam setiap kali takbir shalat jenazah.
Dari termasuk ke dalam beberapa
ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah al ‘Alamah Ibnu Baaz
Rahimahullah.
Dan termasuk ke dalam orang-orang
yang berpegang pada pendapat kedua tangan hanya diangkat pada takbir pertama
saja adalah imam Ibnu Hazm, yang tercatat dalam kitabnya: “Al Muhalla”,
imam Syaukani dalam kitabnya: “Nail al Authar”, Syaikh Albani dalam
kitabnya: “Ahkam al janaiz” dan syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya: “Fiqh
as Sunnah”
Ringkasnya: permasalahan ini masih
menjadi perdebatan para ulama. Kita tidak perlu memperbesar perbedaan yang
terdapat pada diri manusia. Sehingga, orang yang satu, tidak perlu membantah
pendapat orang yang lainnya. Karena: “Tiap-tiap ummat memiliki kiblatnya
(sendiri), dimana mereka mengarahkan dirinya ke arah tersebut.” Wallahu A’lam.
Shalat Jenazah
Bagi Orang Yang Bunuh Diri
Fenomena ini terjadi di daerah Jawa
Tengah sebagian Ulama setempat
berpendapat bahwa orang yang melakukan aksi bunuh diri tidak dapat
dishalatkan. Dengan alasan, mereka telah termasuk orang-orang kafir yang akan
abadi di api neraka. Para ulama tersebut telah mempergunakan beberapa hadits
sebagai dalil yang menguatkan pendapat mereka, di antaranya adalah:
1. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda: “Barang siapa yang bunuh diri dengan mempergunakan besi, maka besi di
tangannya akan tertancap di perutnya di neraka nanti. Mereka akan hidup abadi
di dalam neraka tersebut selamanya (dengan kondisi besi tertancap di perut).
Dan barang siapa yang bunuh diri dengan meminum racun, maka ia akan terus
meminumnya di neraka jahannam. Mereka akan hidup abadi di dalam neraka
selamanya (dengan kondisi meminum racun). Dan barang siapa yang bunuh diri
dengan menjatuhkan dirinya dari puncak gunung, maka ia akan dilemparkan ke
dalam api neraka Jahannam. Dan mereka akan hidup di dalam neraka tersebut
selamanya.”[3]
2. Dari Tsabit bin Dhahhak al-Anshari
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barang
siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu, maka Allah akan menyiksanya
dengan materi yang sama di neraka Jahannam.”[4]
3. Dari Hasan, ia berkata: “Jundab Radhiyallahu
‘Anhu berbicara kepada kami di masjid ini. Kami tidak akan melupakan
kata-katanya dan kami tidak khawatir ia akan memalsukan hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, ia berkata: “Seorang laki-laki memiliki luka. Maka ia-pun
membunuh dirinya. Maka, Allah-pun berfirman: ‘Hambaku telah mempercepat ajalnya
sendiri, maka aku akan mengharamkan surga baginya.”[5]
Ini merupakan beberapa hadits yang
dijadikan sebagai sandaran para ulama yang berpendapat bahwa orang yang bunuh
diri tidak perlu dishalatkan. Dengan alasan, mereka telah termasuk ke dalam
golongan orang-orang kafir. Dan mereka akan abadi di neraka Jahannam.
Dan para ulama lain telah berusaha
untuk mengcounter hadits ini:
Imam Nawawi berkata: “Imam Abu
Abdurrahman Abdullah bin Mubarak Radhiyallahu ‘Anhu berpendapat dalam
menyoroti masalah seperti ini. Pada dasarnya, tindakan pentakfiran terhadap
orang-orang yang berbuat dosa itu hanya dilakukan sebagai bagian dari
peringatan dan larangan.”[6]
Adapun hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari perkataan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam: “Maka ia akan berada di dalam api neraka Jahannam abadi
dan selamanya.” Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: bahwa pendapat ini telah diusung
oleh kalangan ulama Muktazilah dan ulama lain yang berkeyakinan bahwa
orang-orang yang berbuat maksiat akan abadi di dalam api neraka. Kemudian,
kalangan Ahli Sunnah menjawab berbagai pendapat mereka tersebut dengan beberapa
jawaban, di antaranya: “Dalam hadits tersebut diklaim adanya tambahan.
Setelah melakukan studi terhadap
hadits-hadits tersebut, imam Tirmidzi berkata: diriwayatkan oleh Muhammad bin
‘Ajalan dari Sa’id al Maqbari, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu,
dalam hadits tersebut tidak pernah disebutkan kalimat: “Khaalidan Mukhalladaa”
yang artinya abadi selamanya. Begitupula yang diriwayatkan oleh Abu Zunad dari
A’raj, dari Abu Hurairah yang menunjuk pada periwayatan hadits yang terdapat
dalam bab ini, ia berkata: Hadits ini lebih shahih. Karena, riwayat yang ada
juga benar keberadaannya. Bahwasanya orang-orang yang mengesakan Allah akan
disiksa dan kemudian dikeluarkan dari neraka. Jadi, mereka tidak abadi berada
di neraka Jahannam.
Kemudian, kalangan yang lain
berusaha untuk menjawab bahwa perbuatan tersebut telah menempatkannya pada satu
kedudukan, orang kafir. Dan tidak diragukan lagi bahwasanya orang kafir akan
hidup abadi di neraka. Dan ada juga sebagian pendapat yang mengatakan bahwa
hadits tersebut menempati hadits-hadits yang memberikan peringatan dan
larangan. Akan tetapi, ada sebagian lain yang mengatakan bahwa hadits tersebut
menerangkan balasan yang akan Allah berikan kepada orang-orang yang melakukan
bunuh diri.
Akan tetapi, Allah telah
mengagungkan orang-orang yang mengesakan-Nya. Oleh karena itu, Ia telah
berjanji untuk mengangkat mereka dari api neraka karena pengesaan tersebut. Ada
juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa keputusannya dikembalikan kepada
Allah Subhaanahu Wata’aala. Dan ada juga ulama yang berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan abadi di sini adalah beberapa saat yang sangat lama. Akan
tetapi, tidak bersifat selamanya. Seakan-akan, Rasulullah bersabda: ‘Kalian
akan abadi di dalamnya selama beberapa waktu yang telah ditentukan.”[7]
Komentar Penulis:
“Berdasarkan berbagai keterangan tersebut,
maka oleh analisis kami adalah: Orang yang melakukan tindakan bunuh diri
dianggap sebagai orang fasik dan bukan orang kafir. Sehingga, orang tersebut
harus tetap dishalatkan. Dalil yang menguatkan pendapat tersebut adalah hadits
yang diriwayatkan oleh imam Muslim, dari Jabir bahwasanya Thufail bin ‘Amr al
Dausi datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka ia-pun
berkata: “Wahai Rasulullah! Apakah anda berkenan untuk tinggal di benteng kami
yang kuat dan tangguh? —yaitu, benteng suku ad Dausi yang ada pada masa
Jahiliyyah— Sayangnya, Rasulullah tidak berkenan memenuhi permintaan tersebut.
Karena, beliau yakin terhadap ketangguhan yang telah ditanamkan Allah di hati
kaum Anshar di Madinah.
Ketika Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam hijrah ke Madinah, maka Tuhufail bin Amr ikut pula
berhijrah. Ia membawa serta seorang laki-laki dari kaumnya. Akan tetapi, udara
Madinah tidak cocok bagi mereka. Sehingga, teman Thufail sakit dan tidak sabar
menahan derita tersebut. Karena itu, ia-pun mengambil senjatanya. Lalu,
dipotonglah tangannya. Sehingga, darahpun mengucur dengan derasnya. Sehingga,
akhirnya ia meninggal.
Suatu malam, Thufail bermimpi
melihat temannya tersebut dalam keadaan segar bugar dengan tangan terbungkus.
Akhirnya, Thufail bertanya kepadanya: “Apakah yang diperbuat Tuhan terhadapmu?’
teman-nya itu-pun menjawab: “Allah telah mengampuni dosa-dosaku. Karena aku
telah ikut hijrah mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.’
Kemudian, Thufail bertanya kembali: ‘Aku lihat tanganmu terbungkus, kenapa?’
Temannya tersebut menjawab: ‘Allah telah berkata bahwasanya Ia tidak akan
memperbaiki apa yang telah kamu rusak sendiri.’ Mimpi Thufail itu-pun
diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, lalu berliau berdoa: ‘Ampunilah dia ya Allah. Karena dia
telah memotong tangannya.”[8]
Imam Nawawi berkata: “Adapun
mengenai hukum-hukum hadits, di dalamnya terdapat argumen untuk sebuah kaidah
yang sangat agung milik golongan Ahli Sunnah: bahwa barang siapa yang membunuh
dirinya atau melakukan dosa lainnya dan kemudian meninggal tanpa melakukan
taubat terlebih dahulu, maka ia bukanlah termasuk ke dalam orang-orang kafir.
Dan ia juga belum pasti akan masuk ke dalam neraka. Jadi, hukum dan
ketetapannya akan kembali kepada kehendak Allah. Dan saya rasa, keterangan dan
penjelasan kaidah ini telah disebutkan sebelumnya. Hadits ini merupakan keterangan
untuk beberapa hadits yang telah disebutkan sebelumnya yang menyatakan bahwa
orang-orang yang melakukan bunuh diri dan para pelaku dosa besar lainnya akan
menjadi ahli neraka dan hidup abadi di dalamnya. Di dalamnya juga terdapat
penetapan hukuman untuk sebagian orang-orang yang melakukan perbuatan dosa.
Seperti orang di atas, ia menerima hukuman pada kedua tangannya. Dan di
dalamnya terdapat bantahan terhadap golongan Murji’ah yang berpendapat bahwa
perbuatan-perbuatan dosa tidak berdampak apa-apa.[9]
Dan apabila orang-orang yang
membunuh dirinya tetap dishalatkan, maka hendaknya orang-orang terpandang dan
para agamawan tidak perlu menshalatkannya. Hal tersebut bertujuan agar
orang-orang tidak dengan berani melakukan perbuatan-perbuatan dosa dengan seenak
hatinya. Adapun dalil yang dapat memperkuat pendapat kita ini adalah sebuah
hadits yang diriwayatkan Muslim dari Jabir bin Samrah Radhiyallahu ‘Anhu,
ia berkata: “Ada seorang jenazah laki-laki yang dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Laki-laki tersebut membunuh dirinya dengan panah yang
memiliki kepala yang sangat lebar. Akan tetapi, pada saat itu, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam tidak menshalatkannya.”[10]
Imam Nawawi berkata: “Hadits ini
dapat dijadikan sebagai dalil bagi orang-orang yang berpendapat bahwa orang
yang bunuh diri tidak perlu dishalatkan. Karena, dosa yang telah dilakukannya.
Dan pendapat ini juga menjadi pendapat para pengikut Umar bin Abdul ‘Aziz dan
imam Auza’i. Akan tetapi, segolongan ulama, seperti: imam Hasan, Nakha’i,
Qatadah, Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan para ulama lainnya berpendapat bahwa
jenazah orang yang bunuh diri tetap harus dishalatkan. Dan mereka berusaha
untuk memberikan argumen bantahan untuk keterangan hadits di atas. Mereka
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memang sengaja
tidak menshalatkan orang yang bunuh diri tersebut, sebagai bentuk peringatan
terhadap manusia agar mereka tidak melakukan perbuatan orang yang bunuh diri
tersebut.
Benar, pada saat itu Rasulullah
tidak menshalatkannya. Akan tetapi, para sahabat telah menggantikannya untuk
menshalatkan jenazah tersebut. Dan hal tersebut sama dengan perlakuan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada orang-orang yang memilki
hutang. Pada awalnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak
menshalatkan mereka. Karena, mereka dianggap terlalu mudah meminjam dan
mengabaikan janjinya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam tidak menshalatkannya dan meminta para sahabat untuk menshalatkan
orang tersebut: “Shalatkanlah sahabat kalian itu.”
Al-Qadhi berkata: “Para ulama
berpendapat bahwa setiap muslim wajib dishalatkan; Orang yang mendapatkan hukum
had, rajam, bunuh diri ataupun anak hasil zina. Dan diriwayatkan dari imam
Malik dan ulama yang lainnya bahwa seorang pemimpin tidak perlu ikut
menshalatkan orang yang dibunuh karena menjalani hukum had. Dan orang-orang
yang terhormat atau memiliki kedudukan tidak perlu menshalatkan orang-orang
fasik. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk peringatan terhadap mereka.[11]
Zakat fitrah
menggunakan Rupiah
I.
Syarat zakat fitrah:
1.
Islam
2.
Merdeka
3.
Memenuhi akhir Ramadhan (sebelum
matahari tenggelam sempurna diufuk barat) dan awal Syawal (saat matahari
tenggelam sempurna di ufuk barat).
4.
Memilik biaya hidup sandang,
pangan, dan papan bagi diri sendiri dan orang-orang islam yang wajib
dinafkahinya pada malam dan siang hari raya.[12]
II. Kadar dan
Jenis Zakat Fitrah.
Bila seseorang
telah memenuhi syarat-syarat zakat fitrah diatas, maka ia wajib membayar zakat
fitrah bagi dirinya sendiri dan orang-orang islam yang wajib dinafkahinya ialah
orang-orang islam yang memiliki hubungan dengannya karena pernikahan, yaitu
istri (termasuk istri yang tertalak raj’i atau tertolak ba’in dalam keadaan
hamil), hubungan kepemilikan yaitu budak, dan hubungan darah (kerabat) namun
hanya orang tua seatasnya dan anak sebawahnya yang belum mampu bekerja, oleh
sebab itu andaikan anak tersebut sudah mampu bekerja maka zakat fitrahnya tidak
menjadi kewajiban orang tua lagi. Sehingga kewajiban membayar zakat fitrah
baginya gugur bila ia tidak mampu membayar sendiri.[13]
Kadar zakat untuk setiap kepala
adalah satu sha’ makanan pokok yang biasa dikonsumsi di daerah ia tinggal, seperti
beras, jagung, dan sejenisnya, sebagaimana keterangan dalam hadits, ukuran satu
sha’ menurut konversi mayoritas ulama adalah 2,751 kg.[14]
Sedangkan menurut ulama lain satu
sha’ 2,720 kg ditambah dalam keterangan kitab Mukhtasar Tasyyid al-Bunyan adalah
2,5 kg.
Namun akhir-akhir ini yang terjadi
bukan demikian karena alasan lebih mudah dan praktis, para orang kaya ketika
zakat fitrah memilih mengeluarkan zakat fitrahnya dengan uang. Disamping itu,
uang tersebut lebih leluasa untuk ditasarufkan oleh pihak penerima zakat,
bahkan permasalahan ini sempat difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia Bandung.
Apakah yang demikian diperbolehkan?
Komentar Penulis:
Berpijak pendapat Ulama madzhab
Syafi’i tidak diperbolehkan, sedangkan menurut madzhab Hanafi diperbolehkan,
karena hakikat zakat dengan menggunakan uang, penerima zakat akan lebih leluasa
untuk membelanjakannya. Sementara uang yang harus dikeluarkan seharga setengah sho’
burr (gandum), yakni 1,9 kg gandum
(meskipun bagi penduduk Indonesia yang makanan pokoknya menggunakan
beras, karena dalam hal ini beras distandarkan dengan gandum dalam madzhab
hanafi) dan yang lebih menarik bahwa ada satu pendapat dari kalangan pengikut
madzhab Syafi’i yang mengikuti pendapat madzhab Hanafi.[15] Dengan
kesimpulan menurut madzhab Hanafi,dan sebagian madzhab Syafi’i zakat fitrah
boleh dikeluarkan berupa uang yang setara dengan harga setengah sha’ atau 1,9
kg gandum (satu sha’ dalam konversi madzhab Hanafi adalah 3,8 kg). Begitulah
pula bila dibayarkan dengan beras, maka harus dengan sejumlah beras yang
harganya setara dengan harga setengah sha’ gandum (1,9 kg) pula. Hal demikian
mengingat tidak ditemukan nash syar’i secara tegas tentang zakat fitrah dengan
uang dan beras, sebagaimana konsep dalam metodologi penggalian hukum (Ushul
fiqh),[16]
Miskin pemalas
bolehkah menerima zakat
Orang-orang yang berhaq menerima zakat sebagaimana
tertuang dalam al-Qur’an surat At-Taubah: 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Dari
ayat ini sangat jelas bahwa zakat hanya boleh diberikan pada delapan golongan,
yaitu:
1.
Kaum Fakir
2.
Kaum Miskin
3.
Amil Zakat
4.
Mu’allaf
5.
Riqab
6.
Gharimin
7.
Sabilillah
8.
Ibn sabil
I.
Pengertian Fakir dan
Miskin
Fakir dalam fiqh diartikan sebagai orang
yang tidak mempunyai harta dan atau pekerjaan yang layak baginya, mencukupi
kebutuhan sendiri, dan orang-orang yang wajib dinafkahi olehnya sesuai dengan
standar kelayakan, atau mempunyai arta dan atau pekerjaan yang layak baginya
namun tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan orang yang wajib
dinafkahi sesuai setandar kelayakan, selama sisa umur ghalib (usia manusia
secara umum, yaitu 60 tahun)[17]
Sedangkan
miskin adalah orang yang mempunyai harta atau pekerjaan yang layak baginya dan
hampir mencukupi kebutuhan hidup diri dan orang yang wajib dinafkahinya sesuai
standar kelayakan, selama sisa umur ghalib.
a.
Kerangka masalah:
Banyak kita
jumpai komunitas masyarakat pengangguran, yang semestinya mereka mempunyai
potensi untuk bekerja dan mencari nafkah, terbukti lapangan pekerjaan masih
terbentang luas. Apakah mereka berhak mendapatkan zakat fitrah?
b.
Komentar Penulis:
Bisa dapat
disimpulkan dari pengertian fakir dan miskin, bahwa masyarakat pengangguran
yang semestinya mampu untuk bekerja dan mencari nafkah dengan pertimbangan
lapangan pekerjaan terbentang luas, maka ia tidak boleh menerima zakat, karena
tidak termasuk kategori fakir, miskin.
Sebagaimana
ketika seseorang dalam kondisi fakir miskin namun kebutuhan hidupnya telah
dicukupi oleh anak, orang tua, atau suami, maka ia tidak berhak menerima zakat.[18]
Berbeda kondisinya seorang yang lagi belajar ilmu agama, maka ia berhak
menerima zakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mengingat ilmunya akan
bermanfaat bagi dirinya sendiri dan begitu pula untuk orang lain.[19]
BPKB atau Sertifikat digadaikan
Sering terjadi
dimasyarakat, ketika dalam kondisi sangat membutuhkan dana, meminjam BPKB atau
sertifikat tanah kepada tetangganya, Kemudian BPKB atau sertifikat tanah
tersebut digadaikan ke Bank untuk meminjam uang, Bolehkah BPKB atau sertifikat
tanah hasil pinjaman dijadikan sebagai barang gadaian, bagaimana menyikapi
kasus demikian dalam perspektif syariat ?
Syarat
Penyitaan barang gadaian
Praktek pegadaian yang terjadi di masyarakat
bermacam-macam modelnya, Contoh saja, pihak pemilik jasa gadai mensyaratkan
terhadap penggadai, jika tidak mampu membayar hutang dalam tempo waktu yang
membayar hutang dalam tempo waktu yang telah ditentukan, maka barang gadaian
akan disita dan menjadi milik penggadaian sebagai ganti dari hutangnya,
sahkah model transaksi semacam diatas ?
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa
seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera
sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat di ambil
kembali sejumlah harta yang di maksudkan sesudah di tebus.
Komentar
Penulis:
Selain
pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan diatas, penulis mengungkapkan
pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam sebagai
berikut.
a.
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan
sebagai berikut.
Manjadikan
suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya,
bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.”[20]
b.
Ulama Hanabilah mengungkapkan
sebagai berikut.
Suatu benda
yang dijadikan kepercayaan suatu utang , untuk dipenuhi dari harganya, bila
yang berutang tidak sanggup membayar
utangnya.”[21]
c.
Ulama Malikiyah mendefinisikan
sebagai berikut.
Sesuatu yang
bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan
pengikat atas utang yang tetap (mengikat).”[22]
d.
Ahmad Azhar Basyir
Rahn
perjanjian menahan sesuatu barang sebagi tanggungan utang, atau menjadikan
sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih,
sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat
diterima.[23]
e.
Muhammad Syafi’I Antonio
Gadai syariah
(rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang
jaminan (marhun) atas uatang / pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun
tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau
menerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh
atau sebagian piutangnya.[24]
Berdasarkan pengertian gadai yang
dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di atas, penulis berpendapat bahwa gadai
(rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam
(rahin) sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga
pihak yang menerima (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali
seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang
menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.
I.
Rukun dan
Syarat sahnya perjanjian
Rukun dan syarat sahnya perjanjian
gadai adalah sebagai berikut:
1.
Ijab qabul (shighot)
Hal ini dapat
dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja didalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak.
2.
Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi
gadai) dan mutthahin (penerima gadai) adalah:
a. Telah
dewasa;
b. Berakal;
c. Atas
keinginan sendiri.
3. Adanya
barang yang digadai (Marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah:
a. Dapat
diserah terimakan;
b. Bermanfaat;
c. Milik rahin
(orang yang menggadaikan).
d. Jelas;
e. Tidak
bersatu dengan harta lain;
f. Dikuasai
oleh rahin;
g. Harta yang tetap atau dapat
dipindahkan.
4. Marhun bih (utang)
Menurut ulama Hanafiyah dan Safiiyah
syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah:
a. Berupa
utang yang tetap dapat dimanfaatkan;
b. Utang harus
lazim pada waktu akad;
c. Utang harus
jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
II. Hak dan
kewajiban penerima dan pemberi gadai
1. Hak dan kewajiban penerima gadai
Hak penerima gadai :
a. Penerima
gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya
pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan harta benda gadai (marhun) dapat
digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada
rahin.
b. Penerima
gadai berhak mendapat penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk manjaga
keselamatan harta benda gadai (marhun).
c. Selama
pinjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai berhak menahan harta benda
gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
Berdasarkan hak penerima gadai dimaksud,
muncul kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
a. Penerima
gadai bertanggung jawab atas hilang atau
merosotnya harta benda gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
b. Penerima gadai tidak boleh
menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya.
c. Penerima
gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan
pelelangan harta benda gadai.
2. Hak dan kewajiban pemberi gadai
(Rahin)
Hak pemberi
gadai:
a. Pemberi
gadai berhak mendapat pengembalian harta benda yang digadaikan sesudah ia
melunasi pinjaman utangnya.
b. Pemberi
gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan dan/atau hilangnya harta benda
yang digadaikan, bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
c. Pemberi
gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan
biaya-biaya lainnya.
d. Pemberi
gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila penerima gadai diketahui
menyalahgunakan harta benda gadainya.
Berdasarkan hak-hak pemberi gadai
diatas maka muncul kewajiban yang harus
dipenuhi, yaitu:
a. Pemberi
gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang
waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima
gadai.
b. Pemberi
gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda gadainya, bila dalam jangka
waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi utang
pinjamannya.
Kesimpulan :
Komentar penulis, dalam persyaratan
yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin ialah barang
milik ia sendiri namun hal ini diperbolehkan pemberi gadai (rahin) menyerahkan
barang gadaiannya yang berstatus pinjaman seperti dalam permasalahan diatas.[25] Sedangkan untuk permasalahan yang kedua
hukumnya tidak sah, karena ada unsur membatasi dengan waktu pada akad gadai dan
menggantungkan akad jual beli (mengkaitkannya dengan hal lain)[26]
Legalitas
Kawin Lari
Rahmat dan neng Salma merupakan
remaja yang dirundung asmara. Jalinan cinta mereka terbilang cukup lama dan
bahkan sudah berjanji akan sehidup semati. Karena mereka tidak mau berpisah dan
ingin cepat merasakan manisnya buah cinta, Rahmat memberanikan diri melamar
kekasihnya, namun entah dengan alasan apa, cinta mereka kandas tidak direstui
oleh keluarga neng Salma. Akhirnya
mereka sepakat untu kawin lari. Mereka berdua menemui seorang kyai
disuatu tempat dan ingin menjadikannya sebagai wali nikah. Sahkah akad
pernikahan tersebut ?
Saksi Nikah
Lewat HP 3G
Disuatu daerah terdapat sebuah
kejadian yang cukup menarik, dimana orang menjadi saksi nikah, tidak ada
ditempat berlangsungnya akad nikah. Untuk melihat dan berkomunikasi, hanya
menggunakan via telepon, semisal HP 3G, sedangkan orangnya ada diluar negeri
sana, Apakah saksi nikah dianggap cukup hanya dengan mendengar dan melihat
prosesi akad nikah dari kejahuan menggunakan HP
?
Komentar Penulis:
I.
Pengertian
Perkawinan
Perkawinan dalam fiqh berbahasa
arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja
terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan
kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah
satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang
sempurna. Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
II.
Hukum Perkawinan
Pada dasarnya
Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun
karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini
dapat dibagi menjadi lima macam.
a. Sunnah,
bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat
memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti
dipenuhi.
b. Wajib, bagi
orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan
terjerumus dalam perzinaan.
c. Makruh,
bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu memberikan
belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
d. Haram, bagi
orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia -
nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi
belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e. Mubah, bagi
orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah
atau yang mengharamkannya.
III. Rukun dan Syarat Perkawinan
1. Rukun perkawinan adalah sebagai
berikut :
a. Calon suami
b. Calon istri
2. Syarat – syarat calon mempelai :
1) Keduanya
jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut
nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal
lain yang berkenaan dengan dirinya.
2)
Keduanya sama-sama beragama islam.
3)
Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
4)
Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang
akan mengawininya.
5)
Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
3. Wali nikah dari mempelai perempuan
a. Syarat – syarat wali :
1)
Telah dewasa dan berakal sehat
2)
Laki – laki. Tidak boleh perempuan.
3)
Muslim
4)
Orang merdeka
5)
Tidak berada dalam pengampuan
6)
Berpikiran baik
7)
Adil
8)
Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
4. Dua orang saksi
a. Syarat – syarat saksi :
1)
Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
2)
Kedua saksi itu adalah bergama islam.
3)
Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
4)
Kedua saksi itu adalah laki – laki.
5)
Kedua saksi itu bersifat adil.
6)
Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
5. Ijab dan Qabul
Ijab adalah penyerahan dari pihak
pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
6. Syarat – syarat akad nikah :
1)
Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
2)
Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda.
3)
Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun
sesaat.
4)
Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
Kesimpulan.
Untuk permasalahan yang pertama tidak sah, jika pihak KUA masih bersedia menikahkan mereka berdua dan tidak memungut biaya yang memberatkan.[27]
Untuk permasalahan yang pertama tidak sah, jika pihak KUA masih bersedia menikahkan mereka berdua dan tidak memungut biaya yang memberatkan.[27]
Permasalahan yang kedua Belum
cukup, artinya saksi harus hadir langsung ditempat prosesi pernikahan.[28]
Suami Terjerat
Hukum, Istri minta cerai
Disuatu daerah, ada seorang tokoh
masyarakat yang dipenjara disebabkan kasus korupsi, Istrinya pun merasa malu
melihat suaminya dipenjara, ditambah lagi cemoohan dari masyarakat yang
bertubi-tubi. Akhirnya sang istri mengajukan gugatan cerai (Fasakh n-Nikah)
kepada pihak pengadilan setempat. Bolehkah bagi seorang istri minta Faskh disebabkan sang suami dipenjara?
Komentar penulis:
Tidak diperbolehkan, kecuali jika
dengan dipenjaranya sang suami, sang istri tidak ada yang mencukupi kebutuhan
sehari-harinya.[29]
Menolak
perjodohan Orang tua
Anak muda zaman sekarang, tidak ada
yang belum pernah merasakan yang namanya pacaran. Sehingga tak jarang, gara-gara
ulah yang mereka lakukan, berdampak konflik
diantara keluarga dengan sang anak,
seperti apa yang terjadi pada neng
Nafis yang enggan dijodohkan
dengan seorang laki-laki pilihan orang tuanya, karena dia sudah
mempunyai pilihan sendiri, bagiamana menurut syariat menyikapi kasus diatas ?
Komentar penulis:
Jika calon suami pilihana ortu
dengan pilihan sang anak sama dalam segi levelnya (sekufu), maka neng
Nafis harus patuh pada pilihan ortu, sebab orang tua lebih tahu mana yang lebih
maslahah baginya. Menurut pendapat Imam as-Subki, pilihan sang anak
harus dikedepankan, untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Sehingga
sang ortu harus menuruti pilihan sang anak. Sementara menurut Imam al-Adra’i,
jika pilihan sang anak mempunyai nilai lebih dalam hal ketampanannya dan
kekayaannya, maka sang ortu harus memenuhi permintaan sang anak.[30]
Menikah tanpa
menunggu Iddah selesai
Belakangan Ini, masalah-masalah
yang telah dirumuskan oleh syara’ mulai diragukan kevalidannya oleh
kalangan kedokteran, seperti yang ahir-ahir ini terjadi, bahwa ada seorang
wanita yang baru dicerai oleh suaminya. Dia mengaku, bahwa setelah
berkonsultasi ke dokter dan diteliti dengan alat canggih, ternyata dia bebas
dari hamil. Sehingga jika dia diteliti dengan alat canggih, ternyata dia bebas
dari hamil, sehingga jika dia mau kawin, menurut dokter tidak masalah, sebab
sperma suami yang pertama tidak mungkin tercampur dengan suami yang kedua.
Apakah boleh menikahi tanpa menunggu iddah selesai, karena menurut
dokter dia tidak hamil ?
Komentar penulis: Tidak boleh,
karena dia harus menjalankan iddah, walaupun oleh dokter divonis tidak
hamil[31]
Obat Pelancar
Haidl
Perkembangan tekhnologi saat ini
begitu pesat, sampai-sampai seorang wanita yang sedang menjalani masa iddah
dengan tiga sucian, berinisiatif mempercepat iddahnya dengan
mengkonsumsi obat pelancar haidl. Bagaimana setatus iddahnya
seorang wanita yang minum obat pelancar haidl, agar iddahnya
cepat selesai ?
Komentar penulis: Iddahnya
sudah dianggap selesai.[32]
Sikap Suami
ketika istri kondisi Hamil (ngidam)
Bagi para pengantin baru, jangan
kaget ketika sang istri yang sedang hamil ngidam minta sesuatu yang aneh-aneh.
Sebab dalam keadaan seperti ini, terkadang permintaan istri tidak lumrah. Bayangkan
saja, belum musimnya mangga, dia minta mangga. Yang lebih parah lagi, sudah
mencarinya sulit, ternyata setelah mendapatkan dengan susah payah, dia kadang
tidak mau, malah minta yang lain. Apakah wajib bagi seorang suami memenuhi
permintaan istri ketika hamil muda (baca; Ngidam ) ?
Komentar penulis: Wajib, jika hal
tersebut sudah mentradisi.[33]
Mempertontonkan
pengantin wanita
sudah menjadi hal yang lumrah
ketika mengadakan resepsi pernikahan, seorang pengantin wanita dirias secantik
mungkin dengan beraneka ragam cara, seperti berbusana yang transparan, buka
aurat, bahkan memakai baju toples. Lebih dari itu, pengantin wanita tersebut dipertontonkan dihadapan para tamu.
Padahal umumnya tamu undangan tidak lepas dari kaum laki-laki. Apakah hal
tersebut dibenarkan menurut syariat ?
Komentar penulis: Mempertontonkan
pengantin wanita dihadapkan laki-laki dengan dirias, membuka aurat dan memakai
busana yang menimbulkan gairah, hukumnya haram,[34]
Dada terbuka
ketika menyusi anak
Sering kita temui, bahwa para ibu
yang sedang menyusui anaknya akan membuka bagian dadanya agar lebih leluasa
menyusui anaknya. Namun ironisnya, praktek demikian ini dilakukan didepan umum.
Apakah yang demikian diperbolehkan, mengingat hal tersebut bertujuan menyusui
anaknya?
Komentar penulis: Haram, karena
termasuk aurat.[35]
Konsep anak
diperbolehkan tidur bersama ortu
Sebut saja pak Ijo, yang sudah tiga
puluh tahun menjalani pernikahan dengan istri tercintannya. Alhamdulillah
beliau sekarang sudah dikaruniai lima anak, dua perempuan dan yang tiga
laki-laki. Pak ijo sangat bahagia dengan kehadiran anak-anaknya tersebut. Hanya
saja, beliau sempat bingung pada anak terahir (bungsu), sebab ketika tidur, si
bungsu ini sering bareng sama ibunya, padahal dia sudah dewasa. Adakah konsep
dalam Islam yang mengatur masalah lawan jenis, terkait masalah diatas?
Komentar penulis: Ada, yakni anak
laki-laki atau perempuan sudah berumur 10 tahun maka tempat tidur sang anak
harus dipisah dari ibunya, bapaknya saudara laki-laki atau perempuannya.[36]
Berkata kasar
pada suami
Dalam berumah tangga, pertengkaran
yang terjadi antara suami-istri merupakan hal yang tak dapat dihindari,
meskipun motifnya terkadang sangat remeh, hal itu merupakan bumbu kehidupan
bagi mereka berdua, sehingga tak jarang dalam bertengkarnya tersebut, mereka
sampai berkata yang pantas diungkapkan, terkadang juga, biasanya sang istri
kalau bertengkar dengan suaminya, langsung masuk kamar dan menguncinya dan lain
sebagainya. Dimana semua itu pada intinya adalah saling meluapkan kebencian dia
antara mereka. Namun menariknya, setelah pertengkaran itu, jelang beberapa
waktu mereka sudah akur kembali seperti biasa.
Pertanyaan:
Apakah perkataan seorang istri pada
suaminya dapat menjadikannya nusyuz (tidak patuh)?
Apabila istri yang tidak membuka
pintu kamar termasuk dala kategori nusyuz?
Komentar penulis: a. Tidak,
meskipun hal itu menyebabkan sang istri berdosa.[37]
b . Ya, termasuk nusyuz.[38]
Tidak
mempunyai uang saat diundang walimah
Suatu hari pak Ahmad mendapatkan undangan walimah al-ursy.
Namun sayangnya acara itu bertepatan denga hari boke-nya pak Ahmad. Padahal
sudah menjadi tradisi didaerahnya, jika menghadiri acara walimah, para tamu
selalu menyumbang tuan rumah. Tidak menghadiri undangan tersebut hukumnya dosa,
namun menghadiri tanpa memberi sumbangan akan menjatuhkan harga dirinya. Apakah
kasus seperti diatas termasuk udzur yang dapat menggugurkan kewajiban
menghadiri acara walimah ?
Komentar penulis: Termasuk kategori
udzur dengan pertimbangan;
@ Harga diri dalam urusan walimah
sangat dipertimbangkan
@ Ada maksud mengharapkan sumbangan
(thama’) dari tuan rumah, padahal tujuan demikian tidak dibenarkan dan
dapat menggugurkan kewajiban menghadiri walimah.
Namun jika sebelumnya Pak Ahmad
sudah pernah mengundang dan disumbang oleh tuan rumah, maka pak Ahmad wajib
mngembalikan apa yang dulu pernah disumbangkannya, mengingat uang sumbangan
tradisinya berstatus hutang yang wajib dikembalikan[39].
Daftar Pustaka
Abd al-Ghaffar, Al-Sayyid Ahmad, Qadha
Fi Ulum al_Qur’an, Mesir: Dar al-Mar’rifah al-Jami’yyah, 1999.
Al-Harbi, Husain bin ‘Ali bin
Husain, Qawaid al-Tarjih ‘inda al-Mufassirin, Riyadh: Dar al-Qasim,
1996.
Athiah, Dr. Jamaluddin, Nahwa
Taf‘īl Maqāshid al-Syarī‘ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001).
Raysūni, Ahmad al-, Maqāshid
al-Syarī’ah Ta’rīfāt wa Muqaddimāt: Muhādharat fī Maqāshid al-Syarī’ah li
al-Ustādz al-Raysūni,
Faris bin Zakariya, Abu al-Husain
Ahmad bin, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr).
Āsyūr, Muhammad al-Thāhir ibn,
Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Tunis: Dar al-Salam, 2009)
Maisāwi, Muhammad al-Thāhir al-,
dalam pengantarnya terhadap karya Muhammad al-Thāhir ibn Āsyūr, Maqāshid
al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Oman: Dar al-Nafa‘is, 2001).
Ghali, Dr. Balqasim al-, Syaikh
al-Jāmi al-A’zham Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr: Hayātuhu wa Ātsaruhu (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1996)
Umar, Dr. Umar bin Shalih bin,
Mulakkhash al-Fiqh al-Maqshadi li al-Hadīts al-Nabawi,
[3] Hadits ini merupakan hadits shahih yang
diriwayatkan Nasa’I (4/60, 61), Thahawi dalam kitab: “Syarh Ma’aani al Atsar”
(1/291), Hakim (3/595-596) dan Baihaqi (4/15 & 16).
[4] Hadits ini merupakan hadits hasan yang
diriwayatkan oleh al Thahawi dalam kitab: “Ma’ani al Atsar” (1/290).
[8] HR.
Muslim dalam kitab: “Al Iman” (307), pada bab: “Ad Dalil ‘Ala Anna
Qatil Nafsihi La Yukaffar”
[12] Ibn Qasim al-Ghazali dan Ibrahim al-Bajuri, Fathal
Qorib, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz I, h. 289-290.
[13] Ibn Qasim al-Ghazali dan Ibrahim al-Bajuri, Fathal
Qorib, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz I, h. 289-290.
[17] Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Tuhfah
al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib,
(Beirut: Dar al-Fikr), Juz II, h. 359-360
[19] Sulaiman bin Muhammad
al-Bujairami, Tuhfah al-Habib ‘ala
Syarh al-Khatib, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz II, h. 359-360
[21] Abi Muhammad Abdullah bin Muhammad
bin Ibnu Qudamah, Al-Mughny ‘ala Mukhtashar Al-Kharqiy, (Beirut: Ad-Dar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994), jilid 4, hlm.234.
[23]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam
tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, (Bandung: Al-Maarif, 1983), hlm. 50.
[24] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.
128.
[32] al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra
(Maktabah al-Islamiyyah). Juz. 4 h. 200
[33] Sulaiman bin Muhammad bin umar
al-Bujairami al-Mishri as-Syafi’i, Hasiyah al-Bujairami.(Bairut; Dar
al-kutub) vol. 4 h.89
[36] Abu Bakar bin Muhammad bin abdul
Mu’min bin hariz bin ma’la al-Husain. Kifayatul al-Akhyar (Bairut;
Maktabah dar Ihya al-Kutub al-Arobiyyah) Juz. 2 h. 46
[39] Nihayah
al-Muhtaj illa syarah al-Minhaj. Juz 6 h. 373.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar