Degradasi
Makna Pancasila Bagi Pejabat dan Pemuka Agama
Oleh:
Anisul Fahmi*
Tepat
pada hari Jum’at 17 Agustus 1945 atau bertepatan tanggal 9 Ramadhan 1364 H Ir. Soekarno
membacakan naskah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diketik
oleh Sayuti Melik dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta. Sudah 72 tahun
lamanya Indonesia merdeka.
Ideologi Pancasila
Pancasila
sebagai ideologi berbangsa dan bernegara sangat menghargai keragaman,
mencerdaskan bangsa dan memakmurkan bangsa Indonesia dalam landasan kemerdekaan,
merdeka dari rasa takut, merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan. Gagasan
ideologis Pancasila yang demikian luhur sebenarnya telah tertananam dalam sejarah bangsa ini, Pancasila terlahir dari
khazanah masa lampau yang dalam praktiknya sebenarnya dapat diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pancasila
memiliki cita-cita universal yang hendak diperjuangkan yakni kemerdekaan,
kedaulatan, keadilan, dan kecerdasan bangsa. Sebuah bangsa merupakan suatu
karakter yang tersusun karena adanya persatuan nasib, karakteristik, perilaku
dan nilai yang menjadi jati dirinya. Oleh sebab itu, antara satu bangsa dengan
bangsa lain cenderung berbeda karena nasib dan nilai yang juga berbeda pula.
Buya
Syafii Maarif dan Gus Dur memiliki pendapat bahwa bangsa Indonesia memiliki
dasar kebangsaan yang kuat yakni Pancasila yang prinsipnya terdiri dari, Pertama
ketakwaan pada tuhan tentu saja prinsip yang sangat otonom karena itu tidak
boleh ada pemaksaan dalam hal ketakwaan, apalagi memaksakan harus memiliki
keimanan yang sama dalam hal agama dan paham keagamaan. Kedua, Prinsip
keadilan yang merupakan landasan kebangsaan paling krusial, sebab yang terjadi keadilan
hanya sebatas retorika politik, bukan praksis kehidupan, keadilan masih
berpihak pada yang berpunya dan berpendidikan sementara yang miskin dan bodoh
tidak mendapatkan keadilan, yang terjadi kesenjangan sosial di mana-mana. Ketiga,
Prinsip keadaban (keberadaban) prinsip ini mestinya menjadi prinsip berbangsa
yang kuat sehingga dalam setiap irama kehidupan dilandaskan pada keadaban, dan
bersedia menghargai perbedaan, menghargai keragaman, bukan kekerasan dan saling
menjatuhkan. Keempat. Kesejahteraan. Inilah prinsip dasar kebangsaan,
sebab kesejahteraan untuk semua warga negara secara merata bukan terhenti pada
segelintir orang dan kelompok yang dekat dengan lingkungan kekuasaan saja. Kelima,
kebebasan menjadi dasar kebangsaan ternyata masih sebatas kebebasan retorika
politik bukan kebebasan asasi warga negara. Demokrasi yang semestinya menjadi
mekanisme dan metode menuju masyarakat yang terbuka, adil, sejahtera dan
beradab seringkali dipaksakan menjadi idelogi tertutup, dan diskriminatif.
Degradasi Moral Politik
Sejak
Indonesia merdeka, sebenarnya kita telah memiliki dasar moral yang bersumber
dan berakar dari nilai-nilai bangsa ini sejak dahulu. Nilai moral itu terdapat
dalam agama, kepercayaan, adat istiadat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya
nilai-nilai moral tersebut sebagaimana yang dimaksud termaktub dalam panacasila
sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia yang telah dihasilkan dari berbagai
rentetan sejarah baik yang terjadi sebelum mupun sesudah proklamasi kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945 terangkum dan terumuskan dalam kelima sila dari
Pancasila.
Ideologi
murni pancasila seringkali hanya berjalan dalam retorika politik belaka, tak
pernah teraktualkan dalam nilai-nilai kehidupan, pejabat dan pembawa misi
amanat rakyat sekaligus aktor legislasi cendrung acuh akan nilai-nilai
pancasila bahkan mereka hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya,
kebijakan yang tak bernilai maslahat justeru bikin rakyat sekarat. Belum lagi
krisis nasionalisme terus menggerus bangsa ini, negara dirundung konflik
primordial, konflik faham agama, konflik sektarian dan gerakan radikalisme. Tak
kalah tragis gaya hidup anak muda yang hedonis, apatis, dan permisif. Doktrin
korupsi kolusi dan nepotisme selalu menghampiri. Nilai luhur yang dibangun para
pendahulu begitu saja hancur lebur hanya karena tak akur demi berebut uwur
(uang/jabatan).
Di
Indonesia tak kurang ahli agama dan intelektual muda menjadi pejabat birokrat
yang mengabdi atas nama bangsa, negara dan agama, namun tak banyak yang mengamalkan
nilai-nilai agama dan Pancasila, kesadaran hati yang tertutup ketulusan niat
yang tergadaikan begitu saja.
Jadilah
ahli agama, pejabat yang pencipta, pengabdi pengamal nilai-nilai agama dan
pancasila. Ilmu tak cukup tanpa amal, amal tak bisa tanpa ilmu, ilmu dan amal tak
selaras tanpa niat yang baik, dengan Ilmu dan Amal serta niat yang baik kelak
bermanfaat untuk masyarakat dan maslahat untuk umat, Bangsa dan Negara.
Dirgahayu
Republik Indonesia Jayalah Indonesiaku Jayalah Negeriku.
· Penulis Dilahirkan di Desa Dumeling, Wanasari
Brebes, sekarang sedang menempuh Program Pascasarjana STAINU Jakarta,
Kosentrasi Sejarah Kebudayaan Islam. Ketua Umum KPMDB Jakarta 2015-2016.