Kaum
Nahdliyin yang Jadi Rebutan Saat Pilkada
Oleh: Anisul Fahmi S.Th.I*
Pilkada serentak gelombang kedua diikuti 101
daerah dari tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Termasuk diantaranya
kabupaten Brebes, berbagai strategi dan cara yang dilakukan oleh kedua tim
pemenangan dari dua paslon demi mengais simpati masyarakat. Safari politik ke
berbagai komunitas dari mulai yang bersifat non formal sampai ormas agama kian
semakin deras. Tak luput NU sebagai basis kuat di kabupaten Brebes menjadi
target utama untuk mendulang suara. Tak bisa dipungkiri NU selalu menarik
menjadi bagian dari ormas Agama idaman dalam pusaran pertarungan politik daerah
bahkan nasional.
NU dan Politik Praktis
NU sebagai sebuah gerakan kerakyatan, NU dengan
sadar memilih kelompok Islam tradisional sebagai basis perjuangannya. Hal ini
dapat diketahui dengan melihat para pemrakarsa pendiri NU maupun orientasi
gerakan awalnya yakni kaum pesantren, yang merupakan benteng Islam tradisional
di Indonesia.
Secara resmi, keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam kancah politik
praktis (sebagai partai politik) dilakukan sejak tahun 1953 sampai 1973. Namun
demikian, bukan berarti peran politik NU hanya terbatas dalam dekade tersebut.
Sebelum dan sesudah masa itu, tidak sedikit kegiatan NU yang dampak politiknya
justru lebih monumental. Bahkan, ketika NU menjadi bagian penting dari Masyumi
(pra NU parpol) dan saat NU masih secara resmi menyalurkan aspirasi politiknya
melalui Partai Persatuan Pembangunan (pasca NU parpol), juga merupakan
periode–periode penting untuk diungkap. Pada masa pra dan pasca NU sebagai
parpol, eksistensi organisasi yang dimotori kaum pesantren, dengan dukungan
masa dari masyarakat Islam tradisional sempat dilanda krisis identitas.
Berbagai dampak negatif maupun positif akibat lamanya NU terjun dalam politik
praktis merupakan alasan utama mengapa masa-masa tersebut penting untuk
ditilik.
Sebagaimana catatan hasil penelitian Oleh Greg Fealy (Associate Professor
di Australian National University) pada acara Tadarus Islam Nusantara di
Jakarta, Greg memaparkan; pada tahun 2010 Warga negara Indonesia 65 %
berafiliasi dengan ormas agama. 55 % mengindentifikasi diri sebagai Ahli
Sunnah. 45 % mengaku berafiliasi dengan NU dan 8 % berafiliasi dengan Muhammadiyah.
Sikap warga NU terhadap pemuka agamanya; 51 % warga NU meminta saran kepada kiai tentang
persoalan pribadi dan sosial. Hanya 12 % yang meminta saran kepada kiai tentang
politik. Kecendrungan warga NU untuk tidak menggantungkan preferensi politiknya
kepada kiai bernilai positif, menurut Greg, sebab pada beberapa kasus saran
kiai dalam hal politik bukan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan umat.
Demikian catatan penelitian Greg dalam skala nasional, hasil ini paling
tidak bisa menjadi analisis hitungan matematis meskipun pergerakan politik
selalu dinamis, apa lagi setiap daerah tentunya sangat berbeda dalam hal peta
dan corak politik, sebab bicara politik maka bicara data, taktis dan kongkrit
tak sebatas analisa belaka.
NU dan Pilkada Brebes
Yang terjadi Pilkada Brebes di tahun 2017 ada usaha dan upaya untuk
meyakinkan kepada masyarakat bahwa salah satu calon akan komitmen menjaga nilai-nilai
Aswaja bahkan pada acara-acara kultural NU semisal maulidan, rajaban, dan tahlilan,
hal itu tidak menjamin akan keberhasilan membangun kepercayaan masyarakat
Brebes berbasis NU yang begitu mengakar, bahkan bisa jadi berpotensi langkah
yang blunder.
Sebaliknya dari pihak calon lain sangat optimis mendapatkan suara dari nahdliyin
apalagi beredarnya selebaran surat intruksi dari pengurus cabang untuk
mendukung salah satu dari pasangan calon yang tak semestinya dilakukan, karena bertentangan
nilai-nilai semangat Khittah NU, meskipun hal ini kebenarannya masih
diperselisihkan, Oleh sebab itu menjadi pertanyaan apakah berpengaruh dan
masikah kecendrungan warga NU kultural di Brebes untuk menggantungkan
preferensi politiknya kepada kiai/ustadz
cukup tinggi ataukah sebaliknya.
Proses pemahaman masyarakat NU brebes untuk meyakinkan butuh waktu panjang,
keterlibatan Pasangan calon Bupati dalam kegiatan acara-acara kultural NU
tentunya harus masif dilakukan namun tak bersifat dadakan dalam hal ini sangat
diuntungkan bagi calon petahana. Ada beberapa faktor dominan kecendrungan
masyarakat memilih atau enggan untuk memilih calon tertentu, baik yang bersumber
dari asumsi pribadi atau informasi yang beredar, semisal calon bupati berasal
dari petahana dan diusung dari mayoritas partai, atau calon bupati diusung dari
partai yang secara ideologi tak sepaham, dan track record sebagai calon. hal-hal
demikian yang seharusnya menjadi bagian dari kerja keras team pemenangan untuk
mendongkrak suara.
Sedangkan ormas Muhammadiyah tetap diperhitungkan namun tak sepenuhnya
menjadi prioritas. Loyalitas dan kepatuhan faham partai yang berafiliasi dengan
Muhammadiyah atau NU tak menjamin oleh umat atau anggota untuk mengikuti, dan semacam
ini terjadi di Brebes, bisa saja pengaruh suasana hiruk pikuk politik Jakarta,
namun hal ini di alami oleh sebagian kecil yang mengikuti perkembangan politik
sebab masyarakat Brebes lebih dominan kaum petani tak peduli politik DKI. Karena
bagaimanapun demokrasi bukan tujuan utama tapi hanya sebagai alat menuju tujuan
yang semestinya. Siapapun yang terpilih tentunya tetap menjadi pemimpin kita
semua, Semoga amanat demi kemaslahatan umat menuju Brebes yang bermartabat.
· Dilahirkan di Desa Dumeling, Wanasari Brebes, sekarang sedang menempuh
Program Pascasarjana STAINU Jakarta, Kosentrasi Sejarah Kebudayaan Islam. Ketua
Umum KPMDB Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar