Sabtu, 25 November 2017

Degradasi Makna Pancasila Bagi Pejabat dan Pemuka Agama


Degradasi Makna Pancasila Bagi Pejabat dan Pemuka Agama
Oleh: Anisul Fahmi*

Tepat pada hari Jum’at 17 Agustus 1945 atau bertepatan tanggal 9 Ramadhan 1364 H Ir. Soekarno membacakan naskah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diketik oleh Sayuti Melik dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta. Sudah 72 tahun lamanya Indonesia merdeka.
Ideologi Pancasila
Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara sangat menghargai keragaman, mencerdaskan bangsa dan memakmurkan bangsa Indonesia dalam landasan kemerdekaan, merdeka dari rasa takut, merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan. Gagasan ideologis Pancasila yang demikian luhur sebenarnya telah tertananam dalam  sejarah bangsa ini, Pancasila terlahir dari khazanah masa lampau yang dalam praktiknya sebenarnya dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. 
Pancasila memiliki cita-cita universal yang hendak diperjuangkan yakni kemerdekaan, kedaulatan, keadilan, dan kecerdasan bangsa. Sebuah bangsa merupakan suatu karakter yang tersusun karena adanya persatuan nasib, karakteristik, perilaku dan nilai yang menjadi jati dirinya. Oleh sebab itu, antara satu bangsa dengan bangsa lain cenderung berbeda karena nasib dan nilai yang juga berbeda pula.
Buya Syafii Maarif dan Gus Dur memiliki pendapat bahwa bangsa Indonesia memiliki dasar kebangsaan yang kuat yakni Pancasila yang prinsipnya terdiri dari, Pertama ketakwaan pada tuhan tentu saja prinsip yang sangat otonom karena itu tidak boleh ada pemaksaan dalam hal ketakwaan, apalagi memaksakan harus memiliki keimanan yang sama dalam hal agama dan paham keagamaan. Kedua, Prinsip keadilan yang merupakan landasan kebangsaan paling krusial, sebab yang terjadi keadilan hanya sebatas retorika politik, bukan praksis kehidupan, keadilan masih berpihak pada yang berpunya dan berpendidikan sementara yang miskin dan bodoh tidak mendapatkan keadilan, yang terjadi kesenjangan sosial di mana-mana. Ketiga, Prinsip keadaban (keberadaban) prinsip ini mestinya menjadi prinsip berbangsa yang kuat sehingga dalam setiap irama kehidupan dilandaskan pada keadaban, dan bersedia menghargai perbedaan, menghargai keragaman, bukan kekerasan dan saling menjatuhkan. Keempat. Kesejahteraan. Inilah prinsip dasar kebangsaan, sebab kesejahteraan untuk semua warga negara secara merata bukan terhenti pada segelintir orang dan kelompok yang dekat dengan lingkungan kekuasaan saja. Kelima, kebebasan menjadi dasar kebangsaan ternyata masih sebatas kebebasan retorika politik bukan kebebasan asasi warga negara. Demokrasi yang semestinya menjadi mekanisme dan metode menuju masyarakat yang terbuka, adil, sejahtera dan beradab seringkali dipaksakan menjadi idelogi tertutup, dan diskriminatif. 


Degradasi Moral Politik
Sejak Indonesia merdeka, sebenarnya kita telah memiliki dasar moral yang bersumber dan berakar dari nilai-nilai bangsa ini sejak dahulu. Nilai moral itu terdapat dalam agama, kepercayaan, adat istiadat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya nilai-nilai moral tersebut sebagaimana yang dimaksud termaktub dalam panacasila sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia yang telah dihasilkan dari berbagai rentetan sejarah baik yang terjadi sebelum mupun sesudah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 terangkum dan terumuskan dalam kelima sila dari Pancasila.
Ideologi murni pancasila seringkali hanya berjalan dalam retorika politik belaka, tak pernah teraktualkan dalam nilai-nilai kehidupan, pejabat dan pembawa misi amanat rakyat sekaligus aktor legislasi cendrung acuh akan nilai-nilai pancasila bahkan mereka hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, kebijakan yang tak bernilai maslahat justeru bikin rakyat sekarat. Belum lagi krisis nasionalisme terus menggerus bangsa ini, negara dirundung konflik primordial, konflik faham agama, konflik sektarian dan gerakan radikalisme. Tak kalah tragis gaya hidup anak muda yang hedonis, apatis, dan permisif. Doktrin korupsi kolusi dan nepotisme selalu menghampiri. Nilai luhur yang dibangun para pendahulu begitu saja hancur lebur hanya karena tak akur demi berebut uwur (uang/jabatan).
Di Indonesia tak kurang ahli agama dan intelektual muda menjadi pejabat birokrat yang mengabdi atas nama bangsa, negara dan agama, namun tak banyak yang mengamalkan nilai-nilai agama dan Pancasila, kesadaran hati yang tertutup ketulusan niat yang tergadaikan begitu saja.
Jadilah ahli agama, pejabat yang pencipta, pengabdi pengamal nilai-nilai agama dan pancasila. Ilmu tak cukup tanpa amal, amal tak bisa tanpa ilmu, ilmu dan amal tak selaras tanpa niat yang baik, dengan Ilmu dan Amal serta niat yang baik kelak bermanfaat untuk masyarakat dan maslahat untuk umat, Bangsa dan Negara.
Dirgahayu Republik Indonesia Jayalah Indonesiaku Jayalah Negeriku.

·  Penulis Dilahirkan di Desa Dumeling, Wanasari Brebes, sekarang sedang menempuh Program Pascasarjana STAINU Jakarta, Kosentrasi Sejarah Kebudayaan Islam. Ketua Umum KPMDB Jakarta 2015-2016.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tadarus Salih Ritual Kyai Hasyim Asy’ari

Tadarus Salih Ritual Kyai Hasyim Asy’ari Oleh: Anisul Fahmi Kyai Hasyim Asy’ari sosok figur yang sangat produktif dalam dunia k...